|

Jelajah Pulau Terluar, Pulau Gara Daratan Terakhir Masyarakat Suku Laut Batam

BATAM | MEDIA NASIONAL OBOR KEADILAN | Senin, (17/01/2022)-Suku Laut Yang Terlupakan Pulau Gara, tak banyak orang tau. Pulau ini merupakan daratan terakhir tempat masyarakat suku laut mewakafkan diri untuk meneruskan dan mewariskan generasi demi generasi.

Disana lah warga suku laut melanjutkan kehidupan. Lahir, tumbuh dewasa hingga mengadu nasib dan berkeluarga hingga membentuk warisan menjadi peradaban bagi Suku Laut Batam. 

Mendengar nama Suku Laut, orang kerap mengetahui bahwa mereka adalah manusia yang hidup diatas perahu kecil. Sejarah peradaban mereka memang tak lepas dari kekayaan adat budaya masyarakat Indonesia. 

Konon, orang menyebutnya masyarakat ‘aneh’. Bukan tanpa alasan, masyarakat Suku Laut hidup dan menetap diatas sampan berukuran kecil yang hidupnya selalu berpindah-pindah mengikuti arah angin laut. 

Tapi kini, masyarakat Suku Laut Batam tak lagi  seperti itu. Mereka tak lagi sulit ditemui. Suku Laut sudah menetap di Pulau Gara, pulau yang berada di Kelurahan Kasu, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam, Kepri. 

Pulau ini menjadi pulau terakhir peradaban Suku Laut Batam.

Tim Jelajah Pulau terluar jurnalis Obor Keadilan kembali menghadirkan episode pertama tahun 2022, kali ini dengan tujuan “Pulau Gara”, tempat terakhir masyarakat suku laut yang ada di Batam.

Sabtu/15/Januari/2022, Jarum jam menunjukan Pukul 09.00 wib Jurnalis Tim jelajah Beres Lumbantobing serta Novendri jurnalis  Tribun Batam bersama David dari Obor Keadilan sepakat bertemu di Pelabuhan rakyat Sagulung.

Setiba di Pelabuhan Rakyat Sagulung, Tekong bernama Medi yang sudah menunggu di boat sudah menyiapkan teh Panas dan kopi sebagai bekal di perjalanan.

Tanpa menunggu lama boat Viber mesin 15 PK yang menjadi andalan tim jelajah melesat meninggalkan dermaga Pelabuhan Rakyat Sagulung itu. Cerita perjalanan kali ini hampir sama dengan sebelumnya, di hantam gelombang dan angin yang kuat.

Jarak Pulau Gara dari pelabuhan rakyat Sagulung di tempuh dengan perkiraan waktu 30 menit. Jarak yang tidak cukup jauh memang, tetapi karena cuaca yang menghambat, perjalanan serasa lama sekali.

Medi warga pulau Buluh yang menjadi tekong cukup lihai menghindari gelombang dan kami pun terhindar dari hempasan basah kuyub air laut.

Sebelum tiba di Pulau Gara, David menelepon salah satu tokoh masyarakat Pulau Gara menerima kabar bahwa ‘Bang Maumir’ salah satu tokoh masyarakat tidak berada di Pulau Gara, Kami pun berunding dan memutuskan tetap melanjutkan Perjalanan.

Ada hal menarik di saat melintas selat Bulang, Pertemuan Arus dari laut Tanjung uncang dan laut Bulang, menimbulkan gelombang yang cukup besar, jelas jelas ini membuat Kami bertiga terkejut, tetapi Tekong Medi menjelaskan "Di selat ini memang selalu seperti ini bang, kalau yang baru pertama kali melintas tempat ini pasti terkejut, Bagi kami masyarakat di sini sudah biasa akan hal ini" ungkap medi sambil setengah berteriak mengencangkan volume suaranya karena angin yang cukup kuat.

Sesampainya kami di pulau Gara keadaan air laut surut, ya kami pun turun ke laut dengan berjalan kaki sambil melepas sepatu.

Kami menjumpai tiga anak gadis kecil yang memancing di laut depan rumahnya, tim mengabadikan momen ini.

