Media Nasional Obor Keadilan | Untuk pertama kali saya menyaksikan rumah ini dipenuhi orang. Biasanya, setiap bertandang ke sini, suasananya senyap. Langit-langit yang tinggi hanya mendengungkan suara kipas angin. Dari balkon kiri kanan di lantai atas yang bisa dilihat dari lantai satu, tersaji pemandangan tumpukan buku yang menjulang, tertata seadanya. Rumah besar dengan lukisan khas 3 penari di ruang tamu itu, sesungguhnya memiliki jejak arsitektur yang memikat. Jendela-jendelanya lebar, sirkulasi udara nyaman, ruangan yang lega, dengan sejumlah karya seni yang menghias, termasuk piano, lukisan dan patung wajah sejumlah tokoh - di antaranya Albert Einstein dan Gus Dur. Namun entah kenapa, bagi saya rumah di bilangan Kemang itu tetap berkesan dingin dan ngelangut.
Konon, rumah merupakan cerminan pemiliknya. Rizal Ramli, sang pemilik rumah, sosok yang pernah menjabat menteri koordinator di zaman pemerintahan presiden Gusdur dan Jokowi, mungkin memang sosok yang kesepian dan selalu galau. Ia orang cerdas, pemikirannya out of the box, wawasannya jauh meloncati pagar. Ia pembaca yang rakus, pemikir yang kritis, sekaligus sosok dengan integritas tinggi. Ia selalu gelisah melihat berbagai persoalan di negeri ini. Orang-orang seperti ini, selalu kesepian. Karena pemikirannya sering tak terjangkau orang-orang di sekitarnya. Ia kerap berumah di pucuk menara. Meski tamu-tamu datang dan pergi ke rumahnya. Di ruang tengah yang diisi meja panjang, sejumlah tokoh dan aktivis kerap hadir dan berkumpul. Duskusi kebangsaan dan persoalan-persoalan ekonomi menjadi menu utama. Di meja ini juga, saya kerap mendengar isu-isu yang tidak tersaji di media mainstream. Termasuk perilaku para petinggi negeri ini, yang kerap diceritakan pak RR - demikian saya menyapanya, dengan mimik lucu dan hangat. Tapi setelah itu, tamu-tamu akan pulang, pak RR akan menghilang di balik pintu kamar sebelum kami benar-benar beranjak meninggalkan ruangan, dan rumah kembali menghadirkan suasana ngelangut.
Sesungguhnya, begawan ekonomi ini tidak sekaku yang dipersepsikan orang, juga tidak segalak dan sesinis yang tertangkap layar kaca. Ia tokoh kritis yang berbicara tanpa tedeng aling-aling, ia menelanjangi persoalan-persoalan kebangsaan dan kenegaraan dengan analisis objektif namun kerap membuat merah kuping pendengarnya. Namun satu hal yang saya catat dari pak RR, ia tidak pernah mencela atau menjelekkan seseorang secara personal, setidaknya sepanjang yang saya dengar. Termasuk sosok presiden Joko Widodo. Ia hanya mengkritisi secara keras kebijakan orang-orang besar yang dianggapnya merugikan masyarakat dan bangsa ini, dan tak pernah alpa menyampaikan alternatif pemikiran untuk mensolusi persoalan-persoalan yang mengemuka.
Sesejatinya, di luar kritik-kritiknya yang pedas, aktivis mahasiswa tahun 70-an ini seorang yang humanis dan hangat. Saya merasakan ketika suatu waktu, datang membawa masalah ke padanya. Dan pak RR dengan wajah empatik, memberikan solusi-solusi seperti seorang bapak menghadapi putrinya. Ia mengirim WA ke saya bertubi-tubi, menanyakan progresnya. Ia seperti ingin memastikan bahwa semua baik-baik saja. Ketika ibu saya meninggal pun, pak RR tak luput mengirim WA dan menelpon saya. Saya memang kian memahami pak RR karena semakin sering berinteraksi dengannya. Di organisasi saya, ASPRINDO (Asosiasi Pengusaha Bumiputera Nusantara Indonesia), pak RR merupakan Ketua Dewan Pembina, dan saya kebetulan dipercaya menjadi Wakil Ketua (periode lalu) dan Sekretaris Jenderal (periode sekarang). Beberapa kali saya membawa draft surat untuk ditandatangani. Dan Pak RR hanya bertanya perihal surat, lalu langsung membubuhkan tanda tangan tanpa membacanya. Dan saya pahami itu sebagai bentuk kepercayaan yang tinggi kepada Ketua Umum saya dan saya secara pribadi.
