|

QUO VADIS GEREJA-GEREJA BATAK?

QUO VADIS GEREJA-GEREJA BATAK?

■Oleh: Ganda Panjaitan

MEDIA NASIONAL OBOR KEADILAN | JAKARTA,
Seminar sehari yang diselenggarakan oleh GPKB (Gereja Punguan Kristen Batak) Jemaat Pulomas Rawamangun pada hari Sabtu/15 Juni 2019 yang lalu bertempat di Gedung Gereja GPKB tersebut, berlangsung dengan baik dan sukses, fokus pada topik/judul: "Masa Depan Gereja Batak & Gereja Batak Masa Depan".

1. Judul tulisan ini menjadi "Quo Vadis Gereja-Gereja Batak?" sebagai pertanyaan reflektif antisipatoris setelah menghadiri seminar itu dan mencoba menghayati pergumulan para peserta seminar berdasarkan makalah tiga orang nara sumber. Sengaja penulis menggunakan frasa "quo vadis" untuk menegaskan kegentingan yang (bakal) terjadi bagi Gereja-Gereja Batak serta mengajak pembaca untuk ikut-serta menganggap penting dan segera mencari-temukan solusi/terobosan untuk (kembali) sebagai/menjadi Gereja yang missioner. Selain itu Penulis memberanikan diri mencatatkan pengamatan pribadi yang memang tidak dipercakapan dalam seminar itu. Untuk itu Penulis mohon maaf.

Salah satu yang dapat disimpulkan dari seminar itu ialah perlunya Gereja-Gereja Batak, tidak terkecuali HKBP, untuk segera berubah dan memperoleh paradigma dan aksi baru tentang Gereja, tidak saja oleh pimpinan dan pengerja (ephorus, bishop dll) tetapi juga oleh segenap warga gereja. Gereja bersama dengan pimpinan, pengerja dan warganya adalah Tubuh Kristus sebagaimana ditekankan salah seorang peserta, amang Humala Simanjuntak, S.H., warga HKBP, dalam responnya. Menurut beliau, Gereja tidak semata-mata organisasi dan lembaga sosial kemasyarakatan tetapi terutama sebagai Tubuh Kristus.

Apapun alasan dan rintangannya, perubahan mesti terjadi agar Gereja-Gereja Batak dapat exist, berkembang dan melayani. Oleh perubahan itu maka otomatis ada kebiasaan yang perlu ditanggalkan dan ditinggalkan, ada pula yang segera dikenakan dan dikalungkan atau dipertahankan. Ada yang perlu dikoreksi.
 
Tentu hakikat/esensinya tidak berubah tetapi dalam implementasi dan eksekusi praktisnya ada yang perlu kemasan baru, kreatif dan inovatif ... serta menarik.

Ya memang, sebagaimana yang dikatakan oleh Bapak Gereja, Marthin Luther, Gereja perlu selalu membarui dirinya: Ekklesia reformata semper reformata, Gereja reformasi senantiasa mereformasi diri!

2. Seminar ini dilaksanakan dalam rangka Perayaan 40 Tahun GPKB Pulomas Rawamangun. Sebagai salah satu kegiatan perayaan, demikian penjelasan Ketua Majelis, Pdt. Marihot Siahaan, S.Th. sewaktu memberi sepata-kata dalam acara pembukan, adalah seminar ini.
Selain seminar - ada satu kegiatan lain yang oleh Panitia disebut Malam Diakonia, persekutuan bersama dengan para janda dan yatim piatu (dari Panti Asuhan) serta dengan mereka yang berkekurangan, Saudara-Saudara Tuhan kita Yesus, yang kecil itu (perh Mat 25). Satu lagi ada seminar tentang kesehatan, termasuk pengobatan gratis.

Dalam ibadah pembukaan tidak ada khotbah, yang ada adalah pembacaan Alkitab dari 2 Timoteus 4:1-8. Tetapi ada pengumpulan persembahan yang akan diserahkan ke GKPM Jemaat Sibaibai, Sikakap, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
Patutlah dicatat kepeduliaannya yang sungguh besar pada sesamanya Gereja Batak. Salah seorang anggota Panitia mengatakan bahwa GPKB pun adalah bagian yang dipercakapkan dalam seminar ini sebagai bagian integral dari Gereja-Gereja Batak. Jadi tidak terutama keluar.

