|

Suku Laut Pertama Yang Tinggal Didaratan

BATAM | MEDIA NASIONAL OBOR KEADILAN, Selasa, (18/01/2022) “Tak banyak yang kami harapkan, selain anak-anak sudah dapat menikmati kehidupannya menetap. Kami rindu kehadiran pemerintah bagi kami suku laut ini, sudah sangat lama kami membutuhkan pelabuhan, sudah sangat lama kami merindukan adanya sekolah. Tapi itu hanyalah angan-angan belaka kami,” tuturnya. 

Kehidupan suku laut Pulau Gara ini memang jauh dari kata tertinggal, tak ada layanan kesehatan. Tak ada pusat pendidikan, sekolah. Penerangan masih menggunakan mesin genset yang hidupnya hanya 6 jam dalam sehari, ditambah pasokan kebutuhan air bersih pun masih terbatas. Masyarakat Pulau Gara, untuk dapat sekolah harus menyeberang ke pulau Airlingka. Sementara untuk mendapatkan kebutuhan air harus ke Pulau Bertam. Ada beberapa pulau yang cukup dekat dengan Pulau Gara ini, namun semua terpisah lautan. Pulau Gara ini berada di Kelurahan Kasu, Kecamatan Belakang Padang.Usai berbincang panjang, Pak RT Zamaludin pun mempersilahkan Jurnalis untuk berjalan jalan bertanya ke ketiap warga seperti apa harapan dan keluhan mereka.

Jurnalis sepata juga bertanya kepada kaum ibu "ya disini seperti inilah pak, kami nggak bisa ngomong apa apa lagi".

Keluhan keluhan kaum ibu di pulau gara ini sangat sederhana yaitu tidak adanya perhatian akan listrik dan air bersih serta pendidikan.

"Seperti yang bapak bapak semua lihat disini inilah kehidupan suku laut, Dengan seadanya seperti tidak di perhatikan"

"Apakah kita tidak di perhatikan oleh pemerintah lagi tentang suku laut ini?" Tanya Pak zamaluddin seperti bertanya ke diri sendiri dan melihat kepada kami jurnalis yang hanya bisa saling memandang satu sama lainnya. 

"Tahun 1992 dari pemerintah kota Batam kita di bantu, sampai saat ini sudah sampai 20 - 30 tahun, Kami di bagi tanah oleh pemerintah tapi penyuluhan tidak ada, kita hidup di laut lalu terumbu karang rusak lalu kita meminta ke pemerintah"

"Dulu kita hidup di laut lalu pemerintah meminta agar kita di relokasi secara berkelompok walau di tepi pantai kita mau" Lagi Ujar Pak RT Suku laut yang pertama kali tinggal di darat.

Disini Tidak ada sekolah lokal, anak anak sekolah SD di pulau Bertam, lalu saat Menginjak SMP mereka kepulau kasu".

Untuk dapat bersekolah, Ia mengaku anak anak warga Suku Laut kerap dihadapkan pada gelombang dan angin kuat sehingga terancam untuk berangkat. 

“Anak-anak disini untuk pergi ke sekolah itu sering terhambat. Kadang angin kencang dan gelombang membuat mereka tak berangkat. Anak anak kita itu berangkat sendiri, mereka mendayung sampan. Satu sampan bermuatan 3 sampai 4 orang, mereka dayung sendiri,” katanya. 

Pulau Gara tidak adanya Pelabuhan nelayan menjadi salah satu kendala juga bagi Suku laut Pulau Gara.

Masyarakat suku laut yang ada di tiga pulau mencapai 200 KK lebih, di pulau gara sendiri suku laut Ada 73 KK dan semua berkerabat dekat. Tim jelajah juga melihat seperti listrik, yang hidup dari pukul 18.00 s/d 23.00 wib, Swadaya BBM untuk generator di tanggung secara bersama sama tiap rumah 8.000 rupiah perhari. 

Di pulau Gara ini banyak anak anak usia remaja yang hanya sampai tamat SD sebenarnya ini harus menjadi perhatian serius untuk dinas pendidikan kota batam.

