|

FAISAL BASRI : TAHUN INI PEMERINTAH JOKOWI TARGET PENERIMAAN PAJAK PEMERINTAH ADALAH Rp 1.307,6 TRILIUN , TIDAK MASUK AKAL

ket Gambar : Foto Istimewa , Faisal Basri ,  Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.


Media Nasional Obor Keadilan |Jakarta | Minggu ( 12/11 ) , Tahun ini target penerimaan pajak pemerintah adalah Rp 1.307,6 triliun, dan tahun depan akan dinaikkan menjadi Rp 1.385,9 triliun. Target ini dinilai ketinggian.

Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Faisal Basri, mengatakan target pajak yang telah dicanangkan pemerintah sangat tidak masuk akal.

Target penerimaan pajak yang terlalu tinggi di tengah rasio pajak (tax ratio) Indonesia yang terus turun, menunjukkan betapa lemahnya database perpajakan yang dimiliki pemerintah.

“Ingin didorong spending berbasis pajak tapi unfortunately lingkungan strategisnya sedang buruk. Betapa lemahnya database perpajakan itu,” katanya dalam Seminar Reformasi Pajak di Plaza Mandiri, Jakarta, Senin (30/10/2017).

Lingkungan strategis yang buruk tersebut dilihat dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus melambat dari tahun ke tahun. Dan di saat yang bersamaan, rasio pajak juga terus turun.

“Tax ratio harusnya enggak boleh berubah. Tapi penerimaan pajak relatif turun, padahal ingin digenjot,” ujarnya.

Faisal juga menyatakan soal masih rendahnya angka penyaluran kredit perbankan di Indonesia. Persentasenya baru 46,7% dari PDB. Padahal di negara lain sudah berada di atas 100%.

“Dibanding negara-negara lain yang sudah di atas 200%, kita masih 40%-an. Mudah-mudahan dengan adanya fintech bisa naik, setidaknya mendekati 60% seperti sebelum krisis. Sehingga laporan bisa lebih akurat,” tutur Faisal.

Dari sisi neraca perdagangan, ekspor dan impor Indonesia juga masih menunjukkan penurunan terhadap PDB. Angka ekspor dan impor yang menurun tersebut juga menyumbang menurunnya basis pajak.

“Dan kita satu-satunya negara di dunia yang turun. Jadi taxable base-nya menurun, baik ekspor atau impor. Ekspor turun dari 29% ke 19%, impor turun dari 24% ke 18%. Itu sudah terjadi selama 16 tahun terakhir secara konsisten turun terus. Mungkin ada selundupan (enggak bisa dipajakin),” sambungnya.

Indikator lainnya yang menunjukkan pelemahan sumber penerimaan adalah masih besarnya angka pekerja informal di Indonesia yang notabene tak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Jumlahnya mencapai 70% sehingga hanya 30% yang bisa menjadi objek pajak.

“Jadi 70% masyarakat Indonesia itu extreme poor, moderate poor, dan vulnerable, yang hampir pasti enggak punya NPWP. Jadi kelas menengah sampai ke economy secure itu hanya 30% yang feasible dipajakin,” ungkapnya.

Faisal menambahkan, pembangunan infrastruktur hingga penugasan ke BUMN terkait proyek-proyek nasional berpotensi mengurangi penerimaan pajak.

“Harga BBM subsidi tidak dinaikkan. Padahal harga minyak sudah 4 bulan naik. Dan menurut Perpres, 3 bulan sekali ditinjau. Tapi subsidinya tidak naik di APBN, tapi ditanggung ke Pertamina. Demikian juga BBM satu harga di seluruh Indonesia. Untuk Papua saja sudah rugi Rp 800 miliar. Semua ditanggung Pertamina, Pertamina untungnya melorot, akhirnya pajak perusahaan dan kontribusi ke negara melorot,” papar Faisal.

“PLN juga sudah 2 tahun tarif listrik tidak naik. Harga energi primer naik. Keuntungan turun, pembayaran PPh 2 BUMN besar ini melorot. Jadi basis pajaknya dibikin kerdil oleh pemerintah sendiri. Ini yang kita tidak sadari,” tambahnya.

Penerimaan pajak pun akhirnya terus berkurang seiring dengan memburuknya lingkungan strategis yang menjadi objek kena pajak tersebut. Meskipun pernah mencapai 107%, namun hal itu lebih dikarenakan adanya melonjaknya harga komoditas. Namun di dua tahun terakhir, penerimaan melorot hingga ke angka 82%. Bahkan di 2016, realisasi tanpa tax amnesty itu hanya 74%.

“Jadi bukan sebetulnya salah dari pajak. Tapi ambisi yang terlalu menggebu. Dan semua menteri sekarang memberikan justifikasi bahwa Pak Jokowi benar, bukan malah mengingatkan. Jadi kesehatannya mandek. Ekonomi tumbuh 5%. Padahal yang stanting ada 27,2%, yang berat badan di bawah usia masih sekian belas persen. Masih ada 9,2% bayi yang lahir di bawah standar. Bagi saya itu lebih penting daripada infrastruktur, karena memanusiakan manusia. Kasihan jadinya pajaknya,” tukasnya. (eds/wdl)
Editor : Obor Panjaitan

Sumber: https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/3705608/kritik-faisal-basri-soal-target-pajak-dan-kondisi-ekonomi

Komentar

Berita Terkini