|

Jeweran Buat Najwa Shihab Dari Sel Napi Koruptor Kelas Jelata [eks dprd Malang]

MEDIA NASIONAL OBOR KEADILAN| JAKARTA- Jumat (9/04-2020), Kita dulu pernah ketemu. Tepatnya, sebagai penggemar, saya mengejar untuk bertemu Najwa Shihab. Pertemuan sekitar 10 menit di Depot Bakso President, Malang, itu tentu tidak bisa membuat Najwa mengingat one in millions fans-nya. Tetapi, pertemuan itu selalu membekas di hati dan pikiran saya.

Saya, Ya'qud Ananda Gudban, seorang narapidana koruptor. Saya didakwa menerima suap awalnya sebesar Rp 15 juta. Kemudian ada tambahan dakwaan Rp 5 juta. Selanjutnya dakwaan bertambah lagi, jadi total menjadi Rp 150 juta.

Selama lima bulan persidangan sangat alot untuk beradu data dengan jaksa KPK demi membuktikan saya tidak bersalah. Namun, majelis hakim tetap menyatakan saya bersalah dan menjatuhkan vonis 4 tahun 8 bulan penjara atau 56 bulan penjara.

Saat surat ini saya buat, saya sudah menjalani masa tahanan selama 740 hari. Mulai di Rutan Pondok Bambu Jakarta, Rutan Medaeng Surabaya, hingga di Rutan Porong, Sidoarjo.

Saya yakin Najwa bisa dengan mudah mencari tahu siapa saya karena jejak digital saya bisa dilacak di dunia maya. Di sana tertulis, tanggal 27 Maret 2018 saya ditahan oleh penyidik KPK. Saya tidak sendiri, saya bagian dari gelombang besar tersangka korupsi di DPRD Kota Malang. Tuduhannya bervariasi, antara mendapat uang Rp 10 juta sampai Rp15 juta. Ada ratusan informasi media tentang proses persidangan saya. Ada juga rencana politik saya untuk maju sebagai calon wali kota Malang di Pilkada 2018.

Yang mungkin tidak bisa ditemukan di dunia maya adalah apa saja yang sudah saya perbuat di Kota Malang. Baik sebagai anggota DPRD maupun aktivis perempuan. Jika pun ada, tidak banyak. Karena memang cerita-cerita semacam itu tak akan muncul menjadi diskursus publik. Berita seorang calon wali kota yang terdakwa korupsi tentunya jauh lebih menarik perhatian para warga +62.

Yang juga tidak banyak info di media digital adalah bagaimana narapidana korupsi berada di dalam penjara. Kisah-kisah ini tidak bisa dilihat hanya dari kunjungan sesaat di LP Sukamiskin, misalnya. Maka izinkan saya menceritakan kisah saya, seorang narapidana koruptor yang tak tinggal di LP Sukamiskin; dengan fasilitas mewah seperti yang Najwa lihat dalam kunjungan yang tampaknya memang sangat berbekas bagi Najwa. Mungkin kisah saya bisa mewakili banyak napi koruptor lainnya di berbagai lapas di Indonesia.

Najwa yang tetap saya kagumi, izinkan saya bercerita tentang sel koruptor.

Saya pernah menempati sel di Rutan Pondok Bambu selama 4 bulan. Saya tak ingat persis ukurannya. Tapi saya ingat tidur berdesak-desakan. Tak terpisah sejengkal pun dari rekan satu sel.

Saya juga pernah menempati kamar ukuran 2 x 4 meter, dengan tempat tidur (badukan dari semen) berukuran 1 X 2 meter. Beralas matras 1,5 cm dan harus berbagi dengan rekan lain yang juga dituduh sebagai koruptor. Kami tidur dengan posisi kaki bersanding dengan kepala. Selama 1 tahun 7 bulan.

Di penjara, kami sebut dengan istilah "turing" (alias turu miring atau tidur miring). Blok kami berkapasitas 45 orang, tetapi dihuni oleh sekitar 180 orang. Kami adalah bagian kecil dari rutan dengan kapasitas 450 orang, namun berisi sekitar 3.000 orang.

Bangunan penjara kami adalah bangunan tua tanpa sirkulasi udara yang layak. Kami hanya bisa menikmati matahari seminggu sekali ketika diberi kesempatan untuk berolah raga. Batuk pilek sudah menjadi menu sehari-hari. Gatal-gatal di kulit? Ah, itu biasa. Penyakit standar bagi penghuni penjara.

Syukurlah sudah lebih dari sebulan ini kami, napi perempuan Rutan Medaeng, dipindahkan ke Rutan Porong. Rutan ini baru berdiri, dan kini terasa sebagai surga. Hanya karena kami bisa mendapatkan sinar matahari setiap hari. Kalau soal berdesakan dan "turing",  tetap tak banyak berubah.

