|

Narasi Busuk Pemilu Dan Pilpres Curang

foto : Opa Jappy Tokoh Masyarakat. 

MEDIA NASIONAL OBOR KEADILAN 

Tentang Curang dan Kecurangan

Curang dan kecurangan berakar dari kata a-syaq (Aram: Ibrani dan Arab), yang bermakna menindas, mencurangi, dan menyalahgunakan kekuatan, kuasa, atau wewenang atas orang lain.

Pada perkembangan kemudian, curang dan kecurangan dimaknai sebagai penggunaan tipu daya, muslihat, atau pemutarbalikan kebenaran secara sengaja, dengan tujuan membujuk orang lain agar menyerahkan barang berharga miliknya atau haknya yang sah; aposteareสนo (Yunani) berarti menahan hak, berbuat curang, tipu daya, atau pun tip muslihat yang dilakukan terus menerus.

Pada masa lalu, khususnya di Timur Tengah, curang dan kecurangan umumnya dikaitkan dengan hubungan bisnis, praktek-praktek dagang yang tidak jujur, menahan upah pekerja, serta merubah batu timbangan atau ukuran.

Sehingga, jika seseorang mencurangi rekannya dan belakangan bertobat, dan mengakuinya, maka ia harus membayar kembali semuanya ditambah seperlimanya kepada orang yang dirugikan, dan selain itu, memberikan persembahan kesalahan kepada para dewa.

Pada masa kekinian, kosa kata curang dan kecurangan digunakan secara gampangan, tanpa memperhatikan sikonnya.

Bahkan, dengan mudahnya orang berseru bahwa terjadi curang dan penuh kecurangan; serta dihubungkan dengan segala sesuatu yang dinilai ‘tidak sesuai dengan penilai, ukuran, anggapan diri sendiri.’

Curang dan Kecurangan pada Ranah Politik

Curang dan kecurangan yang awalnya hanya terjadi pada bidang bisnis dan interaksi sosial, agaknya telah dipergunakan pada ranah politik, kuasa, dan kekuasaan. Sehingga curang dan kecurangan hanya dimaknai sebagai menyalahgunakan kekuatan, kuasa untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan serta kekuasaan.

Dengan pemaknaan seperti itu, dalam konteks ‘demokrasi semu,’ jika ada Pemilu, puluhan tahun terjadi di Indonesia, maka yang terjadi adalah kecurangan, bukan jujur, adil, bebas, rahasia. Namun, para pelaksana Pemilu dan mereka yang berkepentingan, pasti menolak adanya kecurangan.

Pada konteks ‘demokrasi semu,’ hampir di semua Negara yang dikuasai oleh Rezim Diktator, Pemilu hanya lah akal-akalan penguasa untuk memperpanjang kekuasaan.

Oleh sebab itu, curang dan kecurangan adalah suatu keharusan.

Propaganda Pemilu Curang

Segala propaganda untuk mendelegitimasi hasil Pemilihan Umum 2019 perlu segera diakhiri.

Tudingan tanpa bukti tentang kecurangan yang disampaikan berulang-ulang bisa menggerus kepercayaan publik atas hasil pemilu.

Sikap yang tidak sportif, bahkan kotor, itu akan membahayakan demokrasi.
Propaganda tersebut dimulai dengan menyerang lembaga yang melakukan hitung cepat (quick count) hasil pemilu. Kubu pasangan calon presiden-wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, menyerukan agar masyarakat tak mempercayai semua hasil hitung cepat yang mengunggulkan pasangan calon nomor urut 01, Joko Widodo-Ma’ruf Amin.

Seruan seperti itu jelas aneh sekaligus membodohi masyarakat. Di banyak negara, quick count justru merupakan alat kontrol hasil pemilu. Kubu oposisi atau penantang biasanya memakai hitung cepat untuk mengantisipasi kecurangan penghitungan suara oleh penyelenggara pemilu.

Sebab, sepanjang memakai metode ilmiah yang benar, hasil hitung cepat telah terbukti 99 persen akurasinya.

Dalam pemilu serentak yang melibatkan 192,8 juta pemilih terdaftar, kecurangan dan pelanggaran sangat mungkin terjadi. Kecurangan tentu saja tak bisa dibenarkan.

Tapi, jangankan dalam pemilihan presiden, dalam pemilihan ketua rukun tetangga saja praktik kotor bisa terjadi. Itu sebabnya ada mekanisme pencoblosan ulang untuk memperbaikinya. Komisi Pemilihan Umum pun telah menggelar pemungutan suara ulang di banyak daerah.

