|

Obral Aset Daerah: Siapa Bermain di Balik Pajak Parkir Depok?

Media Nasional Obor keadilan, Depok, 04 Mei 2025 —
Pengelolaan lahan parkir milik Pemerintah Kota (Pemkot) Depok dapat perhatian serius dari publik setelah Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Tahun 2023 mengungkap adanya dugaan praktik kongkalikong dalam kontrak sewa lahan strategis. Sejumlah aset bernilai tinggi disewakan kepada pihak ketiga dengan harga yang jauh di bawah nilai pasar, memunculkan indikasi persekongkolan ugal-ugalan antara oknum pemerintah dan penyewa demi keuntungan sepihak. Akibatnya, daerah berpotensi mengalami kerugian hingga miliaran rupiah setiap tahun, sementara Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang seharusnya digunakan untuk membiayai pembangunan justru bocor ke kantong-kantong perongrong Negara (preman berdasi). 

Kontrak Sewa Lahan Parkir: Nilai Rendah, Bar bar Ugal ugalan- Potensi Kerugian Negara
Pemkot Depok telah menyerahkan pengelolaan sejumlah lahan parkir strategis kepada pihak ketiga melalui kontrak sewa jangka menengah. Alih-alih meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), skema ini justru menyisakan banyak tanda tanya, terutama terkait nilai sewa yang jauh di bawah potensi pendapatan riil dan minimnya transparansi dalam proses penunjukan mitra. Berdasarkan dokumen resmi yang berhasil dihimpun tim Media Nasional Obor Keadilan, berikut rincian kontrak tersebut:

1. PT Inti Karunia Alam

Lokasi: Grand Depok City (GDC), termasuk Alun-Alun Kota Depok (500 m²), lahan parkir perkantoran DPRD (4.315 m²), dan lahan tambahan di GDC (385 m² dan 1.080 m²).

Nilai Sewa: ± Rp amburadul

Dasar Perhitungan: 0,5% × Luas Tanah × Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) 2023.

Perjanjian: Nomor 593/124/BKD/VI/2023 dan 593/10-BKD.

2. PT Fajar Aluna Jaya

Lokasi: Jalan Margonda Raya No. 54 (lahan parkir basement, 1.112 m²).

Nilai Sewa: Rp ugal ugalan per tahun.

Perjanjian: Nomor 593/08/BKD/2023.

3. PT Rapik Karya Mandiri

Lokasi: Pasar Agung (1.000 m²), Pasar Cisalak (3.500 m²), Pasar Sukatani (600 m²), dan Pasar Rakyat Sawangan (1.000 m²).

Nilai Sewa: ± Rp Barbar per tahun.

Perjanjian: Nomor 593/123/BKD/2023.

Simulasi Kerugian: Untuk lahan di GDC dan Margonda (total >6.000 m²), potensi pendapatan parkir diperkirakan mencapai Rp 4 miliar per tahun, namun Pemkot hanya menerima sewa sekitar Rp 218,47 juta (GDC + Margonda). Ini menghasilkan potensi kerugian sekitar Rp 3,78 miliar per tahun untuk dua lokasi ini saja. Jika ditotal dengan lahan pasar, kerugian daerah diperkirakan melebihi Rp 11 miliar per tahun.

Dasar Hukum dan Peran Pejabat ⛔⛔⛔

Dasar Hukum dan Peran Pejabat
Pengelolaan serta kontrak sewa lahan parkir milik Pemkot Depok seharusnya berjalan berdasarkan kerangka hukum yang jelas. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengamanatkan bahwa barang milik daerah wajib dikelola demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini diperkuat dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 65 ayat (2) huruf c, yang memberikan kewenangan kepada wali kota untuk menetapkan kebijakan dalam pengelolaan aset daerah.

Secara teknis, pelaksanaan sewa-menyewa diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 Tahun 2014 Pasal 101, di mana wali kota menjadi pihak yang menyetujui pemanfaatan aset daerah. Sementara itu, Permendagri No. 19 Tahun 2016 menjelaskan struktur tanggung jawab lebih rinci: Sekretaris Daerah, dalam hal ini Supian Suri, berperan sebagai Pengelola Barang dan bertanggung jawab atas pengawasan aset, sedangkan Kepala Badan Keuangan Daerah (BKD) — Wahid Suryono — ditunjuk untuk menyusun dan menandatangani perjanjian sewa menyewa tersebut.