Kurangnya perhatian dan penyuluhan kepada masyarakat suku laut menjadi satu persoalan yang harus di tangani oleh pemerintah kota Batam.

Dari kisah cerita dan harapan warga suku laut ini pak RT juga mengucapkan terima kasih kepada pemerintah yang telah merelokasi mereka walau hanya di tepi pantai saja.

"Selama kami di sampan, anak anak kami tidak sekolah dan tidak tau membaca dan menulis, setelah kami di tepi pantai ini, anak kami bisa bersekolah dan juga membaca dan menulis walau hanya tamat SD , kami juga berharap ada dari suku laut ini yang berhasil suatu hari nanti' ujar Zamaludin.

Zamaluddin yang menjabat RT dari tahun 1991 sampai sekarang merupakan suatu hal yang sangat luar biasa.

Di usia lanjut Zamaluddin masih tetap ikut melaut walau hanya dekat dekat saja. "Saya kalau tidak melaut badan terasa sakit sakit" jelas Zamaluddin sambil mengusap jenggotnya yang putih dan panjang.

Hasil laut yang di harapkan warga suku laut ini yaitu Ikan teri halus yang mereka tunggu, selain harga yang lumayan tinggi dan bila dapat pun dalam jumlah banyak.

Masih kata Zamaluddin " memang hasil laut sekarang bila di bandingkan dengan 20 tahun lalu sangat jauh berbeda, dulu kami masih bisa mencari ikan. Sampai Singapura dengan mendayung sampan, tapi kan sekarang sudah tidak bisa lagi." 

"Dulu kita juga bisa mencari ikan sampai ke laut sana (menunjuk daerah PT yang di tanjung uncang) tapi sekarang tidak bisa lagi, mereka menyangka kami ini mau mencuri" kenang Pak RT.

"Sudah sangat jauh berbeda lah pak" ujar pak RT sambil tertawa pelan.

Jurnalis juga melihat warga Suku Laut sebagai media informasi sudah cukup maju dengan menggunakan hp android layar sentuh seperti kebanyakan orang di kota Batam.

Dari banyak kisah Zamuddin ada satu yang menarik perhatian tim jelajah yaitu perkataannya "Tolonglah di perhatikan Pesisir pulau ini, dulu Walikota berjanji dan minta bantu suara dari warga pulau Gara, lalu kiita dukung dan 100 % suara (Suku Laut) untuk Walikota dan saat sudah naik lagi jadi walikota, kita di janjikan dibuatkan Pelabuhan laut di pulau Gara ini tapi sampai saat ini tidak ada (padahal sudah Terpilih jadi walikota)" Ungkap Pak RT sambil menunjuk Pelantar beton yang pernah di ukur tanpa pernah direalisasikan Untuk membuat pelabuhannya.

Pendidikan Anak suku laut

Melihat tekad dan kesungguhan masyarakat suku laut, Pulau Gara di Kota Batam untuk menjamin pendidikan anak-anaknya agar tetap bersekolah, seolah menyisakan secercah harapan besar dimasa depan.

Kendati tak ingin bernasib sama, lantaran tak menyentuh bangku pendidikan, para orang tua suku laut yang menghuni Pulau Gara kini mendorong anak-anaknya untuk tetap menimba ilmu meski harus dengan menyeberang pulau menggunakan boat pancung setiap harinya.

Satu-satunya gedung Sekolah Dasar yang dapat diakses oleh anak-anak suku laut Pulau Gara terletak di Pulau Bertam yang berjarak tempuh lebih kurang 10 menit bila dihitung dari rumah.

Dan bila ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang Sekolah menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) anak-anak suku laut Pulau Gara juga harus menyebrang lautan dengan menempuh jarak yang cukup jauh hingga memakan waktu lebih kurang 30 menit ke Pulau Kasu.

Untuk itu pentingnya peran pemerintah Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau dalam menunjang akses pendidikan anak suku laut Pulau Gara menjadi harapan besar bagi masyarakat setempat.

Salah satunya saat kondisi air laut surut, dengan akses pelabuhan yang tak dimiliki memaksa warga dan anak-anak suku laut harus berjalan menarik boat pancungnya hingga menjumpai bibir air laut yang cukup agar boat dapat berjalan.