Lalu tim jelajah pun menaiki tangga dan bertanya ke salah satu Pemuda dimana kediaman pak RT pulau gara.

“Rumah pak RT tidak terlalu jauh dari sini bang, itu yang bercat warna hijau" ujar pemuda itu sambil menunjuk sebuah rumah.

Sejauh yang kami lihat di pulau gara hanya ada Pelantar beton yang kira kira panjang nya 150 meter dan rumah rumah panggung kayu yang berjajar dengan beragam kondisi ada yang memperihatinkan ada yang biasa saja, tetapi secara umum kurang terawat.

Sekitar 5 menit tim jelajah tiba di rumah pak RT. Seperti kita bertamu ke rumah seseorang adat ketimuran tetap di junjung tinggi, kami pun bertemu dengan pak RT Tokoh yang yang saat ini di tuakan di kehidupan Suku Laut yang ada di Batam.

Tim jelajah menemui masyarakat Suku Laut, menyaksikan betul bagaimana aktivitas kehidupan mereka. Bertemu masyarakat Suku Laut menjadi kebanggaan bagi tim jelajah. Banyak cerita maupun kisah yang didapat disana. Cerita pilu, sedih dan senang pun diungkapkan masyarakat Suku Laut itu. 

Ternyata, tinggal di Pualu Gara bukanlah waktu yang singkat, warga suku laut Batam ini sudah 30 tahun lamanya tinggal dan menetap di pulau itu. Namun, peradaban mereka tampak masih tertinggal dari kemajuan kota Batam. 

Jika kita berkunjung kesana, Pulau Gara, maka terlihat jelas rumah warga suku laut berjejer dibantaran pelantar bibir pantai. Rumah yang dihuni Suku Laut membentang disepanjang bibir pantai, panjangnya kurang lebih 500 meter. Tak ada bangunan rumah yang berdiri diatas tanah. Rumah rumah masih berdiri tegak diatas kayu alias rumah panggung. Rumah panggung berdiri diatas kayu dengan penyangga yang cukup kuat.

Pulau Gara kini dihuni sebanyak 77 Kepala Keluarga (KK). Mereka merupakan warga asli suku laut. Ikatan kekeluargaannya pun sangat kental, mereka merupakan keluarga besar ‘sedare mare’.

Rumah antar tetangga, masih punya hubungan darah. Kalau bukan adik, kakak bahkan ipar.

Datok Jamaludin merupakan tokoh yang dituakan oleh masyarakat disana. Jamaludin merupakan kepala suku, yakni Suku Laut Batam.

Rasa penasaran jurnalis untuk mendapatkan cerita terhadap peradaban Suku Laut Batam pun mulai dijawab Jamaludin. 

Zamaludin, iya. Nama itu tak lagi asing didengar telinga. Jika orang berkunjung ke Pulau Gara. Maka terlebih dahulu harus menemuinya. Warga sekitar menyebutkan ‘Datok’. Tokoh sesepuh pulau laut yang kerap disebut ‘Kepala Suku’. 

Rumah Zamaludin berada ditengah dari rentetan rumah-rumah warga, posisi rumahnya tak jauh dari dermaga kecil milik warga suku Laut.

“Terimakasih pak, sudah mau menyambut kami,” ujar jurnalis memperkenalkan diri epada Zamaludin. 

Zamaludin memang terlihat ‘Sangar’ namun ia tak semenakurkan  itu. Zamaludin orangnya baik dan ramah. 

“Silahkan masuk,” sambut Zamaludin menjamu tim jelajah diteras rumah miliknya. 

Rumah Yang dihuni Zamaludin sama seperti bangunan lainnya, meski ia sebagai kepala suku, tak ada ornamen khusus dalam bangunan rumahnya. 

Pak Zamaluddin Tokoh Suku Laut, terlihat sudah berumur (tua). Kami semua duduk di teras rumah tokoh suku laut ini, rumah bantuan pemerintah yang terakhir di renovasi tahun 2012 (hampir sepuluh tahun) kondisinya masih layak huni.

