|

Drama Kegaduhan di DPR RI dan KPK Hingga Istana


Penulis: Jacob Ereste

OBORKEADILAN.COM| Banten, (14/09/19) Petahana yang juga calon pimpinan KPK Alexander Marwata dicecar Komisi III soal perbedaan pandangan antara pimpinan KPK saat memutuskan menghentikan kasus mantan Deputi Penindakan Irjen Firli Bahuri yang diduga ada pelanggaran etik. (tirto.id, 12 September 2019).

Komisi III DPR RI juga menyoroti soal konferensi pers yang digelar Wakil Ketua KPK Saut Situmorang terkait dugaan pelanggaran etik Firli Bahuri. Muhammad Syafii dari Komisi lll DPR RI menanyakan kepada Alexander Marwata apakah konprensi pers itu ilegal atau tidak, karena tidak diketahui oleh pimpinan KPK yang lain. Menurut dia -- yang tidak. menjawab dengan gamblang pertanyaan itu -- bahwa tiga pimpinan KPK telah sepakat agar kasus yang dianggap sebagai pelanggaran etik ini ditutup saja, lantaran Firli Bahuri telah ditarik kembali oleh kesatuannya, Polri. Adapun ketiga pimpinan KPK yang sepakat itu diantaranya Alexander Marwata sendiri, Agus Rahardjo dan Basaria Pandjaitan yang sepakat untuk menghentikan perkarsa itu. Hinga secara kolektif kolegial, kasus ini memang tidak perlu dibuka ke publik. Dan tudingan masslah dari pelanggaran etik ini, Firli Bahuri justru mengklaim kasus yang membelit Tuan Guru Bajang (TGB) itu tetap berjalan. (tirto.id,
13 September 2019)
Firli Bahuri menegaskan, perkara divestasi Newmont tetap berjalan walau dirinya yang kala itu Deputi Penindakan KPK bertemu dengan TGB sebagai salah satu pihak yang dimintai keterangan.
    
Calon Pimpinan KPK terpilih ini pun membantah perkara divestasi Newmont yang ditangani berhenti akibat pertemuannya dengan mantan Gubernur NTB itu. Dalam kapasitas sebagai Deputi Penindakan KPK yang bertemu TGB ketika itu, dia membantah telah melakukan conflict of interest dengan TGB. Saat menjalani fit and proper test  di DPR, Jakarta, Kamis (12 September 2019) Firli Bahyri memang jelas mengaku bertemu TGB pada 13 Mei 2018. Dalam pertemuan ini katanya tidak membahas masalah perkara dan penanganan dari perkara itu, katanya. "Jadi kalaupun TGB dan lainnya punya persoalan terkait dengan investasi saham itu masih jalan, tidak ada pengaruhnya karena memang saya tidak pernah berbicara kasus dengan Pak TGB," tandas Firli  Bahuri kemudian.

Begitulah ibarat dari benang kusut jika mengusut kisruh dan gaduh dari beragam masalah yang merundung KPK, hingga tiga dari lima orang Pimpinan KPK mengundurkan diri dan menyerahkan kepengutusan KPK sepenuhnya kepada Presiden Joko Widodo. Agaknya, sikap ini merupaksn ekspresi dari protes serta ktitik yang sudah mentok dari ketiga Pimpinan KPK ini. Senya itu jelas erat kaitannya juga ksitannya  dengan undur diri Tsani Annafari sehubungan proses pemilihan Ketua KPK dan revisi UU tentang KPK yang sangat terkesan dipaksakan itu. Firli Bahuri kemudian memang terpilih dengan suara penuh di DPR sebagai Ketua KPK pada Jumat, 14 September 2919 dini hari. Dia memenangkan pemilihan Ketua KPK M. Sementara Tsani Annafari sudah menyatakan akan mundur jauh hari sebelum pemilihan  Pimpinan KPK.  

Mohammad Tsani Annafari secara formal membuat surat pengajuan pengunduran diri diakuinya untuk membangkitkan semangat sebelum memimpin KPK dilantik, lantaran prosesnya dia nilai  tidak sehat, maka dikapya tegas dan mantap untuk mundur. (ANTARA (13 September 2019). Katanya dia mengirimkan pengunduran diri melalui surat elektronik (email) itu juga ke seluruh pegawai KPK. Dan sebelumnya telah mengumumkan mengundurkan diri sebelum ada orang yang menjadi etik terpilih sebagai pimpinan KPK 2019—2023. Karena menurut Tsani, ada panitia seleksi penerima calon Ketua KPK -- yang memilih dirinya pada tahun 2017 -- juga ikut mendukung dirinya mundur.

"Saudara-saudaraku semua, Tuhan sudah berketetapan. Lima pimpinan KPK terpilih itu adalah firman-Nya yang harus kita maknai secara tepat," katanya.  Ternyata di negeri ini tidak hanya bupati yang sudah di-OTT saja yang bisa dipilih kembali, tetapi orang yang sudah diketahui secara terbuka memiliki cacat moral serta cacat hukum yang bertentangan dengan etik berat bisa ikut masuk dalam lembaga anti korupsi.
Hingga akhirnya, Komisi III DPR RI memilih 5 dari 10 nama calon pimpinan KPK. Lima nama ini dipilih melalui proses pemungutan suara yang dihadiri oleh 56 anggota Komisi III. Berdasarkan hasil rekapitulasi, lima nama terpilih dengan suara terbanyak menjadi pimpinan KPK. Dan Firli Bahuri dipilih (56 suara), sebagai Inkamben  Alexander Marwata hanya 53 suara, Nurul Ghufron 51 suara, Nawawi Pomolango 50 suara, dan Lili Pintauli Siregar ,44 suara. Kritik keras pun dilontarkan Alissa Wahid yang ikut menolak revisi UU KPK. Karena menurut dia, KPK Lemah itu artinya  Negara Dijarah.(detiknews, 14 September 2019). Revisi UU KPK No. 30 Tahun 2002 itu dinilainys sebagai bentuk yang nyata dari penjarahan terhadap negara.

Mundurnya tiga orang Ketua KPK lalu menyerakan mandatnya masing-masing Kepada Presiden itu merupakan puncak dari kenarahan mereka bersama rakyat yang sudah mengungkapkan penolakan terhadan UU KPK yang akan melemahkan fubgsi dan peranan KPK selanjutnya, termasuk menjadikan karyawan KPK sebagai Pegawai yang berstatus ASN (Aparatur Sipil Negara). Dan pada saat yang bersamaan pun aksi dan unjuk rasa yang dilskukan karyawan bersama warga dan unsur serta warga masyarakat maupun aktivis pemberantasan korupsi di kantor KPK Jakarta, terjadi insiden dengan pihak aparat keamanan. Hingga terkesan sempurnanya  drama besar yang lebih rumit dan lelik dibanding tragika reformasi tahun 1998. 

Drama kegaduhan DPR RI & KPK hingga Istana ini, memang harus direspons Joko Wudodo. Masalahnya yang terlanjur kusut jadi  membuat rakyat semakin sulit percaya bila hukum memang hendak ingin  ditegakkan, bukan pula cuma untuk rakyat kecil, sebab UUD 1945 sudah sangat jelas mengamanahkan, semua warga negara sama dihadapan hukum. Dan patut memperoleh perlindungan itu bukan untuk korutor. (**)

Editor : Redaktur
Penanggung Jawab Berita : Obor Panjaitan


Komentar

Berita Terkini