|

Agun Gunandjar : Penegakan Hukum Tunduk Patuh Pada UUD"45 , MPR dan MK Jangan Asal Tafsir


Ket Gambar : Agun Gunandjar Sudarsa Mantan anggota PAH III dan PAH I BP MPR RI tahun 1999-2002. Sekarang Anggota Komisi XI DPR RI. 




Media Nasional Obor Keadilan | Jakarta | YR Pasal 169 Huruf Dan UU no 7 Thn 2017 tentang Pemilu. Negara Indonesia  adalah  negara hukum, ketentuan pasal 1 ayat (3) UUD 1945 ini berasal dari Penjelasan yg diangkat kedalam pasal atas dasar kesepakatan fraksi fraksi MPR hasil pemilu reformasi 1999 dlm melakukan perubahan UUD 1945.

Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menegakan supremasi hukum untuk kebenaran dan keadilan, dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan (akuntabel). Kekuasaan apapun dan siapapun, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Sehingga mekanisme "Checks and balances" dapat berjalan semakin terukur.
Negara yang menganut faham negara hukum mempersyaratkan 3 prinsip dasar yang harus bekerja efektif. Yakni supremacy of law, equality before the law,  dan due process of law.

Indonesia sebagai negar hukum juga dapat  dilihat dari rumusan pasal 1ayat (2), dimana Kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut UUD, bukan oleh lembaga MPR. Artinya kedaulatan tsb dilaksanakan berdasarkan hukum, menurut aturan2 dlm UUD. Jadi yang suprem adalah hukum bukan MPR.  Mengapa? Karena UUD adalah hukum tertulis yang tertinggi, dia adalah pucuk dan puncak pengaturan yang harus  dijaga dan ditegakan (suprem), dipatuhi dan ditaati (due process), tidak membedakan (equality). Dengan demikian kehidupan kenegaraan kita menjadi semakin terukur dan bermartabat.
Untuk menjamin tegaknya Supremasi hukum (konstitusi) tersebut , UUD 1945 memberi kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana dirumuskan dalam pasal 24C yg berwenang salah satunya menguji UU thd UUD 1945, yang putusannya bersifat final dan mengikat.
Namun demikian MK dalam menjalankan kewenangannya juga diwajibkan untuk tunduk, patuh dan mengikatkan diri kepada supremasi hukum (Konstitusi). Karena yang suprem itu UUD 1945 bukan lembaga MK, sehingga tdk bisa dan tdk dibenarkan para hakim MK membuat penafsiran bebas atas subtansi pasal pasal UUD 1945.
Oleh karena itu pemahaman dan penguasaan serta keaslian perumusan pasal pasal UUD 1945,  mulai dari latar belakang proses pembahasan perdebatan hingga diputuskan dan ditetapkannya pasal tersebut harus terkuasai secara gamblang, sehingga tiada keraguan dalam putusannya.

Lembaga MK dan para Hakim sepatutnya tetap berpegang pada pasal pasal dalam UUD 1945, dalam pengujian kali ini berdasar kepada pasal 7 UUD 1945, yang sebelum perubahan rumusannya : Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Lalu diubah menjadi : Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Untuk mendalami aturan pasal 7 yang sudah berubah tersebut , saya mengulangi kembali dan membaca buku Risalah Perubahan  Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tahun sidang 1999 yg diterbitkan sektetariat jenderal MPR RI Tahun 2008, dimana saya sebagai salah seorang anggota tim penyusunnya.

Didapatkan kejelasan bahwa yang dimaksud oleh rumusan pasal 7 tersebut , harus dimaknai baik berturut turut maupun tidak , baik Presiden maupun wakil presiden, dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk sekali masa jabatan. Artinya hanya 2 kali, berturut turut atapun tidak berturut turut.
Dalam risalah rapat tim perumus PAH III BP MPR tgl 9 oktober, 10 oktober 1999, jelas sekali pemaknaan yg dimaksud pasal 7 tersebut . Dalam risalah tersebut tergambarkan pikiran argumentatif tentang berturut turut, cukup sepuluh tahun, sampai ada pemikiran ke arah setelah 2 masa jabatan utk diperkenankan kembali dgn alasan tertentu. Namun pada akhirnya pikiran tersebut ditarik dan dapat menerimakan usulan alternatif pertama yg rumusannya berasal  dari Tap MPR No XIII tahun 1998. Yakni "Presiden dan wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Pembahasan selanjutnya berlanjut di Pleno Pah III, Pleno Badan Pekerja, hingga pelaksaaan Sidang Umum MPR tahun 1999 yg berlangsung dari 14-21 oktober 1999. Materi perubahan UUD 1945 dibahas di Komisi C MPR dan semua rancangan perubahan pertama UUD 1945, termasuk perubahan pasal 7 dapat disetujui untuk disyahkan tanpa melalui pemungutan suara.

Semoga saja tulisan ini dapat memberi pencerhahan bagi semuanya, karena persyaratan negarawan di konstitusi kita hanya ada bagi persyaratan hakim MK semata. Proses hukum harus dihargai, hak warga negara juga harus tetap dibuka, namun Supremasi Hukum (UUD 1945)  diatas segalanya. Bagi para penyelenggara negara eksekutif legislatif dan yudikatif serta setiap warga negara.

Salam kebangsaan, Agun Gunandjar Sudarsa
Mantan anggota PAH III dan PAH I BP MPR RI tahun 1999-2002.
Sekarang Anggota Komisi XI DPR RI.

Penanggung Jawab Berita : Obor Panjaitan

Komentar

Berita Terkini