Peserta seminar tidak dipungut kontribusi seperti biasanya seminar. Bahkan setiap peserta menikmati rehat kopi/teh yang lebih dari cukup, diberi makan siang dan dilayani dengan sungguh-sungguh familiar. Setiap peserta memperoleh sejumlah buku yang diterbitkan oleh LHF (Lutheran Heritage Foundation) Indonesia dan sertifikat.
Gedung gereja itu lumayan besarnya. Penuh oleh peserta ratusan orang dari lintas denominasi/sinode, lintas suku, lintas generasi dan lintas gender dll lintas lainnya. Yang bukan halak Batak pun ada yaitu dari MUKI (Majelis Umat Kristen Indonesa), ormas Kristen terbesar dewasa ini di Indonesia. Tampak pula beberapa orang fungsionaris BATAK CENTER.

Hadir pula Ephorus (em) Pdt. Dr. J. R. Hutauruk, beberapa orang mantan praeses serta para pendeta, guru huria dan sintua. Termasuk Ephorus GPKB dan beberapa orang pengerjanya. Lebih dari 50% dari peserta adalah para pensiunan dari berbagai instansi, termasuk pendeta-pendeta pensiunan.
Tentu kaum muda, milenial, pun banyak juga.
Sebagai warga HKBP, Penulis betul-betul salut pada mereka dan sekaligus iri. Salut bahwa seminar ini dapat dilakukan oleh "gereja kecil" GPKB Pulomas Rawamangun tetapi gaweannya berdampak besar dan luas. Iri karena kepeloporan seperti itu dilakukan oleh gereja kecil, bukan HKBP, Gereja na bolon i. Setahu Penulis, maaf kalau salah, HKBP masih terlalu serius mengurus organisasinya sendiri (humoting-hoting di bagasan).

Peduli terhadap kesejahteraan warganya, HKBP pun belum ada waktu. "Melayani bukan dilayani" adalah slogan gerejawi yang belum menampak-nyata dan berfungsi-tindak dalam HKBP walau slogan itu adalah praktik kehidupan dan khotbah Tuhan Yesus sendiri. Kemungkinan besar begitu juga Gereja-Gereja Batak lainnya, sibuk hanya di sekitar keempat tembok gedung gerejanya. Oh, maaf, ada salah satu Gereja Batak yang berhasil mengembangkan CU (Credit Union) yaitu GBKP (Gereja Batak Karo Protestan). Sementara HKBP masih sebatas gagasan mendirikan koperasi. Action belum kelihatan. Memang diakui HKBP juara dalam pembangunan gedung seperti Sopo Marpingkir di Jakarta dan gedung-gedung gereja yang membutuhkan dana besar.

3. Tampak sekali bahwa Panitia sungguh-sungguh serius mempersiapkan perayaan HUT ke-40. Hal itu tampak pula melalui nara sumber dan moderator yang "mumpuni", pakar dan praktisi berpengalaman di bidangnya; bukan warga GPKB. Ketiga nara sumber adalah teolog dan pendeta yang telah "mendunia". Ketiga Bapak itu:
1) Pdt (em) Prof. Dr. Jan S. Aritonang, Ph.D., dosen, mantan Ketua STT Jakarta dan salah seorang ketua di MPH PGI masa bakti 2004-2009; 2)
2) Pdt. Dr. Richard Daulay, dosen, mantan Ketua STT Cipanas, Sekretaris Umum MPH PGI masa bakti 2004-2009; dan
3) Pdt (em) Marudut Manalu, M.Th., anggota Society for Intecultural Pastoral Care and Counseling, Dusseldorf, Jerman, dan aktif di LHF Indonesia.
4) Moderatornya, Drs. Jerry R. Sirait, pensiunan UKI, aktivis gerakan oikumene, berpengalaman pada organisasi pendidikan: pernah Sekum MPK (Majelis Pendidikan Kristen di Indonesia), Direktur Eksekutif BK-PTKI (Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Kristen di Indonesia) dan Sekjen BMPS (Badan Musyawarah Perguruan Swasta) Nasional. Sekarang, Sekretaris Dewan Pengawas MUKI Nasional dan Sekjen BATAK CENTER.