Najwa yang baik,

Saya selalu kagum dengan narasi-narasi cerdas yang keluar dari bibir Najwa dalam setiap acara, serta ketajaman Mata Najwa dalam melihat atau mengulik sebuah kasus. Saya selalu percaya bahwa Najwa memang punya sebuah idealisme untuk membangun masyarakat sipil yang kritis, membangun transparansi di media lewat dialog yang sehat untuk perubahan yang lebih baik di masyarakat.

Ketika saya memilih untuk terjun ke dunia politik dan maju menjadi anggota DPRD adalah karena saya punya idealisme yang sama denganmu. Saya ingin membuat perubahan, yang saya percaya, hanya bisa terjadi ketika saya masuk ke dalam sistem sebagai pembuat kebijakan.

Betul, banyak politisi yang masuk ke kolam sudah dengan baju kotor berlumpur sehingga membuat air keruh. Tapi, saya juga mengenal banyak politisi yang masuk dengan baju bersih, mencoba sedapat mungkin untuk tak melewati kubangan lumpur agar tak terciprat noda-noda kotor. Tetapi nyatanya itu memang sangat sulit walau bukan mustahil.

Dan yang paling sedih adalah ada politisi yang berhasil tiba di tepian (baca: mencapai tujuannya membuat perubahan) dengan satu dua noda kotor cipratan lumpur yang tak mungkin terelakkan, ia lalu dihakimi sebagai politisi kotor dan mendapat cap koruptor sepanjang hidup.

Sayangnya, Najwa mungkin belum bertemu mereka, atau mungkin sudah bertemu, tapi kisah mereka tak semenarik para koruptor besar untuk diulik di layar kaca dan media sosial.

Najwa yang baik,

Ibu penjaga sel kami berbagi tentang hiruk pikuk di media sosial mengenai sikap kritis Najwa yang mempertanyakan kepada Pak Menteri Hukum dan HAM agar membuka ke publik. Yakni, narapidana kasus korupsi apa dan di mana yang menempati sel berdesak-desakan seperti napi umum yang bahkan tidurnya harus bergantian.

Ah, Najwa, pasti karena kita belum pernah bertemu dan ngobrol. Tapi terlalu mewah bagi saya kalau berharap Najwa sudi menengok kami di Lapas Porong, Sidoarjo. Meskipun, seeing is believing. Saya juga tak berani berharap Najwa mampir ke Rutan Medaeng Surabaya, yang bukan khusus untuk koruptor.

Ah iya, saya lupa. Najwa sudah pernah meliput dan melihat bagaimana para narapidana tidur bagai pindang. Saya tak tahu mengapa Najwa tak berteriak meminta pemerintah segera membenahi kondisi yang sangat tak manusiawi itu. Semua terjadi karena sangat kelebihan kapasitas. Jika kemarin sempat membebaskan 30 ribu napi, itu masih sangat kecil. Penghuni ruangan tetap melebihi kapasitas semestinya. Najwa barangkali juga pingin tahu, berapa lama hukuman dan kasus apa saja yang membuat kelebihan tampung ini terjadi

Najwa yang baik,

Kami pun geregetan mendengar ada tahanan yang bisa pelesir. Kami pun sangat sedih karena konsekuensi satu dua cerita tentang tahanan koruptor yang nakal, akhirnya harus ditanggung oleh semua narapidana koruptor. Padahal, kalau mau adil, bukankah seorang yang berdosa tidak bisa memikul dosa orang lain (QS.17;15)

Kalau mau, Najwa juga bisa mendapat cerita dari tahanan-tahanan lain. Tentang apa kasusnya, bagaimana persidangan mereka, dan apa vonis mereka. Informasinya sangat penuh warna, termasuk menggali banyak microstories bagaimana sistem hukum kita bekerja yang tak selalu sesuai teks UU kepada banyak orang yang akhirnya jadi terpidana. Tema narapidana jauh lebih luas dan tak terduga; yang tak kalah menggugah dibanding kisah koruptor.

Mungkin Najwa tak tahu bagaimana gemetarnya saya mendengar ancaman akan dikirim ke Nusa Kambangan hanya karena kesalahan satu orang. Saya menjerit dalam ruang hampa. Kami memang narapidana. Tapi kami menjaga kelakuan baik. Kami bukan pembuat masalah. Kami, beberapa tahanan korupsi di lapas, membicarakan itu dengan mata berkaca-kaca.

Saya lihat banyak napi korupsi bermanfaat bagi napi lain. Saya ingat petak kamar saya, 2 x 4 meter dan diisi empat orang itu adalah tempat teman-teman lain datang berkeluh kesah. Tentang kasus yang merundungnya dan kehidupannya. Petak kecil itu telah membantu beberapa teman membuat pledoi. Di petak itu setiap Selasa dan Kamis malam, kami buat bahan ajar untuk tahanan anak. Karena setiap Rabu dan Jumat, saya harus mengajari mereka materi etika dan tata krama. Ironis memang, dibanding apa yang sudah dicapkan kepada kami.

