DEPOK (28/05) | MEDIA NASIONAL OBOR KEADILAN – Di balik selembar tiket parkir putih polos yang nyaris tak bernyawa informasi, tersimpan potret rusaknya tata kelola parkir di Kota Depok. Warga hanya tahu: mereka parkir di Pasar Agung. Tapi siapa sebenarnya yang mengambil uang mereka ? Ke mana larinya pungutan itu ? Dan mengapa masyarakat harus membayar dua kali ?
Tiket parkir dari lokasi milik pemerintah daerah ini tidak mencantumkan identitas perusahaan, NPWP, bahkan dasar hukum penarikan tarif. Semuanya hening, senyap, tapi menyedot kantong warga secara sistematis. Inilah salah satu wajah dari apa yang disebut "korupsi mikro regulasi".
📍 DARI RETRIBUSI KE PAJAK: SIASAT PENJUALAN ASET PUBLIK
Tiga tahun lalu, sistem parkir di Kota Depok berada di bawah Dinas Perhubungan dengan mekanisme retribusi. Warga tahu, saat itu uang parkir masuk ke kas daerah, menjadi bagian dari PAD yang diaudit secara terbuka.
Namun sejak 2023, Pemerintah Kota Depok mengubah skema menjadi pajak parkir. Alih-alih dikelola negara, lahannya diserahkan ke pihak swasta. Di Pasar Agung, pengelola itu adalah PT Rafik Karya Mandiri (RKM), perusahaan yang ditunjuk oleh Pemkot Depok untuk menjalankan sistem parkir.
💰 DIBAYAR 2 KALI, DITIPU 1 SISTEM
Alih-alih meningkatkan efisiensi, sistem baru ini justru menyisakan kebingungan dan pemborosan. Di lapangan, warga membayar dua kali:
1. Tiket karcis resmi saat masuk—yang tidak menjelaskan siapa pemungutnya.
2. Parkir liar di area dalam pasar, berkisar Rp2.000–Rp5.000, dengan alasan “uang rokok” untuk petugas informal.
Masyarakat mengaku tidak dipaksa, tapi terpaksa. Karena bila menolak, kendaraan mereka bisa dipersulit saat keluar. “Kami merasa dijebak. Bayar di depan, lalu di dalam juga bayar lagi. Siapa yang bertanggung jawab?” ujar Sari, seorang pengunjung yang kami temui Minggu lalu.
📉 BPK TEMUKAN KERUGIAN NEGARA
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebelumnya telah menyatakan bahwa praktik pengelolaan parkir pihak ketiga di Kota Depok telah menimbulkan potensi kerugian negara yang signifikan. Temuan ini diperkuat oleh minimnya transparansi laporan keuangan dari perusahaan mitra dan lemahnya pengawasan dari pihak Dinas Pendapatan dan Dinas Perhubungan Kota Depok.
Hingga kini, tidak ada langkah konkret untuk mengusut siapa yang sebenarnya diuntungkan dari skema parkir ini. Tidak ada transparansi tentang berapa persen dari pendapatan parkir yang disetor ke kas daerah, dan siapa oknum pejabat yang berperan dalam pembagian proyek ini.
🧾 TIKET TANPA IDENTITAS = MODUS PENCUCIAN PAD?
Investigasi Obor Keadilan menemukan bahwa tiket parkir seperti di Pasar Agung: Tidak memuat nama badan hukum pengelola, tidak mencantumkan dasar hukum penarikan tarif, tidak menjelaskan tarif progresif atau flat, tidak memuat call center pengaduan atau kontrol publik.
Menurut pengamat hukum tata negara, tiket jenis ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran administratif, dan berpotensi menjadi modus pencucian penerimaan daerah jika dibiarkan tanpa audit.
🏛️ LEGALITAS DIPERTANYAKAN, DPRD DIAM?
Sampai berita ini diturunkan, belum ada satu pun anggota DPRD Kota Depok yang secara terbuka mempertanyakan skema parkir di Pasar Agung ini. Padahal mereka punya kewajiban melakukan pengawasan terhadap kebijakan yang menyangkut PAD dan pelayanan publik.
Ironisnya, beberapa sumber internal menyebut bahwa beberapa elite legislatif dan eksekutif Kota Depok memiliki kedekatan dengan aktor bisnis di balik perusahaan pengelola parkir ini.
📣 Ekspetasi UNTUK TRANSPARANSI
1. Pemerintah Kota Depok membuka dokumen PKS (perjanjian kerja sama) dengan PT RKM. Terselubung kah?
2. BPK dan Kejaksaan Negeri Depok menelusuri dugaan manipulasi laporan keuangan parkir.
3. Masyarakat Depok menuntut transparansi serta penghentian praktik pungli dan parkir liar.
Laporan: Obor Panjaitan | Ketua Umum Ikatan Pers Anti Rasuah (IPAR)
Depok, 28 Mei 2025