Jika kubu Prabowo-Sandi ingin menggugat hasil pemilu, semestinya mereka menyiapkan bukti yang valid.

Perlu diingat bahwa hasil pemilu bisa dinilai tidak sah bila terjadi kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif. Tanpa upaya membuktikan hal ini, tuduhan adanya kecurangan serius dalam pemilu amat mengada-ada. Tudingan miring terhadap lembaga yang menggelar hitung cepat pun akan terkesan ngawur.

Sudah tepat langkah Perkumpulan Survei Opini Publik membeberkan metode yang digunakan anggota mereka dalam menggelar quick count dalam Pemilu 2019.

Sebaliknya, pihak yang meributkan hasil hitung cepat seharusnya menguji metode yang dipaparkan itu. Kalau ada metode, data, atau teori tandingan, tinggal diadu.

Biarkan orang ramai menilai klaim siapa yang lebih dipercaya.
Sikap kurang beradab diperlihatkan oleh orang-orang yang tak puas atas hasil hitung cepat.

Di dunia maya, mereka malah merisak lembaga pengumpul data dan ahli pembela hitung cepat. Ini tak ubahnya serangan dengan metode “killing the messengers”.

Ketika substansi pesan tak bisa dibantah, yang dijatuhkan adalah kredibilitas penyampai pesan.

Narasi ‘Jokowi Curang’

Tahun 2012 dan tahun-tahun sebelumnya, ketika Jokowi berjuang untuk menjadi Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta, tidal ada tuduhan dan tudingan kepadanya sebagai pelaku kecurangan politik.

Tahun 2014, pasca kemenangan Jokowi-JK, utamanya setelah MK menolak gugatan Capres/Cawapres yang kalah Pilpres, mulai muncul tuduhan bahwa terjadi kecurangan sehingga menang. Tuduhan tanpa alasan serta bukti tersebut, terus menerus dinarasikan hingga sekarang.

Namun, para penuduh dan penuding tersebut tidak pernah memberi bukti yang jelas tentang bukti kecurangan tersebut. Mereka berteriak kertas untuk melakukan penyesatan publik.

Tahun 2019, utamanya pasca Pilpres 17 April 2019, narasi ‘Jokowi Curang’ terulang kembali.

Narasi Jokowi Curang, yang tersebar pra 17 April 2019, semakin membahana setelah para elite Capres/Cawapres yang kalah karena hasil quick count. Bahkan, ada petinggi Parpol yang mentwit hal tersebut.

Seiring dengan narasi ‘Jokowi Curang’ tersebut, muncul juga orasi serta gerakan-gerakan provokativ agar rakyat menolak hasil Pilpres. Sayangnya, seperti yang sebelumnya, mereka yang berseru ‘Jokowi Curang’ itu, hanya lantana di Medsos, tapi tidak memberi bukti dan fakta.

Dan semuanya itu justru merangsang publik melakukan kontra dan gerak perlawanan dengan cara mereka sendiri.

Publik yang sangat gerak dengan narasi kebencian dari Kelompok Kalah, secara pelan mempublikasi hasil dapatan mereka yang membuktikan bukan Jokowi yang curang dan melakukan kecurangan.

Aparat Keamanan Perlu Tindakan yang Sangat Tegas

Kita perlu menyetop segala propaganda kotor yang akan membikin bingung masyarakat sekaligus bisa menghancurkan demokrasi itu.

Para pembela hitung cepat sebaiknya menggunakan serangan kepada mereka sebagai momentum untuk menggelorakan lagi kampanye melawan kabar kibul.

Media arus utama dan lembaga penyiaran publik pun harus bekerja lebih keras untuk menjernihkan ruang publik dari disinformasi.

Dari hal-hal di atas, terlihat bahwa narasi ‘Jokowi Curang,’ merupakan bagian dari upaya merusak kepercayaan rakyat pada Presiden, penyesatan publik, provokasi dan hasutan, dan ujar kebencian.

Hal-hal seperti itu, jika dibiarkan, akan menimbulkan kerusuhan sosial serta merusak Kesatuan Bangsa dan Negara.

Oleh sebab itu, menurut saya, Aparat Keamanan perlu langsung bertindak tegas, tidak pakai Lama, atau pun laporan publik.

##

Semoga

Opa Jappy | Kawal Pilpres
Komentar

Berita Terkini