Penulis : Obor Panjaitan, Ketua Ikatan Pers Anti Rasuah (IPAR)
Acara tersebut disertai janji besar: siswa akan menerima materi anti korupsi selama dua jam setiap minggu dalam pelajaran Kewarganegaraan, dengan tambahan praktik kejujuran di kantin tanpa penjaga. "Depok dipilih karena dekat dengan Ibu Kota dan laporan kejaksaan menunjukkan pentingnya program ini," ujar Asep saat itu, seperti dikutip berita.depok.go.id. Namun, integritas bukan hanya soal pidato megah, melainkan harus dibuktikan dengan tindakan nyata.
Tiga tahun berselang, SMAN 6 Depok menjadi sorotan, bukan karena keberhasilannya sebagai Sekolah Anti Korupsi, tetapi karena skandal yang justru mencoreng namanya. Kepala sekolahnya dicopot setelah tetap menggelar study tour ke Bali dengan biaya Rp3,8 juta per siswa, meskipun telah ada larangan dari Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Dalihnya? Hanya "salah tafsir" terhadap imbauan gubernur. Sekolah yang seharusnya menjadi benteng integritas justru melanggar aturan yang jelas.
Lalu, di mana Kejati Jabar dalam kejadian ini? Institusi yang dulu hadir dengan gagah saat peresmian kini seolah menghilang. Sebagai inisiator program, mereka seharusnya menjadi pengawas utama, memastikan bahwa nilai-nilai anti korupsi yang mereka tanamkan benar-benar dijalankan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya—peran mereka hanya sebatas seremoni, tanpa ada pengawasan dan evaluasi setelahnya.
Obor Panjaitan, Ketua Ikatan Pers Anti Rasuah (IPAR), tak bisa menahan kekecewaannya. "Ini bukan Sekolah Anti Korupsi, ini Sekolah Anti Malu! Kejati Jabar harus bertanggung jawab atas kegagalan ini. Mereka yang meresmikan, mereka yang harus memastikan program ini bukan sekadar gimmick,” tegasnya kepada Obor Keadilan. Menurutnya, program ini tak lebih dari proyek pencitraan yang ditinggalkan begitu lampu sorot acara peresmian padam. "Jaksa seharusnya jadi teladan, bukan malah menutup mata," sindirnya.
Kasus ini juga menampar Dinas Pendidikan Jawa Barat, yang turut hadir dalam peresmian dengan logo mereka terpampang di spanduk. Jika benar-benar serius mendukung pendidikan anti korupsi, mengapa tidak ada pengawasan ketat terhadap pelaksanaan program di SMAN 6 Depok? Ataukah mereka juga terbuai oleh kemeriahan seremoni, hingga lupa bahwa pendidikan karakter bukan hanya soal papan nama, tetapi tentang pengawasan dan keteladanan?
Apa yang terjadi di SMAN 6 Depok adalah cerminan buram dari sistem yang lebih besar. Jika jaksa yang seharusnya menjadi simbol keadilan lebih sibuk dengan seremoni ketimbang pengawasan, bagaimana bisa kita berharap korupsi di negeri ini bisa diberantas? Sekolah yang mereka resmikan dengan penuh gembar-gembor kini menjadi monumen kegagalan, dan Kejati Jabar harus siap menanggung malu atas sandiwara yang mereka ciptakan.
Kejati Jabar, bola kini ada di tangan Anda. Jangan biarkan Sekolah Anti Korupsi hanya menjadi papan nama yang akhirnya berkarat, sementara korupsi terus merajalela di dalamnya. Sebab, jika jaksa saja tak bisa dipercaya, lalu kepada siapa lagi rakyat harus berharap?
(Ikatan Pers Anti Rasuah – Obor Panjaitan)