|

50.000 Mantan Aktivis 98 Seluruh nusantara akan berkumpul di Monas Bulan Juli Menyuarakan Aksi

Ket Gambar : [Mantan Aktivis 98 Seluruh Nusantara]

Jakarta | Media Nasional Oborkeadilan | [04-06-2018] Senin – Terkait Krisis Ideologi, dan Situasi Nasional, Gerakan Mahasiswa 98 merupakan generasi mahasiswa Indonesia yang berhasil membuat sejarah perubahan yang hasilnya dirasakan seluruh elemen bangsa hingga hari ini. Diawali dengan mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan para Aktivis 98 terus menuntut perubahan. Beberapa agenda reformasi pun diperjuangkan, di antaranya: Reformasi Politik, Reformasi Hukum, Pengadilan mantan Presiden Soeharto, Reformasi Ekonomi, juga Reformasi Pendidikan.

Jadi 6 tuntutan reformasi yang sering disebut-sebut selama ini merupakan bagian dari beberapa agenda reformasi yang diusung para Aktivis 98 tersebut. Keenamnya adalah: pengadilan mantan Presiden Soeharto; penegakan supremasi hukum; pemberantasan KKN; amandemen UUD 1945, khususnya terkait pentingnya pembatasan jabatan presiden; pencabutan dwi lhngsi ABRI; dan pemberian otonomi daerah.

Gerakan reformasi telah mengubah Indonesia yang otoriter pada masa Pemerintahan Soeharto, menj adi demokratis. Partisipasi politik rakyat sipil yang sebelumnya terbelenggu menjadi bebas dan terbuka. Masyarakat sipil bebas berbicara, berpendapat dan menyalurkan aspirasinya melalui institusi-institusi demokrasi yang ada.

Sungguh keterbukaan tersebut merupakan barang mewah saat era Pemerintahan Soeharto yang sangat otoriter. Persoalannya, sistem demokratis yang telah diperjuangkan dengan segenap pikiran, tenaga, air mata dan darah para Aktivis 98 tersebut dalam 20 tahun terakhir justru dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang mengusung ideologi trans nasional untuk menumbuh suburkan radikalisme, intoleransi dan teorisme. Peristiwa Bom di Kedubes Piliphina awal tahun 2000-an, Bom Bursa Efek Jakarta (sekarang: BEI), dan Bom Bali merupakan manifestasi dari radikalisme dan perilaku intoleran.

Kejadian teror bom di Surabaya beberapa waktu lalu, serta serangan terhadap markas aparat kemanan di sejumlah daerah mengundang keprihatinan para Aktivis 98 dari seluruh lndonesia. Kasus bom bunuh diri di Surabaya menunjukkan eskalasi dari radikalisme, intoleransi dan terorisme di indonesia. Dunia pun mencatat kejadian itu sebagai peristiwa family suicide bomber.

Terkait Rembuk Aktivis 98 yang diadakan bulan juli nanti ini akan mengumpulkan sekiranya 50.000 Mantan Aktivis 98 Seluruh nusantara. termasuk Kausar. SHI (Anggota DPRA Fraksi PA), Ketua Aktivis 98 Asal Aceh kepada media mengatakan, ” 20 tahun sudah kebangkitan era perubahan orde baru.

Ditambahkan Kausar, ” Pernah terjadi tahun 2008, di Aceh pernah menjadi lokasi latihan terorisme, namun itu bukan warga Aceh yang terkontaminasi paham radikalisme Teroris tersebut namun orang luar daerah yang datang mengacaukan. Karena Aceh masih “One State” satu wilayah dengan Indonesia, maka Aceh menjadi bagian dari rawannya munculnya paham terorisme itu.

Kemudian berkenaan sikap dugaan Berkembang rasisme di era millenial bagi pemuda di Aceh itu sangat keliru, tetapi menjurus ke hal itu di kampanye kampanye politik rasisme di Aceh mulai tumbuh tak dapat dipungkiri, ketika kampanye identitas Agama, terjadi pengotak – kotakkan bukan saja di Aceh namun fenomena diseluruh Indonesia “. Merupakan faktor utama penyebab radikalisme, intoleransi dan terorisme.