Pak zamaluddin yang sudah mengerti akan tujuan kami datang pun memulai ceritanya " suara saya sudah kurang jelas lagi" Spantan David menjawab " tidak apa pak, ini masih jelas kita mendengar suara bapak"

Bila kami gambarkan pak zamaluddin dengan perawakan tubuh yang tambun dan agak susah juga untuk berjalan, dari tatapan matanya terlihat cukup tajam dan menyimpan banyak kisah.

Mata kami pun memandang tokoh ini dengan serius dan menunggu kalimat dari Pak zamaluddin.

"Dulu kami suku laut ini hidup di sampan (perahu dayung dari kayu), Kami anak beranak hanya tau hidup di sampan bukan didarat.

"Kehidupan suku laut setiap hari menggantungkan hidupnya ya dari laut, mencari ikan dan lainnya"

Perbincangan pun mulai akrab, Zamaludin pun mulai menceritakan satu persatu deretan cerita peristiwa peradaban masyarakat Suku Laut Batam yang ia pimpin. 

Orang menyebutnya dengan sebutan Datok lantaran Zamaludin merupakan satu satunya tokoh yang pertama kali menetap di Pulau itu bersama anak dan istri. Lambat laun, tahun demi tahun terus berjalan hingga kini generasinya pun mulai banyak. 

“Saya punya anak 13, dah banyak lah. Mereka tinggal di pulau ini. Makanya orang bilang pulau Gara ini pulau suku laut,” ujar Zamaludin. 

Menetap di Pulau Gara, bukan hal yang mudah bagi dia. Ia harus memulai pola hidup baru, meninggalkan kebiasaan bertahan hidup dan melangsungkan hidup diatas sampan yang berukuran cukup kecil. 

“Kalau ditanya, mana lebih enak hidup disimpan atau di darat? saya jawab ada positif dan negatifnya. Sebagai Suku Laut, iya tentu lebih enak hidup disampan,” ungkapnya. 

Kenapa demikian, kata dia lantaran nenek moyang mulai dari kakak dan orang tuanya mengajarkan dia hidup disampan. Warisan kebiasaan pula lah yang membentuk kehidupannya.

Namun Zamaludin sadar, peradaban hidup diera perubahan kemajuan zaman mendorongnya untuk dapat mengikuti perkembangan zaman. 

“Kalau lah saya masih hidup dan menetap diatas sampan, bagaimana masa depan generasi saya. Kian hari kian sulit dan hampir punah,” sebutnya.

Jadi itu alasan saya mulai mencoba hidup tinggal di darat walaupun tidak jauh dari  aktivitas kehidupan laut. 

Zamaludin juga mengaku sebelum keinginannya untuk mencoba hidup di darat ia bahkan sudah pernah ditawarkan pemerintah untuk pindah ke darat. 

“Itu, Seiringnya kemajuan zaman dan adanya perubahan dari pemerintah, kami suku laut di relokasi lah di pulau ini, pulau gara, Pulau bertam dan airlingka” sebutnya.

“Tinggal di darat itu bukan berarti kami tak melaut. Tetap melaut, hanya saja rumah kami sudah menetap. Tak turun melaut badan terasa sakit,” ungkap Zamaludin menggunakan logat bahasa Melayu. 

Sedari menyeruput kopi hitam, perbincangan terus berlanjut. Menceritakan pengalamannya, Zamaludin kerap melontarkan candaan. Kisah-kisah dan mitos kehidupan Suku Laut pun ia sampaikan. Ada hal hal yang disampaikan Zamaludin yang kerap tak dapat diterima akal sehat manusia. Namun, itu pula lah yang dikenal dari sala satu suku tertua di perairan Kepri ini. Nilai nilai supranatural sangat kental dalam kehidupan mereka. Orang jika mendengar Suku Laut, maka tak lepas dari nilai nilai Mistik.

“Iya, itu dulu. Masih zaman tinggal disampan. Juga warisan nenek moyang, alam masih belum disentu manusia, tak seperti saat ini. Pengrusakan alam sudah terjadi dimana-mana,” ungkap Zamaludin.

Dalam perbincangan, Jurnalis memang sedikit kewalahan menelaah logat bahasa yang disampaikan Zamaludin. 