Pak RR tahu membedakan kapan bertindak dalam kapasitas personal dan kapan bertindak dengan membawa titel jabatan. Ia boleh saja melontarkan kritik tanpa ampun (kerap dimaknai ‘nyunyir’ oleh netizen yang kebetulan pendukung sosok yang dikritisi kebijakannya oleh pak RR), tapi pak RR akan bertindak objektif ketika itu menyangkut kepentingan orang banyak. Di ASPRINDO, ia bersikukuh agar kami selaku pengurus DPP bersikap netral dalam kontestasi politik. Ia mewanti-wanti agar ASPRINDO tidak mendukung salah satu paslon di pemilihan presiden. “Bukan ASPRINDO yang mendukung, tapi calon presiden itulah yang harus mendukung visi dan misi ASPRINDO,” pesannya ketika kami makan siang besama di salah satu kafe di Kemang. Menurutnya, siapa pun calon presiden yang memihak kepada pengusaha bumiputera (pribumi), maka ke sanalah ASPRINDO menunjukkan dukungannya. “Selama ini pengusaha pribumi terabaikan. Penguasa sibuk dengan oligarki,” tandasnya.
Jelang akhir November tahun lalu, saya dan Ketua Umum ASPRINDO, pak Jose Rizal, kembali mengunjungi pak RR, melaporkan rencana pelantikan pengurus DPP yang baru. Dan saya terkejut, ketika menemukan beliau sudah dalam kondisi yang payah. Ia mengenakan celana pendek, lututnya gemetar. “Besok saya akan berangkat ke Amerika, mau istirahat di sana,” katanya. Putri bungsu pak RR memang bermukim di Amerika. Saat itu pun, pak RR masih konsisten mengingatkan agar ASPRINDO netral dalam pilpres 2024. Ketika ditanya secara personal ia memilih calon presiden siapa, pak RR hanya menggeleng.
Ternyata, pak RR tidak pernah bertolak ke Amerika. Kondisi kesehatannya sudah tidak memungkinkan. Kabar itu saya dengar langsung dari mbak Dhitta, putri sulung pak RR. Sebulan ini, tokoh yang digelari “Rajawali Ngepret” itu dirawat di RS Cipto Mangunkusumo tanpa mau dijenguk. Dan, 2 April kemarin pukul 19.30, pak RR menghembuskan nafas terakhir. Inna lillahi wainna ilaihi rojiun.
Kemarin, dari ruang tengah tempat almarhum disemayamkan, saya memandang halaman belakang rumah pak RR. Di samping kolam renang itu, saya pernah menjolok mangga, dan menikmati manisnya buah hasil tanam pak RR. Pak RR bilang, itu hasil tanaman dari “tangan yang diberkahi”. Ia gemar menanam berbagai jenis tumbuhan di halaman rumah, dan semuanya tumbuh rimbun. Di ruang tamu, saya kembali berswafoto di depan lukisan 3 penari. Entah foto yang ke berapa kali. Saya pikir ini foto terakhir di rumah ini.
Rumah Kemang ini kini dipenuhi pelayat. Tapi saya tetap merasakan kesunyian bertahta di langit-langit. Sang Rajawali itu telah terbang tinggi. Mungkin tidak akan pernah lagi lahir di negeri ini sosok setegar batu karang seperti pak RR. Selamat jalan, pak. Integritasmu menjadi teladan. Jasa-jasamu mungkin baru akan disadari oleh bangsa ini setelah kepergianmu. Terbanglah setinggi mungkin. Sudahi kegelisahanmu tentang negeri ini. Semoga tenang dan damai di sana.
Ana Mustamin Sekretaris Jenderal ASPRINDO