4. Makalah Prof Aritonang berjudul "Mengembangkan Gereja-Gereja Batak Menjadi Gereja yang Misioner". Makalah Dr. Daulay: "Masalah Kepemimpinan dan Pemimpin dalam Gereja Batak" dan makalah Pdt. Manalu: "Betapa Indahnya Memahami dan Menghidupi Teologi Marthin Luther'".
Ephorus (em) Pdt. Dr. J. R. Hutauruk mengapresiasi GPKB Pulomas yang mengangkat topik bahasan itu. "Amat relevan dipercakapkan oleh Gereja-Gereja Batak dewasa ini baik yang di Jabodetabek mau pun di Tano Batak dan di diaspora lainnya. "Paparan para nara sumber mencerahkan kita semua" demikian kata beliau. Beliau menyarankan agar hasil seminar ini diseminasikan lebih luas.

5. PEMAPARAN
a. Dalam paparannya Prof Aritonang menguraikan mengenai hakikat Gereja. Tugas panggilan Gereja adalah Missio Dei. Itulah esensinya.
Selanjutnya beliau menguraikan pemahaman Gereja-Gereja terhadap Missio Dei dari masa ke masa, dan sekarang ini. Beliau mempertanyakan pemahaman dan praktiknya oleh Gereja-Gereja Batak dewasa ini.
Selanjutnya beliau menegaskan bahwa sesungguhnya Missio Dei itu mesti tampak pada upaya menukikkan tanda-tanda shalom dalam kehidupan-bersama. "Namun Gereja-Gereja Batak justru lebih sibuk mengurusi yang lain di luar yang esensial" dimaksud.
Tanda-tanda perubahan itu masih belum jelas.Tata ibadah yang tertuang dalam agenda yang diwarisi dari Uniert oleh RMG pada akhir abad XIX belum mengalami pembaruan sekaranh ini walau di sononya sudah diubah seturut dengan Gerakan Liturgi yang muncul sejak awal abad XX.
Mereka sudah "mengubah/memperbarui liturginya lebih 100 tahun. Di sini, oleh Gereja-Gereja Batak masih dipertahankan. Itu salah satu contoh. Ya, "Gereja-Gereja Batak lebih merupakan persekutuan sosiologis ketimbang teologis" demikian kata beliau.
Pada akhir makalahnya beliau - yang adalah pendeta emiritus GKPI, memberi pernyataan begini: "Kalau Gereja-Gereja belum mampu memperlihatkannya (tanda-tanda shalom yang holistik dan konprehensif) patutlah dipertimbangkan apakah mereka masih perlu melanjutkan kehadirannya di dunia ini". Selanjurnya beliau bertanya "Apa saja bukti yang dapat diperlihatkan Gereja-Gereja Batak untuk meningkatkan kesejahteraan yang holistik dan konprehensif itu bagi masyarakat di tempat mereka berada?"

b. Mengawali ceramahnya, Dr. Daulay mengangkat 2(dua) pertanyaan krusial:

1) Mengapa setiap terjadi pergantian kepemimpinan dalam Gereja-Gereja Batak selalu terjadi ketegangan bahkan perpecahan?;
2) Mengapa Gereja-Gereja Kharismatik dan Gereja-Gereja Kontemporer sangat diminati orang-orang Batak, terutama generasi mudanya?
Lalu kemudian Dr. Daulay - yang adalah pendeta emiritus GMI, bertanya: "bagaimana jalan keluar untuk meminimalkan (baca: mengatasi) agar masalah pergantian kepemimpinan tidak menimbulkan konflik dan perpecahan Gereja-Gereja Batak ...?
Secara panjang lebar beliau memberi jawaban terhadap kedua pertanyaan itu sekalian dengan sejumlah contoh.
Menurut beluau "jabatan yang diperebutkan itu tidak terlepas dari tri-gatra ideal Batak: hamoraon, hagabeon dan hasangapon. Inti dari ketiga nilai itu adalah power/kuasa". Kuasa itu direbut oleh pejabat gerejawi dalam semua tingkatan. Di tangan ephorus dan bishop, ada kuasa mengenai perpindahan pendeta, misalnya. Ada pula fasilitas-fasilitas lainnya.

