|

Disintegrasi Bangsa dan Subjektivisme Negara Dalam Mengatasi Kisruh Papua

Ket.Gambar : Bapthista Mario Yosryandi Sara. (Aktivis PMKRI Kupang)

OBORKEADILAN.COM| Kupang--Disintegrasi Bangsa
Rupanya kobaran api masih membara dalam semangat perjuangan masyarakat Papua dengan tujuan mereferendumkan tanah air mereka atau terlepas dari genggaman NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Kericuhan yang bermula dari tindakan rasialisme yang dilakukan oleh masyarakat sipil (di Malang) dan oknum TNI (di Surabaya), hingga sekarang belum ditemukan titik terang penanganan konflik tersebut.

Sesudah kasus ini mencuat ke permukan, dan menjalar dari satu media ke media lainnya, hingga mendarat ditelinga masyarakat pribumi Papua, hari demi hari Bumi Cendrawasih tak lepas dari aksi-aksi tragis yang digenjot oleh masyrakat didaerah setempat. Bahkan, kota-kota diluar Papua, seperti di Kupang, Surabaya, Jakarta, Bandung, dan Makasar, menjadi tujuan unjuk rasa para aktivis peduli HAM yang memiliki rasa empati terhadap kisruh tersebut demi meminta pertanggung jawaban dari negara.

Perluh diketahui bahwa, saat ini Indonesia layaknya seorang informan yang sedang diperas otaknya guna menaikan rating media-media asing dalam kanca pers internsional dan turut menggenapi absensi para penjelajah informasi dalam sektor kriminalitas. Ditambah lagi terjadi pembatasan akses internet yang dilakukan oleh lembaga KOMINFO (Kementrian Komunikasi dan Informatika) justru memperburuk lagi keadaan, yang dimana, ini akan berdampak pada maraknya penyebaran berita-berita HOAX yang berakibat bukannya meredam situasi malah akan “mengembirakan kaum separatis”. Disaat bangsa ini sedang diterpa badai, seharusnya negara secepat mungkin menegapkan situasi dan bertindak tegas dalam menetralisir keadaan dari berbagai hegemoni-hegemoni yang merujuk pada aksi-aksi anarkis terutama kemerdekaan Papua.

Pendekatan keamanan yang terus digaungkan nyatanya tidak menjawab persoalan yang terjadi. Malah, timbul arogansi dan ketidakprofesionalan aparat negara di Papua menimbulkan korban jiwa yang tidak ada kaitannya dengan kelompok separatis. Berdasarkan data dari Kepolisian akibat kisruh Papua, seorang penduduk terkena tembakan di kaki dan meninggal di Rumah Sakit Enarotali. Satu orang lainnya meninggal setelah terkena panah perutnya di halaman Kantor Bupati Deiyai. Seorang anggota TNI juga tewas akibat terkena panah.

Adapun luka-luka dialami seorang personel TNI, seorang anggota Brimob Polri, serta tiga personel Samapta Polres Paniai. Mereka terluka akibat serangan panah. Para korban lantas dilarikan ke rumah sakit (Kisruh Papua, Simak 4 Fakta Kejadiannya. Tempo.co). Data yang dipaparkan oleh pihak Kepolisian merupakan salahsatu imbas dari lambatnya kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan juga taktik penanganan yang cenderung termarginalisasi.
Sejauh yang diamati, negara seakan kehilangan sensibilitas dan empati, negara seakan “loyo” dalam menyikapi problematika yang mendekam di tanah Papua. Coba dibayangkan jika Papua merdeka, semua daerah akan minta merdeka, tentu saja Indonesia bisa bubar.

Sejauh ini, sudah berapa daerah yang ikut merdeka setelah Timor Leste dinyatakan menang referendum oleh PBB 20 tahun lalu? Tidak ada. Artinya, kemerdekaan satu daerah tak menular semudah viruz influenza. Seperti halnya Yogyakarta, Aceh atau Papua yang mempunyai sejarah tersendiri. Ada kondisi yang konsisten yang membuat Aceh dan Papua bergejolak paling keras. Tentu saja ada masalah sejarah yang yang dimanipulasi, ada kekerasan politik dan pelanggaran HAM yang terus menerus tanpa ada keadlian bagi korban, eksploitasi ekonomi, ada diskriminasi, dan ada pemicu serta momentum yang erat kaitannya dengan kepentingan politik.