Saya, kata dia tingga di Pulau Gara sejak tahun 1991. Artinya, Zamaludin tinggal pulau itu sudah kurun waktu 30-an tahun lamanya. 

Pulau itu dulu sepi, saat itu Batam belum semaju ini. Kawasan industri juga tak seperti yang ada saat ini. 

Zamaludin saat itu masih kerap masuk keluar negara Singapura untuk dapat mencari ikan dan menjual hasil tangkapan. 

Dalam ingatan Zamaludin, tak ada peristiwa yang terlupa. Meski ia tak lagi muda. Namun ingatannya tak seperti orang tua layaknya kakek. 

Kini, Zamaludin sudah menginjak pada usia 77 tahun. Pria paru bayah ini lahir pada tahun 1945. Lahir diatas perahu sampan, hingga tumbuh dewasa diatas sampan. Tentu ini bukan usia yang mudah. Ia bahkan sudah punya puluhan cucu, dan cicit. 

Tatapan mata Zamaludin tak lagi segarang waktu ia muda, matanya sudah sayu. Rambutnya sudah ditumbuhi uban. Namun tubuhnya masih terlihat kekar.

Itu pulah lah yang menjelaskan kenapa pria paru bayah ini tak pernah mengalami sakit parah. Dia tak pernah diam, jika punya waktu senggang Zamaludin akan turun melaut.

Perubahan peradaban Batam pun ia tau betul, ia mengikutinya. Ia juga menyaksikan kala itu Indonesia sempat memanas dengan negara tetangga Malaysia. 

“Banyak lah cerita dulu nak, tak terceritakan lagi. Bahkan sampai saat ini kawan kawan, saudara saya masih ada yang memilih bertahan hidup di sampan. Mereka masih ada di Pulau Ngenang Malaysia. Hanya saja sesekali mereka sudah turun ke darat,” sebutnya. 

Zamaludin merupakan Suku Laut asal Mapur, Bintan. Nenek moyangnya dulu hidup di atas kapal di sekitaran pulah Tambelan, Bintan. 

Diakuinya, beberapa saudaranya sesama suku laut kini tinggal di daerah Bintan, ada yang di pulau Mapur, Tambelan, Berakit dan sekitaran Bintan. Suku laut biasanya hidup secara berkelompok. 

Kini Zamaludin telah menetapkan pilihan untuk hijrah ke darat. Ia ingin mengakhiri kehidupan suku laut yang tinggal di atas sampan. 

“Ini demi generasi saya, kalau lah saya terus menerus tinggal di sampan maka generasi saya akan punah. Laut Batam, Kepri tak seperti dulu. Keturunan saya sudah harus mengecam dunia pendidikan,” katanya. 

Dalam kurun waktu 30 tahun lamanya, Suku Laut Pulau Gara pun kini sebagian sudah mulai mengecam dunia pendidikan. Anak dan cucu Zamaludin sudah ada yang duduk di bangku Sekolah Dasar. 

Namun harapan dan kenyataan yang dihadapkan kepada Zamaludin selalu berbeda. Selain minimnya kehadiran pemerintah dirasakan mereka, ia lambat laut bertarung mendorong dan menyokong keturunannya untuk dapat mengecam pendidikan. 

“Mungkin sudah seperti itu jalannya, itu lah perjuangan saya untuk keturunan saya. Saya sudah tua, tak punya daya lagi. Tapi kampung saya ini kasih jauh tertinggal dari kemajuan kota Batam,” ujarnya. 

Tak jauh dari Zamaludin duduk, sang istrinya juga tampak terlihat terbaring didalam rumah. Terdengar bunyi batuk, maklum sudah nenek nenek. 

“Tak banyak yang kami harapkan, selain anak-anak sudah dapat menikmati kehidupan menetap. Kami rindu kehadiran pemerintah bagi kami suku laut ini, sudah sangat lama kami membutuhkan pelabuhan, sudah sangat lama kami merindukan adanya sekolah. Tapi itu hanyalah angan-angan belaka kami,” tuturnya. (Bersambung)

(David)

Editor : Redaktur

Penaggung Jawab Berita : Obor Panjaitan.

Komentar

Berita Terkini