Berdasarkan pengalaman-pengalaman Gereja-Gereja lain di luar negeri, ephorus tidak lagi yang menentukan penempatan pendeta (sending pastors) tetapi sudah atas kehendak jemaat yang dilayani (calling pastors). Atau kombinasi keduanya. Tentu masih ada kuasa lain yang melekat pada jabatan gerejawi itu.
Menjawab pertanyaan kedua, Dr. Richard mencatat paling tidak ada 5 (lima) faktor yang merupakan daya tarik Gereja Kharismatik di perkotaan menurut teori pertumbuhan Gereja pada era "post denominationalism":
1) Faktor lokasi gereja;
2) Faktor ruangan kebaktian;
3) Faktor hospitality / keramah-tamahan;
4) Faktor ibadah dan kelengkapannya (musik dll);
5) Faktor khotbah.
Dari kelima faktor itu faktor ibadah dan khotbah sangat menentukan.
Akibat semuanya itu, terjadilah semacam gerakan meninggalkan gereja-gereja lama dan lari ke gereja-gereja kharismatik. Bagaimana pun besarnya gereja-gereja lama itu akan "menjadi kosong". Itulah ancaman-ancaman terhadap Gereja-Gereja Batak jika tidak mau berubah! Jika tidak mau mereformasi diri.
Lalu bagaimana jalan keluarnya? Dr. Daulay mengajukan beberapa saran yang perlu dipertimbangkan Gereja-Gereja Batak:
1) Harus melakukan reformasi dan strukturisasi di bidang kelembagaan/organisasi secara konprehensif sehingga faktor kuasa itu tidak melekat pada jabatan. Adalah fakta yang tidak dapat ditutupi bahwa Gereja-Gereja Batak sudah mengadopsi bulat cara-cara politik praktis termasuk transaksi finansial (Penulis: Gereja-Gereja Batak sudah lebih asyik memainkan politik praktis katimbang Partai Politik. Tidak hanya dalam rangka pemilihan ephorus/bishop);
2) Meninjau cara-cara pemilihan pimpinan sinode & jabatan.gerejawi lainnya;
3) Terbuka melakukan inovasi tata ibadah dan meningkat kualitas pelayanan Firman. "Ingat! Tujuan umat mengikuti ibadah adalah mendengar firman Tuhan (manangihon hata ni Debata)" demikian penegasan beliau.
c. Pdt. Manalu menguraikan secara rinci persoalan-persoalan di Gereja-Gereja Batak selama ini. Perihal personalia sering menjadi masalah. Misalnya pergantian pendeta, guru dan pengerja lainnya. Persoalan itu sering terjadi pada aras huria/jemaat, ressort, distrik dan pusat. Termasuk pemilihan ephorus. Selain itu sering terjadi masalah keuangan dan perbendaharaan pada semua aras. Beliau mengatakan begini: "Kalau Gereja Batak adalah Gereja milik Tuhan, sudahkah dia menunjukkan (membuktikan) sebagai milik Tuhan?" Mengapa mudah berkonflik, mudah pecah! Apa yang kurang? Apa penyebabnya yang mendasar?
Tiga tonggak utama teologi Lutheran, yaitu Sola Gratia, Sola Vide dan Sola Scriptura, yang membuat perubahan besar di tengah-tengah Gereja dan masyarat di Jerman/ Eropa sejak Reformasi pada 31 Oktober 1517.
Pada tahun 2017 ada satu badan internasional yang merilis suatu hasil penelitian tentang 10 negara paling bahagia di dunia, 5(lima) di antaranya berlatar belakang Lutheran. Kesepuluh negara itu yakni:
1) Norwegia;
2) Denmark;
3) Irlandia;
4) Swiss;
5) Finlandia;
6) Belanda;
7) Kanada;
8) Selandia Baru;
9) Australia;
10) Swedia.
Dalam ceramahnya, Pdt. Manalu mencatat hasil pengamatan Prof. Karl Dahm, yang mengatakan bahwa sampai tahun tujuhpuluhan di negara-negara dengan latar belakang Lutheran angka korupsi sangat rendah.
Ketaatan Gereja-Gereja Batak berlatar belakang Lutheran, mesti memahami dan mempraktikkan teologi Luther dan akan berdampak pada lingkungan.
