|

MAFIA MIGAS: RACUN YANG TAK PERNAH MATI

Dari Reformasi Jadi Rente, Rakyat Jadi Korban

Media Nasional Obor Keadilan | Jakarta – Bayang-bayang mafia migas kembali menyelimuti sektor energi Indonesia. Di tengah harapan akan tata kelola yang lebih bersih, isu ini terus menjadi duri dalam daging bagi negeri yang kaya sumber daya alam ini. Sorotan kini tertuju pada pernyataan keras mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said, yang membuka tabir keprihatinan mendalam atas kondisi terkini. Publik pun bertanya-tanya: apakah jerat mafia migas benar-benar pernah putus, ataukah kini mereka justru merangsek lebih dalam?
Dari Reformasi Jadi Rente
Sudirman Said, yang pernah memimpin Kementerian ESDM pada 2014-2016, tak tinggal diam. Ia mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi sektor energi nasional. Ia mempertanyakan apakah reformasi yang dulu digaungkan masih berdampak, atau justru mafia migas yang sempat dibubarkan kini semakin berkembang. Dalam pandangannya, bayangan masa lalu tak sepenuhnya sirna, bahkan ada indikasi bahwa praktik buruk itu kini menjelma lebih terorganisasi.
Sudirman menegaskan, persoalan ini bukan sekadar teknis, melainkan ujian bagi integritas pemimpin negara. Ia juga mempertanyakan apakah pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo akan melanjutkan praktik rente ini atau melakukan perubahan nyata. Ia menyoroti bahwa sektor migas, yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi, justru kerap dikuasai segelintir pihak yang mengorbankan kepentingan rakyat banyak.
"Kita menunggu satunya kata dan perbuatan," tegasnya. Pernyataan ini seolah menjadi cambuk bagi para pengambil kebijakan, sekaligus panggilan kepada publik untuk tidak lagi diam menyaksikan pengelolaan energi yang carut-marut.
Rakyat Jadi Korban
Dalam kondisi ekonomi yang semakin sulit, praktik korupsi di sektor migas berpotensi semakin menyulitkan rakyat kecil. Sementara elite bisa berpesta pora, masyarakat justru harus menanggung dampaknya. Kenaikan harga bahan bakar, kelangkaan energi, hingga beban subsidi yang tak tepat sasaran menjadi bukti nyata bahwa sistem yang tak sehat terus berjalan, meninggalkan luka bagi mereka yang berada di lapisan bawah.
Pernyataan Sudirman ini bukan sekadar nostalgia seorang mantan pejabat, melainkan alarm yang menggema di tengah transisi kekuasaan. Publik kini menanti langkah konkret dari pemerintahan baru. Akankah mafia migas terus menjadi hantu yang menghantui, atau akan ada keberanian untuk memutus rantai kepentingan yang telah mengakar kuat? Waktu, seperti biasa, akan menjadi hakim paling adil.
Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan dua tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang periode 2018–2023.
Dua tersangka itu adalah Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga Maya Kusmaya dan Edward Corner, VP trading operation PT Pertamina Patra Niaga.
“Jadi pada malam hari ini penyidik telah menetapkan dua tersangka” kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Abdul Qohar , Rabu (26/2/2025).
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung) Harli Siregar mengatakan keduanya terlebih dahulu dipanggil sebagai saksi dalam kasus ini pada pukul 10.00 hari ini. Namun, Maya dan Edward tidak hadir tanpa alasan yang jelas. Menyikapi hal itu, penyidik kemudian melakukan pencarian dan berhasil menemukan kedua saksi.
"Oleh penyidik, dilakukan tindakan jemput paksa dan dibawa ke hadapan penyidik,” lanjut Harli. Penyidik kemudian melakukan pemeriksaan secara maraton terhadap kedua saksi. Setelah dilakukan gelar perkara dan dikaitkan dengan peran tersangka lain dalam kasus ini, penyidik akhirnya menetapkan keduanya sebagai tersangka.
Selain itu, Kejagung juga memastikan bahwa keduanya telah diperiksa dalam kapasitas sebagai tersangka. Dengan penetapan itu, total jumlah tersangka dalam kasus ini bertambah menjadi sembilan orang.
Menurut Kejagung, kasus ini bermula dari PT Pertamina Patra Niaga diduga membeli Pertalite untuk kemudian "diblending" menjadi Pertamax. Namun, pada saat pembelian, Pertalite tersebut dibeli dengan harga Pertamax.
Para tersangka diduga membeli Pertalite untuk “diblending” menjadi Pertamax. Hasil blending tersebut kemudian dijual dengan harga Pertamax dan menyebabkan kerugian hingga Rp 193,7 Triliun.
Kerugian ini berasal dari berbagai komponen, yaitu kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri, kerugian impor minyak mentah melalui broker, kerugian impor bahan bakar minyak (BBM) melalui broker dan kerugian dari pemberian kompensasi serta subsidi.
Berikut tujuh tersangka yang sudah ditetapkan sebelumnya:
1. Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga
Bersama SDS dan AP melakukan pengondisian dalam rapat optimalisasi hilir yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang bersama SDS dan AP
Bersama SDS dan AP memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum
RS "menyulap" BBM Pertalite menjadi Pertamax
2. SDS selaku Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional
Bersama RS dan AP melakukan pengondisian dalam rapat optimalisasi hilir yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang
Bersama RS dan AP memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum
3. AP selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional
Kasusnya Bersama RS dan SDS Melakukan pengondisian dalam rapat optimalisasi hilir yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang
Bersama RS dan SDS memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum
4. YF selaku pejabat di PT Pertamina International Shipping
Melakukan mark up kontrak pengiriman pada saat impor minyak mentah dan produk kilang melalui PT Pertamina International Shipping.
5. MKAN selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa
Akibatnya mark up kontrak pengiriman yang dilakukan tersangka YF, negara harus membayar fee sebesar 13-15 persen yang menguntungkan tersangka MKAN.
6. DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim
Bersama GRJ melakukan komunikasi dengan tersangka AP agar bisa memperoleh harga tinggi pada saat syarat belum terpenuhi
DW dan GRJ melakukan komunikasi dengan tersangka AP agar bisa memperoleh harga tinggi pada saat syarat belum terpenuhi
7. GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim serta Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak
Bersama DW melakukan komunikasi dengan tersangka AP agar bisa memperoleh harga tinggi pada saat syarat belum terpenuhi
GRJ dan DW melakukan komunikasi dengan tersangka AP agar bisa memperoleh harga tinggi pada saat syarat belum terpenuhi
GRJ dan DW juga mendapatkan persetujuan dari tersangka SDS untuk impor minyak mentah serta dari tersangka RS untuk produk kilang
Redaksi Media Nasional Obor Keadilan
Sumber: Sudirman Said


Komentar

Berita Terkini