|

Menjadi Guru PAI Harus Punya Rasa Malu, Terutama di Masa Pandemi Covid-19

Hilman Rizky Hasibuan

Penulis: Hilman Rizky Hasibuan
Instansi: UIN Sumatera Utara, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan Pendidikan Agama Islam

Peserta KKN-DR Kelompok 129 UINSU

MEDIA NASIONAL OBOR KEADILAN| Minggu (2/08-2020), Seperti yang kita tahu, pandemi Covid-19 ini berdampak negatif terhadap proses pembelajaran di sekolah, karena guru terhalang untuk mendidik dan membimbing siswanya secara tatap muka, hanya bisa mengajar (transfer ilmu) secara daring itupun dipenuhi kekurangan dan keterbatasan. Sehingga peran guru untuk mendidik dan membimbing siswa menjadi terbatas. So, Kenapa guru PAI harusnya malu? Malu di sini bukan karena guru PAI itu profesi yang hina, justru guru PAI itu profesi yang sangat mulia, kemuliaannya bukan hanya di dunia melainkan juga di akhirat. So, kenapa kita harus malu?

Tidak jarang kita melihat banyak terjadi degradasi akhlak dan moral siswa, seolah siswa tidak pernah belajar agama, terlebih di masa pandemi ini. Padahal kalau ditanya apakah selama pembelajaran daring kalian pernah belajar agama?  Mereka jawab "Iya pernah". Lantas mengapa akhlak dan moral siswa tetap tidak baik? Penyebab utamanya karena banyak guru agama khususnya PAI yang mengajar hanya berorientasi pada dunia saja,  mereka mengajarkan tentang Islam, mereka mengajarkan ilmu tentang akhlak,  mereka mengajarkan ilmu tentang moral, dan ilmu lainnya, tetapi hanya sebatas ilmu saja, sekedar melepaskan tugas dan tanggungjawabnya sebagai guru PAI di sekolah,  sekedar melaksanakan RPP yang telah dibuat,  sekedar menyampaikan materi pembelajaran,  sekedar memberikan nilai mata pelajaran, semua yang dilakukan hanya bersifat sekedar saja. Wajarlah guru PAI seharusnya malu di masa pandemi ini, karena mereka hanya bisa memberikan materi pelajaran, tanpa bisa membentuk akhlak, moral, dan kepribadian siswanya.

Dalam ruang lingkup yang lebih luas lagi, pernahkah terbesit di benak kita, mereka anak muda yang akhlaknya rusak, dan masyarakat awam yang melakukan maksiat pertanda gagalnya guru PAI dan guru agama lainnya dalam membina akhlak dan moral? Loh, kita heran kenapa guru agama yang disalahkan? Sebenarnya bukan sepenuhnya salah mereka, tetapi mereka punya tanggungjawab yang lebih besar tentang masalah ini, baik itu tanggungjawab di dunia dan terlebih di akhirat. Karena guru agamalah yang diamanahkan bangsa untuk melakukan perbaikan akhlak dan moral. Tetapi mengapa mereka bisa gagal? Penyebab utamanya karena guru agama hanya berorientasi pada dunia. Seandainya guru PAI mengajar berorientasi pada akhirat, maka ia akan lebih serius dalam pembinaan akhlak dan moral siswa bahkan masyarakat, ia akan merasa bertanggung jawab ketika akhlak dan moral masyarakatnya rusak, ia pasti malu ketika melihat lingkungan tempat tinggalnya bermaksiat sementara ia menyandang gelar guru Pendidikan Agama Islam di lingkungan itu.

Lihatlah sekarang ini, betapa banyaknya wisudawan guru PAI dalam setiap tahunnya yang tersebar merata di seluruh Indonesia. Tapi pernahkah kita mengira betapa sedikitnya yang berniat jadi guru PAI karena orientasi akhirat? Kebanyakan dari mereka hanya berorientasi pada dunia saja. Ada yang jadi guru PAI karena mengharapkan lapangan pekerjaan, ada karena paksaan orangtuanya, ada karena pilihan terakhir, dan lebih parahnya ada yang jadi guru PAI cuma karena nyoba-nyoba saja dan kebetulan lulus. Akhirnya apa? Ia tidak peduli akan tugas utamanya yaitu membina akhlak dan moral masyarakat.

Padahal itulah uniknya guru PAI, ia harusnya menjadi guru bukan hanya di sekolah, tetapi juga di masyarakat selama 24 jam tanpa gaji, karena masyarakat akan bertanya kepadanya perihal agama, berbeda dengan guru umum seperti guru kimia, fisika, bahasa Indonesia, matematika, dan guru umum lainnya, masyarakat tidak akan bertanya perihal itu kepada mereka.

Tahukah kita betapa banyak guru PAI yang tidak siap dijadikan guru di masyarakat? Mengapa? Karena keilmuan yang sedikit dan takut pertanyaan masyarakat tentang agama tidak bisa dijawab,  akhirnya mereka malu sebagai guru PAI. Rasa malu itu sebenarnya pertanda baik, kalau kita malu akan kurangnya ilmu agama sementara kita menyandang gelar guru PAI, maka tugas kita adalah belajar. Loh, Guru tugasnya kok belajar? Bukannya guru itu tugasnya mengajar? Nah, inilah akibat orang yang tidak punya rasa malu sebagai guru, tugas utama seorang guru itu bukan mengajar, tetapi belajar. Entah sejak kapan orang memisahkan kata "belajar" dengan "mengajar", seolah-olah kalau sudah mengajar berarti tidak perlu belajar, mungkin ini akibat hilangnya rasa malu pada dirinya sebagai seorang guru, dia merasa sudah pintar akhirnya tidak perlu belajar lagi.

So, bagaimana dengan kita guru PAI yang sudah terlanjur berorientasi pada dunia? Apakah kita harus berhenti dari guru PAI? Jawabannya tidak sama sekali. Tugas kita pertama mengubah niat menjadi guru PAI yang Lillahi Ta'ala, mengajar karena orientasi akhirat. Kedua, kita lebih banyak lagi belajar tentang Islam, bukan hanya ilmu tentang menyampaikan (strategi, metode, taktik, teknik, model, RPP, dan lain-lain), tetapi juga belajar ilmu yang akan disampaikan (fiqih, akidah, akhlak, alquran, hadis, dan lain-lain). Karena percuma kita pandai menyampaikan, tetapi tidak ada ilmu yang akan disampaikan. Ketiga, guru PAI harus bekerjasama dengan orangtua siswa perihal pembentukan akhlak, moral dan kepribadian anak didik. Mengingat masa pandemi ini menghalangi guru untuk mendidik secara langsung, maka guru harus menjalin kerja sama dengan orangtua siswa, sekalipun orangtuanya bekerja sebagai petani dan buruh, mau tidak mau harus berubah profesi menjadi guru selama masa pandemi ini.

Jadi, kesimpulan dari tulisan singkat ini bahwasanya etika tertinggi profesi guru PAI adalah "ketika kita malu jadi guru PAI karena masih berorientasi pada dunia", karena rasa malu itulah yang akan mendidik kita. Maka kita calon guru PAI yang sedang kuliah, mari memperbaiki niat utama kita untuk menjadi guru PAI karena Allah Ta'ala, kemudian kita lebih banyak lagi belajar tentang Islam. Apabila kita jadi guru PAI masih berorientasi pada dunia, maka kita harus malu jadi guru PAI.(◇)


Penulis: Hilman Rizky Hasibuan

Instansi: UIN Sumatera Utara, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan Pendidikan Agama Islam

Peserta KKN-DR Kelompok 129 UINSU
Komentar

Berita Terkini