6. Begitu banyak peserta yang hendak mengambil bagian dalam tanya-jawab/ diskusi namun karena keterbatasan waktu hanya beberapa orang saja memperoleh kesempatan.
a. sesi 1, kesempatan pertama memberikan tanggapan adalah Ephorus (em) Pdt. Dr. J. R. Hutauruk;
b. sesi 2, kesempatan pertama diberikan kepada Dr. H. P. Panggabean. Dr. Panggabean menyeruhkan agar Gereja-Gereja Batak dapat memadu-serasikan iman Kristen dengan budaya Batak/ habatakon. Tentu, jika ternyata ada anasir budaya Batak yang bertentangan dengan iman Kristen, ya dapat dikoreksi.
Dari sekian "butir-butir" yang muncul dalam tanya-jawab, Penulis mencatatkan di sini termasuk pandangan penulis sebagaimana diuraikan di sini.
1) Gereja-Gereja Batak mesti setia pada tugas panggilannya yang hakiki/esensial yaitu Missio Dei. Realisasinya tampak pada keseriusan Gereja-Gereja Batak menukikan tanda-tanda shalom, tidak saja bagi warganya tetapi juga bagi lingkungan sekitarnya. Selain itu secara terus menerus memberitakan Kabar Kesukaan bagi semua makhluk. Perlu segera dicari-temukan formulasi yang pas mengenai Pekabaran Injil dalam masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Negara RI Tahun 1945 dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dalam semangat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
2) Gereja-Gereja Batak mesti mau berubah sesuai perkembangan peradaban tanpa kehilangan hakikat/esensi. Implementasi dan eksekusi dalam paradigma Missio Dei mesti dilakukan. Tata ibadah bukanlah yang esensial maka sepatutnyalah tata ibadah boleh dikemas sedemikian rupa sehingga menarik bagi lintas usia terutama komunitas milenial. Kiranya ibadah itu esensial, efektif dan efisien. Ibadah dan pemberitaan firman Tuhan / marjamita jangan "asal ada.
Kualitas ibadah dan khotbah mesti diprioritaskan, dipersiapkan matang-matang, singkat dan padat. Perlu disadari bahwa teologi sudah "ilmu yang terbuka" yang bukan berlatar-belakang pendidikan teologi pun sudah piawai mengaksesnya. Mimbar mesti dihargai sebagai mezbah Tuhan Jesus - yang dari sananya Tuhan Yesus menyapa pengikut-Nya lalu pulang dengan damai dan sukacita.
3) Gereja-Gereja Batak mesti segera bertobat dari tingkat sinode/ pusat sampai tingkat jemaat. Tidak lagi berantam, untuk itu kembalilah pada Firman Tuhan Yesus "melayani bukan dilayani". Bagaimana caranya agar kuasa/power tidak sesuatu yang melekat pada jabatan gerejawi, pada ephorus dan bishop, misalnya, mesti diupayakan. Adalah sesungguhnya, jabatan gerejawi mesti dipahami dan dilaksanakan sebagai pembagian tanggung-jawab pelayanan bukanlah sebagai jabatan dalam artian birokrasi, pemerintahanan. Apalagi prinsip pelayanan dijungkir-balikkan, ephorus/bishop/ pendeta yang justru dilayani, dihormati setinggi-tingginya sebagai uluan. Roh pelayanan menjadi terabaikan oleh roh kesombongan. Selain itu, wibawa ephorus/bishop/pendeta mesti dipelihara dengan sungguh-sungguh. Memalukan, adanya pendeta yang menimbulkan persoalan di jemaat akibat dari ketidakmampuannya sebagai teladan, role model.
4) Sangat disayangkan apabila money politic berlaku dalam Gereja baik di tingkat pusat mau pun di tingkat ressort dan jemaat. Ada selentingan yang mengatakan bahwa Gereja-Gereja Batak lebih asyik berpolitik praktis katimbang Partai Politik. Isteri pimpinan sinode pun terkesan sebagai Ibu Negara, mesti diperlakukan secara khusus. Segala model selebritis menjadi model kebanyakan isteri-isteri pendeta. Hidup sederhana bukan gaya hidup pendeta di kota-kota. Konsumerisme, hedonisme dan materialisme begitu rupa mewarnai dan menguasai para pimpinan gereja dan para pendeta lainnya. Pelayanan Sang Anak Manusia tidak (lagi) habitus sosial bagi kebanyakan mereka.
