|

Gubernur NTT dan Pernyataan “Prematur” Terkait Permasalahan TKI Ilegal




OBORKEADILAN.COM|| NTT- Penulis mengawali artikel ini dengan percikan kalimat filosofi kepemimpinan dari seorang penulis asal Austria yang bernama Peter Ferdinand Drucker. Ia mengatakan demikian, “Pemimpin yang efektif bukan soal pintar dalam berpidato dan mencitrakan diri agar disukai, namun kepemimpinan tergambar dari hasil kerjanya, bukan atribut-atributnya”. Yang artinya, bahwa seorang pemimpin haruslah mampu memperlihatkan karya atau kerja nyatanya, bukan sekedar retorika atau wacana semata. Jika seorang pemimpin hanya menabur bumbu, maka niscaya konflik sosial mulai mengakar dan merambat hingga berujung pada suatu kesenjangan.

Bertolak dari uraian diatas, jika kita mengamati karakter kepemimpinan dari para pimpinan daerah dalam hal ini, gubernur dan bupati yang berada di Indonesia, rupanya masih banyak kepala daerah yang selama menjabat sangat lalai dan lumrah dalam mengaktualisasikan program kerjanya, dikarenakan ia bukan seorang pemimpin yang siap mendengar masukan atau arahan dari partner kerjanya. Ada pula kepala daerah yang “miskin” gagasan atau konsep terkait program kerja namun ia seorang pekerja, dan ada juga yang hingga akhir masa jabatannya tak ada satupun program kerjanya yang berhasil mensejahterahkan rakyat, dan malah ia meninggalkan sebercak luka dihati masyarakat. Dan satunya lagi, diera digital saat ini, rupanya ada juga kepala daerah yang doyan melakukan pencitraan di sosial media, padahal dalam kenyataannya semua itu fiktif belaka, bak sinetron dalam serial drama Indosiar. Disamping itu pula, sangat tidak elok jika seorang pimpinan membela diri lantaran yang bisa membela dirinya hanya hasil kerja dan pencapaian prestisius dari proyeksi besar yang digarapnya. Ia hanya bisa membela diri dengan mempublikasikan pencapaian-pencapaian yang membuktikan bahwa rakyat masih merasakan hadirnya negara dalam ruang kehidupan mereka.

Seperti halnya yang dialami oleh masyarakat Provinsi Nusa Tenggara Timur (selanjutnya NTT) terkhusunya para penyandang korban dari mafia Human Trafficking (HT) atau lain halnya para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal yang meninggal atas pelampiasan hawa nafsu (amukan) dari majikannya yang berakibat nyawa menjadi taruhan. Adapun, yang kembali ke tanah air bukannya membawa hasil keringat dari perjuangan keras semasa di negeri Jiran, malah yang dibawa adalah selimut depresi dan kesakitan yang mendekam disekujur tubuh bahkan trauma berkepanjangan. Secara manusiawi, apa yang dirasakan oleh para korban tentunya kesakitan itu akan menjalar hingga ke sanubari keluarga mereka (korban).

Perluh diketahui, bahwa dari tahun ke tahun provinsi yang paling tinggi mengirim TKI ke luar negeri adalah Jawa Barat, kemudian Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Banten, Nusa Tenggara Timur. Sejak pemerintah pusat menghentikan pengiriman TKI ke seluruh negara Timur Tengah sejak April 2015, maka pengiriman TKI ilegal ke negara-negara Timur Tengah termasuk Malaysia mencapai 10.000 TKI per bulan. Ini data dari Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Apjati), yang diamini Kemenaker dan BNP2TKI. Hingga saat ini, salah satu provinsi yang masih “menyelundup” TKI keluar negeri terutama ke Malaysia secara ilegal adalah NTT. TKI ilegal asal NTT yang bekerja di Malaysia sebagaimana dikutib media Indonesia, berkisar 50.000 orang. Karena mereka (TKI) pergi dan bekerja di negara lain seperti Malaysia secara ilegal, maka TKI minim mendapat perlindungan baik perlindungan hukum maupun perlindungan sosial, terutama ketika TKI mengalami sakit baik kerena kecelakaan kerja maupun karena penyakit. Sehingga tidak heran, sepanjang tahun 2018 sebanyak 104 TKI dan di penghujung tahun 2019 sudah 105 TKI asal NTT pulang dalam keadaan sudah menjadi mayat.