Belasan tahun kami memilih diam, dan mengamati fenomena radikalisme, intoleransi dan terorisme, dan menyerahkan penanganannya kepada pemerintahan yang ada. Kini setelah dua puluh tahun, kami secara bersama memandang tidak boleh diam.

Aktivis 98 yang memiliki hak sejarah atas perubahan di Indonesia harus meluruskan dan melawan radikalisme, intoleransi, dan terorisme yang terus-menerus mengikis orientasi kebangsaan rakyat Indonesia. Fenomena bomber family, ditambah sikap elit politik yang ambigu dalam merespon kejadian tersebut berpotensi menjadi ruang inkubasi dan hibernasi bagi radikalisme, intoleransi dan terorisme sehingga akan sangat mengancam ke-lndonesiaan kita.

Bahaya radikalisme, intoleransi dan terorisme tersebut bukan khayalan. Hasil Survai Wahid Institut tentang radikalisme dan intoleransi terhadap 1520 responden pada 2017, menunjukkan data yang membuat para aktivis miris. Sebanyak 11 juta orang atau 7,7 persen dari total populasi di Indonesia mau bertindak radikal. Dari Survai tersebut jnga diketahui 0,4 persen penduduk indonesia, sekitar 600 ribu orang pernah bertindak radikal.

Berdasarkan latar belakang tersebut, Aktivis 98 memutuskan untuk melakukan Rembuk Nasional di Monumen Nasional (Monas), Jakarta, pada 07 Juli 2018. Keputusan tersebut diambil berdasarkan dua alasan: Alasan Ideologi, dan Situasi Nasional.

Pertama, Radikalisme, Intoleransi dan Terorisme telah berada pada tahap mengancam Pancasila dan merusak nilai-nilai kemanusiaan. Sikap ambigu sejumlah elit politik cukup menunjukkan bahwa radikalisme sudah meresap ke dalam cara pandang mereka. Hal ini sangat berbahaya karena menjadi ruang subur bagi radikalisme, intoleransi dan terorisme untuk berinkubasi dan berhibernasi. Sikap ambigu mereka akan membuat ujaran kebencian meluas, dan mereka yang terpapar kebencian akan dengan mudah terpapar radikalisme. Akibatnya, gampang sekali mereka menyebar fitnah, salah satunya menuduh aparat keamanan merekayasa teror, dan mengatakan pelaku teror sebagai korban.

Kedua, Radikalisme, Intoleransi, dan Terorisme telah menyebar ke segala lapisan sosial dan aparatur pemerintahan. Mereka yang terpapar radikalisme ditandai dengan mudahnya mereka menjungkir-balikkan fakta. Cara pandang mereka yang memonopoli kebenaran, membuat mereka menjadi hakim bagi orang-orang yang berbeda dengan mereka. Kebhinnekaan yang merupakan kekayaan dan kekuatan bangsa justru hendak diseragamkan karena mereka memandang kebhinnekaan sebagai musuh. Perilaku orang-orang yang sudah terpapar radikalisme, intoleransi dan terorisme telah mereduksi dan merusak nilai-nilai kemanusiaan, seiring hilangnya orientasi kebangsaan pada diri mereka. Situasi ini juga melanda lingkungan pendidikan dari tingkat kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Sikap membiarkan radikalisme, intoleransi dan terorisme berhibernasi sama artinya dengan mengamini ke-Indonesiaan terkoyak koyak.

Berdasarkan kedua alasan tersebut, Rembuk Nasional yang akan diikuti 50 ribu Aktivis 98 dari selumh Indonesia diselenggarakan dengan tujuan memusyawarahkan pemikiran, dan menyatukan langkah-langkah untuk menegaskan pentingnya menyelamatkan ke-Indonesiaan. Rembuk Nasional merupakan upaya membangun kembali orientasi kebangsaan sebagai komitmen Semangat 98 untuk Indonesia. [MI]

Editor : Redaktur
Penanggung Jawab Berita : Obor Panjaitan
Komentar

Berita Terkini