5) Amat jelas kelihatan ada "kebijakan" ephorus/bishop soal penempatan pendeta di kota-kota besar. Ada yang baru berapa tahun di Jakarta, sang pendeta sudah dipindahkan ke tempat yang jauh. Sementars yang lain ada yang berpuluh-puluh tahun tetap di Jakarta walau memang berpindah-pindah ressort. Begitu banyak pendeta yang ditempatkan di kantor distrik, asal domisili di Jabodetabek. Tidak banyak pendeta yang bersedia ditugaskan ke mana tempat. Mengapa ya?
6) Menjadi pendeta di kota-kota besar, seperti di Jabodetabek misalnya, biarlah itu atas kepatutan dan kompetensi pendeta yang bersangkutan, bukan karena pendekatan-pendekatan lainnya atau transaksi sebagaimana sudah menjadi rahasia umum akhir-akhir ini. Berikan sekian kepada "Ibu Negara" maka jadilah pendeta ke kota-kota besar, demikian selentingan yang beredar. Ke kota besar menjadi upah bagi tim sukses sewaktu sidang raya pemilihan pimpinan sinode. Tidak TS pindahkan ke jemaat-jemaat yang tidak ada pada peta. Dan ... fenomena memalukan lainnya.
Sebaiknya masa pelayanan pendeta di kota dan di desa diatur sedemikian rupa, tidak karena kemampuan negosiasi atau lainnya. Mesti ada sistem yang mengontrol/mengawasinya. Staff development mesti dirancang bagus-bagus.
Mungkin tidak salah kalau dianjurkan begini: berikan otonomi kepada distrik-distrik itu. Seperti yang dilakukan.GMI, ada pembagian wilayah. Setiap wlayah ada bishopnya. Barangkali perlu dipertimbangkan agar Gereja-Gereja Batak (di Tapanuli atau di Sumut, misalnya).
7) Gereja-Gereja Batak sebaiknya mengoreksi diri dan tidak menghakimi umat yang lebih suka di gereja baru (sebutan yang ditawarkan salah seorang peserta untuk pengganti sebutan Gereja Kharismatik). Jangan pula menyalahkan gereja baru itu.
Berubahlah. Tingkatkan kualitas ibadah dan khotbah. Buatlah ibadah dan khotbah menjadi menarik, inovatif dan kreatif. Singkat dan padat tanpa kehilangan makna (ada yang mengusulkan agar warta gereja yang sudah dicetak tidak dibacakan lagi). Paduan suara yang berkualitaslah yang diijinkan menyanyi pada ibadah Minggu. Sesungguhnya paduan suara adalah "tangan kanan pengkhotbah" demikian penegasan Sang Reformator.
8) Majelis Jemaat adalah mitra pelayanan pendeta. Majelis Jemaat tidak perlu memperoleh "honorariun" dari gereja yang dilayaninya (honor paragenda, song leader dll). Penggajian pendeta pun jangan membuat iri warganya. Hidup sederhana mestinya menjadi tabiat semua pengerja gereja.
9) Bagi Gereja-Gereja Batak yang menyebut dirinya Lutheran mesti dengan sungguh-sungguh menjadi ajaran Marthin Luthet hidup dan berkehidupan baik dalam Gereja mau pun dalam keluarga. Termasuk dalam kehiduupan-bersama.
10) Penting dan segera! Gereja-Gereja Batak peduli pada masa depan generasi muda, kaum milenial. Perlu ada program Gereja yang memampukan dirinya terlibat dalam mengembangkan ekonomi kreatif. Bukan hanya itu saja, Gereja-Gereja pun mesti menyiapkan mereka menjadi pemimpin pada masa depan. Tidak lagi hanya koor ke koor jadi marungkor.


7. Penulis menyambut baik rekomendasi yang dicatatkanmoderator. Antara lain membentuk FORUM DIASPORA BATAK KRISTIANI. Olehnya Panitia dimohon memfasilitasinya.

Horas,
Ganda Panjaitan,
Peserta Seminar dan Pengamat
Komentar

Berita Terkini