Papua Dalam Dekapan Pemindahan Ibu Kota disaat bangsa ini diperhadapkan dengan duka yang mendalam, atas kejadian yang menimpah Papua dan memakan banyak korban jiwa yang terjadi belum lama ini dan juga belum surut, rupanya selang beberapa hari kemudian Presiden Jokowi mengempanyekan pemindahan ibu kota negara tanpa ada misi yang jelas. Secara tak langsung para elit negara berbondong-bondong turut meramaikan nostalgia yang dimainkan oleh Presiden Jokowi. Alhasil, aspirasi masyarakat Papua terbungkam dibungkam secara sepihak. Mengenai lokasi ibu kota negara yang baru, BNPB sebelumnya telah memaparkan soal potensi bencana, kelemahan, serta keunggulan seluruh provinsi di Kalimantan, termasuk Kalimantan Timur, pada 12 Agustus 2019 lalu. Disini terdapat kelemahan yang sama persis dengan Jakarta, yakni, rawan banjir, ketersediaan sumber daya air tanah rendah, deforestasi cukup tinggi, pembakaran hutan sehingga dapat terisolasi, dan pencemaran minyak di perairan (www.tribunnews.com). Padahal keputusan pemindahan ibu kota ini, tentu membutuhkan proses politik yang panjang dan ditandai yang paling penting adalah persoalan landasan hukumnya. 

Landasan hukum ini cukup kompleks, karena ada 5 undang-undang yang harus direvisi. Kelima undang-undang tersebut antara lain undang-undang (UU) nomor 29 tahun 2007 tentang pemerintah provinsi ibukota Jakarta sebagai ibu kota NKRI, UU no 24 tahun 2007 penanggulangan bencana, UU nomor 3 tahun 2002 pertahanan negara, UU no 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah, UU nomor 10 tahun 2016 tentang pemilihan kepala daerah. Oleh karenanya, kebijakan pemindahan ibu kota tak tepat dilakukan sebab selain harus melakukan revisi undang-undang, Jakarta juga merupakan kota penting yang memiliki banyak memori pemerintahan. Di mana selama ini, Jakarta banyak mencatat perjalanan bangsa Indonesia.

Konflik Papua Menjadi Bahan Refleksi
Dalam hukum Indonesia, hak asasi manusia diartikan sebagai seperangkat hak, yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia, sebagai makluk Tuhan dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negar, hukum, pemerintah, dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat kemanusiaan (Pasal 1butir 1 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM). Akan tetapi belakangan ini, negara seakan masa bodoh terkait kasus-kasus pelanggaran HAM terhadap masyarakat sipil. Diperparah lagi dengan penegekan hukum di Indonesia yang kerap kali tajam ke bawah tumpul ke atas.

Ada begitu banyak kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang hingga detik ini masih saja dihiraukan oleh negara. Justru kasus-kasus tersebut dijadikan amunisi dalam panggung politik untuk mematikan lawan. Padahal Indonesia sendiri, terlebih dahulu mencantumkan keperdulian terhadap HAM, dalam pembukaan UUD 1945 dan secara tegas tercantum pada pasal 28 tersebut. Ini membuktikan bahwa, pendiri bangsa ini selangkah lebih maju dalam menetapkan HAM terhadap identitas negara. Tetapi realitas saat ini, berbalik menjadi tragis, aspirasi-aspirasi masyarakat yang menuntut keadilan selalu dibungkam, karena pemerintah saat ini selayaknya menutup mata sembari menutup telinga dengan kedua tangannya. Tidak ada peran dan tindakan serius dari pemerintah, yang kerap acuh dan menganggap itu hanya seonggok nyawa yang sudah berlalu.

Tanggung Jawab Negara Terhadap HAM
Dalam hukum internasional, hanya negara sajalah yang terikat dalam kewajiban perjanjian-perjanjian internasional, yang ditandatanganinya. Dengan mengikatkan diri pada suatu perjanjian HAM internasional, maka suatu negara mempunyai kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia.

Oleh karena itu, negara, Pemerintah, atau organisasi apapun mengemban kewajiban, untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa kecuali. Ini berarti bahwa, hak asasi manusia harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Penjelasan Umum UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM). (Bapthista Mario Yosryandi Sara)

Editor : Fratama 
Penanggung Jawab : Obor Panjaitan
Komentar

Berita Terkini