Tak pelak, anak-anak suku laut harus bertelanjang kaki untuk berjalan dengan sepatu diletakkan di atas boat. Terkadang pun tapak kaki halus itu tergores batu karang dan berlumpur usai berjalan hingga beratus meter di atas laut yang surut.

Bahkan, bila tak memungkinkan anak-anak suku laut akhirnya tidak bersekolah lantaran tidak mampu menarik atau mengangkat boat pancungnya menuju bibir laut saat kondisi halaman depan rumahnya yang surut.

"Iya kalau udah mau masuk musimnya begini laut kering pak, kita jadi susah kalau mau beraktivitas untuk antar anak sekolah, orang sakit atau acara mendadak. Kalau kering panjangnya bisa sampai 180 meter sampai ke bibir laut," ujar Zamaludin, kepala suku laut, pulau Gara.

Melanjutkan perkataannya meski sesekali membatuk, Zamaludin yang juga menjabat sebagai RT dari tahun 1992 ini bercerita bahwa dari leluhurnya memang tidak mengenal akan pendidikan ataupun bersekolah, hingga akhirnya oleh pemerintah Kota Batam mereka ditempatkan di Pulau Gara dan menetap di rumah.

"Nenek moyang kami gak ada pendidikan, oleh karena itu harapan kami dengan dipindahkan ke pesisir pantai ini dari pada anak cucu kami punya pendidikan pak," ungkapnya.

Ia pun turut menyayangkan, tidak adanya bangunan lokal belajar yang disediakan oleh pemerintah bagi anak-anak suku laut di Pulau Gara sejak tiga puluh tahun terakhir mendiami pulau tersebut.

"Sudah 30 tahun kami tinggal di sini, satu lokal pun untuk anak-anak sekolah tidak ada, coba bapak pikir. Dari pada sekolah TK tak ada, SD juga tak ada, itulah masalah dia pak. Gitu juga balai pertemuan tak ada, tempat kesehatan juga tak ada. Maka dari itu kami pikir apa pemerintah tak tahu permasalahan ini," tutur lelaki paruh baya itu.

Namun tak banyak dari anak-anak suku laut Pulau Gara yang berhasil menamatkan jenjang pendidikan SMP dan SMA. Tradisi melaut yang merupakan ciri khas suku laut juga kerap menjadi salah satu faktor rendahnya pendidikan mereka.

Hal pendidikan anak suku laut benar-benar menyisakan kesedihan bagi sejumlah orang tua suku laut sendiri, sama seperti yang diungkapkan oleh Jumariyah. Berkesempatan diwawancarai oleh tim jelajah, ia mengaku telah berupaya keras mendorong anak-anaknya untuk tetap melanjutkan sekolah hingga tingkat menengah. 

"Kita pengen dia melanjut, tapi anak-anak nih udah tak mau, katanya, lebih suka kerja dilaut nyari ikan teri," terangnya.

Anak-anak Jumariyah hanya tamat Sekolah Dasar, melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP dan SMA di Pulau Kasu tak lagi jadi impiannya. Tradisi hidup melaut dan mendapatkan hasil tangkapan baik ikan dan udang terdorong kuat dalam tradisi mereka.

"Kadang kalau hasil tak dapat banyak, anak-anak pulang pagi. Di sini tak banyak memang yang melanjut, rata-rata hanya tamat SD," tukasnya.

Tim jelajah pun turut merasakan hal yang sama saat tiba di Pulau Gara sore itu, laut yang mengering memaksa diri untuk turun dari boat dan berjalan kaki menuju pelantar deretan rumah suku laut.

Di titik air laut yang cukup dalam dengan mimik wajah yang tak takut sama sekali, tiga anak suku laut tampak bersemangat duduk di atas sampannya sembari memancing ikan karam.

Sedang beberapa lainnya memilih bermain di tanah laut yang telah kering, berlarian dan saling mengejar hingga sore menjemput dan air laut pasang kembali mereka naik ke pelantar rumahnya. (David)

Editor : Redaktur

Penanggung Jawab Berita : Obor Panjaitan.

Komentar

Berita Terkini