Senin, 9 Juni 2025 | 15:01:07

WTP, Wajar Tapi Penjara? Waspada Penipuan Publik

IPAR Bongkar Kejanggalan WTP di Tengah Rentetan Kepala Daerah Terjerat KPK

DEPOK (27/5) | OBOR KEADILAN – Pemerintah Kota Depok kembali meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) untuk ke-14 kalinya dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Capaian ini, di atas kertas, terlihat membanggakan. Namun, di balik sorotan prestasi tersebut, muncul pertanyaan kritis: apakah opini WTP masih relevan sebagai cerminan kejujuran dan integritas dalam pengelolaan keuangan negara?
Sebuah pernyataan kontroversial pernah dilontarkan mantan Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi, dalam sebuah forum terbuka. Mengomentari daerah yang berulang kali meraih WTP, ia berkata dengan nada sindir:
“Berapa kau bayar BPK itu? Bisa dapat WTP terus!”

Meski diklaim sebagai candaan, pernyataan Edy menguak dugaan realitas kelam: banyak kepala daerah yang meraih WTP justru berakhir di balik jeruji Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kepala Daerah WTP, Namun Terjerat Korupsi
Berikut adalah sejumlah kepala daerah yang pernah meraih WTP, tetapi tersandung kasus korupsi:
  • Ade Yasin (Bupati Bogor) – Ditangkap KPK karena menyuap auditor BPK demi memperoleh opini WTP.
  • Muhammad Adil (Bupati Meranti) – Terseret kasus serupa, menyuap auditor untuk mendapatkan WTP.
  • Tasdi (Bupati Purbalingga) – Terlibat suap proyek meski laporan keuangannya dinilai wajar.
  • Rita Widyasari (Bupati Kukar) – Meraih WTP lima kali, tetapi divonis 10 tahun penjara karena korupsi.
Data KPK: 167 Kepala Daerah Terjaring Korupsi
Berdasarkan data KPK dari 2004 hingga 2024, sebanyak 167 kepala daerah di Indonesia telah ditangkap terkait kasus korupsi, sebagian besar berkaitan dengan pengadaan barang/jasa dan pengelolaan anggaran. Jawa Barat mencatatkan 10 kepala daerah yang terseret KPK, di mana sebagian di antaranya pernah meraih WTP.

Peringkat Dunia: Indonesia Masih Darurat Korupsi
Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia tahun 2024 hanya mencatat skor 37/100, meski sedikit membaik dari tahun sebelumnya. Peringkat 99 dari 180 negara menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia masih berada pada level yang mengkhawatirkan. Sejumlah kalangan menilai, selama era pemerintahan sebelumnya, penegakan hukum terhadap korupsi melemah akibat intervensi politik dalam kerja KPK dan lembaga pengawasan lainnya.
IPAR: Hentikan Tipu Daya Bernama WTP!
Ketua Umum Ikatan Pers Anti Rasuah (IPAR), Obor Panjaitan, menegaskan sikap tegas:
“Kami mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera menghentikan praktik pemberian opini WTP oleh BPK, karena telah menjadi bumerang bagi bangsa.”
Obor menambahkan bahwa WTP kini tak lebih dari kosmetik yang menyesatkan publik.
Jangan biarkan rakyat tertipu oleh WTP. Fakta menunjukkan, banyak daerah yang di-WTP-kan justru dipimpin oleh pejabat yang mencuri uang rakyat.”

Menurutnya, WTP bukan lagi cerminan audit berbasis integritas, melainkan alat untuk menutupi praktik pengelolaan anggaran yang bermasalah. Ia menyebutnya sebagai:
“WTP hari ini bukan ‘wajar tanpa pengecualian’, melainkan ‘wajar tapi penjara’.”
Rekomendasi IPAR kepada Presiden Prabowo
IPAR mengusulkan langkah-langkah berikut:
  1. Moratorium opini WTP hingga sistem audit BPK direformasi secara menyeluruh.
  2. Mengganti sistem opini BPK dengan model berbasis integritas keuangan, bukan sekadar kesesuaian laporan.
  3. Audit investigatif lanjutan terhadap seluruh daerah penerima WTP untuk memastikan tidak ada penyimpangan.
Catatan Redaksi
Opini WTP seharusnya menjadi simbol keterbukaan, akuntabilitas, dan efisiensi dalam pengelolaan anggaran. Namun, fakta bahwa banyak kepala daerah penerima WTP justru terjerat korupsi membuat rakyat harus mempertanyakan: masihkah kita percaya pada laporan keuangan yang sekadar akal-akalan? Di tengah nuansa tempo yang terus berubah, WTP tampaknya hanya menjadi topeng yang menutupi realitas kelam pengelolaan keuangan daerah.
"Tim Redaksi Media Nasional Obor Keadilan"

Berita Terkait

Komentar