Kami tidak merasa kami bernilai. Kami hanya terus berbuat karena kami ingat jelas dalam salah satu ceramahnya Ami Quraish Shihab menyampaikan salah satu Hadits Nabi salallahu alaihi wassalam, "Manusia yang paling baik adalah manusia yang paling bermanfaat bagi orang lain." Kami juga menganggap berbuat sebisanya itu bagian dari upaya pemasyarakatan, penebusan atas cap kesalahan kepada kami.

Ketika kebanyakan dari kami bersikap sesuai aturan serta berbuat semampunya untuk saling membantu, kenapa hal ini tidak berdampak kepada napi lain dengan kasus yang sama? Sementara kalau ada satu saja napi koruptor bertindak curang, semua yang lain terkena dampaknya.

Tak adakah keinginan agar narasi seperti itu dikisahkan, agar kebaikan yang dilakukan. Agar bisa mengurangi stigma, bahwa  semua napi koruptor yang tergambar sebagai rakus dan tak pernah menderita di balik jeruji? Stigma ini makin berat terasakan oleh seorang ibu seperti saya. Berpisah dengan anak adalah penderitaan terbesar seorang ibu, terlebih dengan beban stigma gebyah uyah yang memerihkan itu.

Najwa yang baik,

Saya menaruh hormat setinggi-tingginya bagi Najwa yang setelah sekian lama "berenang" di kolam milik pemodal sekaligus politisi, akhirnya memilih untuk membuat kolamnya sendiri. Agar bisa berenang bebas sampai di tujuan dengan air yang bersih. Bahkan steril dari kepentingan, sehingga Najwa bebas berteriak dengan suara lantang.

Kami yakin Najwa bukanlah jurnalis sebelah mata yang hanya bisa melihat sebuah isu hanya dari satu sisi, yakni dari vonis hakim. Najwa tentu paham bahwa dalam sistem hukum kita sekarang tak selalu seiring dengan kebenaran hakiki. Percayalah kami pun pernah berjuang dengan sekuat-kuatnya, dengan sehormat-hormatnya, agar kami diperlakukan seadil-adilnya.

Maka, Najwa, ketika wabah pandemic Covid-19 ini terjadi kami di dalam sel tahanan, meski dengan informasi yang sangat terbatas pun juga cemas. Physical distancing? It is impossible. Kapasitas penjara se-Indonesia 125 ribu sementara penghuni sekarang 270 ribu. Membebaskan 30 ribu tahanan pun masih jauh dari ideal.

Kami bukan manusia super. Kami juga manusia biasa yang takut akan kematian, takut akan rasa sakit, takut membuat orang yang kami cintai harus sedih tak berkesudahan. Terbayang wajah anak-anak kami, juga orang tua kami.

Najwa tidak tahu, bukan? Bahwa setiap gema takbir hari raya dikumandangkan, begitu banyak nama yang mendapat remisi. Banyak yang langsung bebas. Kecuali kami, koruptor dan mereka yang dikenai PP No. 99 tahun 2012. Sudah dua takbir saya mendapat tatapan empati dari teman-teman yang menerima remisi sambil mendoakan semoga ada keajaiban di takbir ketiga yang notabene bulan depan.

Tidak ada ampunan  walau sehari pun bagi kami, Najwa, Not even a day. Padahal syarat utama mendapat remisi adalah berkelakuan baik. Namun sayang lapas yang membina kami hanya bisa memberi skor penilaian karena kelulusan masih menjadi milik lembaga yang menahan.

Saya ingat Ibu Siti Fadilah bercerita pada saya di Rutan Pondok Bambu,  Beliau mengajukan permohonan untuk mendapatkan remisi dengan pertimbangan berkelakuan baik, perempuan lansia (70 tahun) dengan medical record yang sudah jauh dari normal (tidak sehat), dan pernah menerima bintang jasa dari presiden karena berjasa bagi negara. Namun ditolak mentah-mentah.

Najwa,

Kami sudah berusaha menjadi warga negara yang baik. Kami terkurung menjalani hukuman dalam situasi pandemi global yang sangat rawan. Salahkah jika kami berharap ada sedikit perhatian dari pemerintah sama halnya dengan apa yang diperoleh oleh napi non-korupsi?

Hingga saat ini saya masih berjalan tegak karena nurani saya sangat yakin bahwa saya tidak melakukan apa yang dituduhkan. Namun ini adalah konsekwensi ketika saya memutuskan terjun ke dunia politik.

Saya percaya Najwa dan gelombang besar yang bersama Najwa akan mampu membaca pesan saya ini lewat keindahan dan ketajaman mata (hati) Najwa.

Salam,
Nashrun minallah wa fathun qariib
Ya'qud Ananda Gudban

***
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi

■ [Sumber] Artikel ini sudah tayang di: timesindonesia.co.id
Editor: Obor Panjaitan


Komentar

Berita Terkini