|

PEMBELAJARAN DARI COVID-19

Penulis : Setiawati
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan (UIN-SU Medan)

MEDIA NASIONAL OBOR KEADILAN | Selasa, (4/08-2020) Saat ini, kita sedang melalui krisis covid-19, krisis yang begitu banyak memakan banyak nyawa, yang menjadi tantangan luar biasa bagi negara kita dan seluruh dunia.

Tahun 2020 ini menjadi tantangan terbesar bagi setiap orang untuk menanggapi bagaimana cerdasnya kita dalam menghadapi tantangan tersebut, terkait dalam dunia pendidikan. Tantangan inilah yang harus dihadapi dan dijalani agar pendidikan tetap berjalan semestinya meskipun dilakukan dengan cara yang berbeda. Sejak Maret 2020, berbagai tingkatan institusi pendidikan/sekolah terpaksa melakukan pembelajaran jarav jauh dengan sistem daring. Disinilah peran penting guru untuk merealisasikan pendidikan  dimasa pandemi covid-19, khususnya pada jenjang Sekolah Dasar (SD)/ Madrasah Ibtidaiyah (MI).

Belajar daring membutuhkan pengetahuan tentang teknologi dan fasilitas canggih dirasa tidak mudah bagi beberapa orang. Ada beberapa hambatan-hambatan yang dirasakan saat diberlakukannya pembelajaran secara daring. Salah satunya yaitu, keterbatasan teknologi seperti didaerah (pedesaan). Karena tidak semua masyarakat di pedesaan memiliki teknologi yang mendukung, dan jaringan internet yang bagus. Hal inilah yang menjadi pengaruh besar dalam pembelajaran. Selain itu, peran guru yang mengajar sekaligus membimbing siswa disekolah baik dalam hal karakter maupun moral tidak terealisasikan ketika siswa/i belajar dirumah. Hal tersebut membutuhkan peran pihak lain dalam membimbing siswa, salah satunya yaitu orangtua siswa/i itu sendiri.

Berdasarkan data yang tertulis dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima pengaduan bahwa sejumlah orangtua siswa/i mengeluhkan anak-anak mereka malah stress karena mendapat berbagai tugas setiap hari dari para gurunya. Banyak sekali keluhan-keluhan yang terlontar pada orangtua siswa/i, “Semenjak adanya covid-19 ini, anakku main-main saja, malas belajar”, ujar orangtua tersebut (Jumat/18/7). Selain itu, ditambahkan oleh Ibu P. “Guru hanya memberi tugas-tugas sekolah banyak yang sama sekali anakku tidak memahaminya. Bagaimana bisa pintar? Gurunya yang enak-enakan menerima gaji tanpa adanya keringat. Tau-tau tak terasa sudah anakku naik kelas, naik semester. Tapi apa? Malah semakin bodoh, tidak tau apa-apa.” 

Perkataan diatas inilah yang menjadi suatu problema saat ini. Bagi masyarakat awam, mereka hanya melihat sisi negatif dari apa yang dirasakan dalam pendidikan saat ini. Seakan-akan sepenuhnya ini adalah kesalahan guru/pendidik terhadap pembelajaran yang dilakukan secara daring. Persepsi masyarakat yang demikian inilah yang menjadi tantangan untuk para guru bagaimana menyikapi dan tanggap terhadap hal tersebut.

Satu hal mengenai psikologi manusia yang berhubungan dengan pendidikan, bahwa jika terjadi suatu hal yang tidak bisa kita jelaskan, kenapa wabah ini terjadi bisa berdampak sampai terhadap ekonomi, kesehatan, bahkan pendidikan didunia sebesar ini? Harus ada orang yang disalahkan, karena ada orang tidak mau menerima situasi ini suatu hal yang organik setelah terjadi, sehingga lebih mudah menyalahkan satu orang, satu pihak, atau mempercayai satu konspirasi diri. Sedangkan, jika kita percaya terhadap scientic-scientic, ini sudah diprediksi bertahun-tahun.

Seperti yang dikatakan oleh kemdikbud pada perbincangan secara online di Narasi TV, bahwasanya Nadiem Makariem mengatakan, pembelajaran face to face itu banyak positifnya. Tapi, kalau ada kombinasi antara meeting (bertemu) face to face, ada kombinasi dengan remote learning dan online learning, itu potensinya menjadi jauh lebih efektif. Suatu hal yang saya personal belajar adalah mau ada teknologi seperti apapun, secanggih apapun, inovasi sebesar apapun, ujung-ujungnya yang benar-benar melakukan perubahan adalah hati nurani seorang penggerak, yaitu guru yang datang ke pintu-pintu setiap siswa/i nya.

Dari krisis ini kita dapat banyak sekali hikmah dan pembelajaran yang bisa kita terapkan saat kondisi krisis dan setelahnya. Untuk pertama kalinya, guru-guru melakukan pembelajaran secara online menggunakan ide-ide baru dan menyadari bahwa sebenarnya pembelajaran bisa terjadi dimana pun. Orangtua untuk pertama kalinya menyadari betapa sulitnya tugas guru, betapa sulitnya tantangan untuk bisa mengajar anak secara efektif dan menimbulkan empati kepada para guru-guru yang tadinya mungkin belum ada. Guru, siswa, dan orangtua juga sekarang menyadari bahwa pendidikan itu bukan hanya suatu hal yang bisa dilakukan disekolah, tetapi pendidikan yang efektif itu membutuhkan kolaborasi yang efektif dari tiga pihak ini. Tanpa adanya kolaborasi ini, pendidikan yang efektif tidak mungkin bisa terjadi. Timbulnya empati, solidaritas di masyarakat kita pada saat pandemi covid-19 merupakan suatu pembelajaran yang harus kita kembangkan bukan hanya dimasa krisis ini, tetapi pada saat krsis ini sudah berlalu. Belajar memang tidak selalu mudah, tapi ini saatnya kita berinovasi, bereksperimentasi, mendengarkan hati nurani kita dan belajar dari covid-19 agar kita menjadi masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan.

IDENTITAS PENULIS

Nama : Setiawati
Jurusan : Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah
Fakultas : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Kampus : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan (UIN-SU Medan)
Peserta KKN-DR Kelompok 69
Komentar

Berita Terkini