Melihat fenomena tersebut, tentu saja timbul kekecewaan dari masyarakat terutama keluarga korban dan para aktivis peduli kemanusiaan, yang sudah resah menghirup “polusi” yang telah mendarah daging di bumi Flobamora ini. Yah, mendengar kepulangan jenazah TKI bukan sesuatu yang asing bagi pemerintah provinsi (dalam hal ini lembaga terkait) dan masyrakat NTT. Akan tetapi, keresahan tersebut perlahan mulai menghilang seketika Viktor Bungtilu Laiskodat sehari setelah dilantik menjadi Gubernur provinsi NTT, ia langsung mengeluarkan pernyataan bahwa di hari pertama berkantor ia akan melakukan moratorium pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri. Sebagaimana yang dilansir oleh media NTT TERKINI.com, pada 18 November 2018 Viktor Laiskodat selaku Gubernur NTT mengatakan, bahwa dirinya telah menandatangani Pergub terkait Moratorium TKI. Dengan alasan, bahwa Pergub tersebut menjadi landasan hukum bagi pemerintah provinsi untuk mencegat calon TKI non procedural dan tidak terlatih untuk dikirim ke luar NTT. Keyakinan dari masyarakat terlihat sangat melek, disaat Viktor Laiskodat melontarkan pernyataan terkait penanggulangan kasus TKI dalam pidato perdananya di Gedung DPRD Provinsi. Sebagaimana yang dilansir oleh media Tempo.com pada 10 September 2018, Ia mengancam, bahwa akan mematahkan kaki para pelaku perdagangan orang, karena masalah ini sudah sangat serius.

Namun, lambat laun hingga tiba di penghujung tahun 2019 tak terdengar bahwa ada kaki calo atau perekrut yang dipatahkan oleh Gubernur NTT. Pergub terkait Moratorium pun, serasa basi, hampa alias tak ada manfaatnya. Nampak pernyataan Viktor Laiskodat terkait kasus HT rupanya hanya bualan semata, untuk sekilas menyejukan hati masyarakat. Seolah Viktor Laiskodat selaku Gubernur tak merasa gerah melihat masyarakatnya menjadi budak dan mati di negeri orang. Apalagi belum lama ini, ciri khas seorang Gubernur yang selalu melontarkan kalimat kontraversial kembali menuai perdebatan dikalangan masyarakat NTT, terutama kalangan para pemerhati sosial dan juga aktivis mahasiswa. Begini pernyataan yang dilontarkan oleh orang nomor 1 NTT itu; kalau sukses syukur, jika tewas dikubur (Kompas.com;26, November 2019). Secara pribadi penulis sangat kesal kala membaca pernyataan dari seorang yang “diagungkan” oleh segenap masyarakat karena ketegasannya dalam memimpin daerah ini. Namun rupanya, keagungan itu layaknya setangkai mawar, elok jika dipandang dari jauh, ketika didekati ternyata dikelilingi oleh banyaknya duri yang tumbuh dihamparan gurun. Mengapa demikian? Toh, sangatlah prematur jika seorang pimpinan daerah sekelas gubernur keluarkan pernyataan seperti itu. Bukannya mencetus sebuah solusi guna memberantas mafia kelas kakap ini (HT), malah seorang gubernur melontarkan wacana berbaur polemik. Sungguh sangat disayangkan, dan terlihat gubernur NTT (Viktor Bungtilu Laiskodat) mencoba lari dari tanggung jawab, atau terkesan mencuci tangan.