Dalam konteks pendapatan daerah, Perda Kota Depok No. 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah turut memperjelas bahwa pajak parkir tergolong dalam Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). Pendapatan pajak tersebut seharusnya dihitung berdasarkan total penerimaan jasa parkir dari pihak ketiga, sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 dan 6 perda tersebut. 

Kaitan dengan Pajak Parkir dan Dugaan Pembiaran Kebocoran PAD

Peraturan Daerah Kota Depok No. 1 Tahun 2024 menetapkan bahwa pajak parkir termasuk dalam kategori Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), sebagaimana tercantum dalam Pasal 4. Dalam sistem ini, pengguna jasa parkir adalah subjek pajak, sementara penyedia jasa — seperti PT Inti Karunia Alam dan mitra pihak ketiga lainnya — menjadi wajib pajak.

Pungutan pajak dilakukan melalui mekanisme self-assessment, di mana pihak ketiga menghitung sendiri kewajibannya dan melaporkannya lewat Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD). Tarif pajak ditetapkan antara 10 hingga 20 persen dari total pendapatan parkir, berdasarkan Peraturan Wali Kota.

Namun, skema ini dinilai rawan penyimpangan. Ketika kontrak sewa yang digunakan bersifat tetap dan tidak berbasis pembagian hasil, pengawasan terhadap pendapatan riil pihak ketiga menjadi longgar. Tanpa sistem monitoring yang transparan dan akuntabel, peluang terjadinya kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) sangat besar.

Pernyataan dari Pihak Terkait
Ikatan Pers Anti Rasuah (IPAR), sebuah lembaga pemantau kebijakan publik, menilai pola pengelolaan saat ini sarat potensi pelanggaran tata kelola keuangan daerah.

> “Model sewa murah atas lahan publik strategis tanpa transparansi dan tanpa audit terhadap pendapatan riil parkir adalah bentuk pembiaran kebocoran PAD. Ini bukan hanya maladministrasi, tetapi bisa mengarah pada dugaan kerugian keuangan negara,” ujar ketua IPAR- Obor Panjaitan, dalam keterangan tertulisnya. 🔴

Penolakan Konfirmasi Bukan Tanpa Alasan: Catatan Kritis terhadap Sikap Pejabat, Upaya konfirmasi, sebagaimana lazim dilakukan dalam setiap peliputan, telah dilakukan oleh Media Nasional Obor Keadilan terhadap Sekretaris Daerah Kota Depok, Supian Suri, serta Kepala Badan Keuangan Daerah (BKD), Wahid Suryono. Namun, hingga berita ini ditayangkan, tidak ada satu pun tanggapan resmi yang diberikan oleh keduanya.

Kehampaan respons tersebut bukan hal baru. Berdasarkan catatan redaksi, Media Nasional Obor Keadilan telah beberapa kali melayangkan surat resmi kepada Supian Suri, termasuk ketika ia menjabat sebagai pejabat di Sekda kota Depok Surat-surat tersebut dikirim secara formal, disertai tanda terima resmi, namun tidak pernah memperoleh tanggapan substantif. berikut beberapa tanda Terima surat dari tempat kerja Supian suri saat masih pns di Sekda; 📸
Fakta ini menunjukkan pola pembiaran terhadap kewajiban pejabat publik untuk memberikan klarifikasi dan membuka akses informasi kepada pers sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya Pasal 18 dan prinsip keterbukaan informasi publik.

Atas dasar itu, redaksi Media Nasional Obor Keadilan mengambil sikap: tidak akan lagi mengonfirmasi kepada pejabat yang secara nyata tidak menghormati prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan supremasi hukum.

Kami menilai, Supian Suri telah menunjukkan sikap anti-kritik dan arogansi jabatan, sehingga tidak layak lagi memperoleh ruang klarifikasi dalam kanal ini.

Adapun seluruh data dan temuan yang diberitakan Media Nasional Obor Keadilan bersumber dari dokumen resmi, termasuk hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dokumen kontrak, serta regulasi yang berlaku. Dengan demikian, pelaporan ini berdiri di atas dasar hukum dan prinsip jurnalisme investigatif yang dapat dipertanggungjawabkan.(*) 

Tim Redaksi Media Nasional Obor keadilan
Komentar

Berita Terkini