Disamping itupula, pernyataan kontraversi dari gubernur telah dikategorikan termasuk kasus pelanggaran HAM. Mengapa demikian? Sebagai kepala pemerintahan ia telah seenaknya membiarkan kejatahan kemanusiaan melalangbuana. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ketua PMKRI Cabang Kupang; “pernyataan ini sangat biadab dan termasuk kategori pelanggaran HAM karena memang terkesan membiarkan tanpa mencari formulasi kebijakan yang tepat untuk memberikan kepastian dan keamanan terhadap TKI yang terlanjur mengilegalkan dan diilegalkan” (Jarakposkupang.com). Bukan hanya itu saja, namun ia juga mendapat catatan merah terkait kode etik kepemimpinan.

Yang perluh diketahui, dalam konteks HAM Negara Indonesia, seperti yang dirilis oleh Maidah Purwanti, bahwa negara menjadi subjek hukum utama, karena negara merupakan entitas utama yang bertanggung jawab melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia, setidaknya untuk warga negaranya masing-masing. Namun ironisnya sejarah mencatat pelanggaran HAM biasanya justru dilakukan oleh negara, baik secara langsung melalui tindakan-tindakan yang termasuk pelanggaran HAM terhadap warga negaranya atau warga negara lain, maupun secara tidak langsung melalui kebijakan-kebijakan ekonomi politik baik di level nasional maupun internasional yang berdampak pada tidak terpenuhinya atau ditiadakannya HAM warga negaranya atau warga negara lain. Negara dianggap melakukan pelanggaran berat HAM (gross vilence of human rights) jika; yang pertama, negara tidak berupaya melindungi atau justru meniadakan hak-hak warganya yang digolongkan sebagai non-derogable rights. Dan yang kedua, negara yang bersangkutan membiarkan terjadinya atau justru melalui aparat-aparatnya tindakan kejahatan internasional  atau kejahatan serius yaitu kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang dan/atau negara tersebut gagal atau tidak mau menuntut pertanggungjawaban dari para aparat negara pelaku tindak kejahatan tersebut.

Dapat penulis simpulkan, bahwa sangat jelas jika hari ini ada masyarakat NTT yang mengatakan GubernurNya “tolol” dalam meyelesaikan mafia HT. Toh, gubernur sendiri yang meminta untuk dirinya dikatakan tolol, jika ia gagal dalam menyelesaikan persoalan yang sangat biadab ini (Gubernur NTT Siap Disebut Tolol Jika Human Traficking Tinggi; Kompas.com, 04 Desember 2018). Viktor Laiskodat selaku gubernur NTT perluh ketahui juga, bahwa sebagai pihak yang memangku tanggung jawab, negara dituntut harus melaksanakan dan memenuhi semua kewajiban yang dikenakan kepadanya secara sekaligus dan segera. Jika kewajiban-kewajiban tersebut gagal untuk dilaksanakan maka negara akan dikatakan telah melakukan pelanggaran. Padahal, dalam alinea ke-4 UUD 1945 negara memiliki kewajiban; “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Oleh sebab itu, akhir kata ingin penulis katakan, bahwasannya seorang pemimpin yang baik harus memiliki kejujuran yang tinggi yaitu jujur pada diri sendiri dan pada orang lain terutama masyarakatnya, dia harus selalu menepati janji, berlaku adil terhadap semua orang dan dapat dipercaya. Seperti yang dikatakan oleh Gus Dur (Mantan Presiden RI ke-4); “Keberhasilan pemimpin diukur dari kemampuan mereka dalam mensejahterakan umat yang mereka pimpin”.

Penulis : Bapthista Mario Y. Sara
(Pemerhati Sosial dan Mahasiswa Fakultas Peternakan, Undana)
Editor : Redaktur
Penanggung Jawab : Obor Panjaitan
Komentar

Berita Terkini