|

Lapor Pak Gubernur! Birokrasi Samsat Depok Semrawut, Surat Dibuka Sebelum Diterima

OBOR KEADILAN- Edisi 5 Maret 2025

SAMSAT DEPOK: SURAT KONFIRMASI PERS DIBUKA, PROSEDUR DIRAGUKAN

Media Nasional Obor Keadilan | Depok – Pagi itu, Rabu, 5 Maret 2025, pukul 10.47 WIB, Kantor Samsat Kota Depok tampak seperti biasa: riuh kendaraan dan antrean wajib pajak. Namun, di balik rutinitas itu, sebuah kejadian kecil membuka tabir prosedur yang janggal. Seorang jurnalis Obor Keadilan, yang juga aktivis anti-korupsi, datang membawa surat konfirmasi untuk Kepala Samsat Depok. Tujuannya sederhana: memastikan dokumen resmi sampai ke tangan yang tepat. Tapi, yang terjadi justru jauh dari sederhana.  

Di meja penerimaan, surat itu diterima—lalu dibuka. Bukan oleh Kepala Samsat atau pejabat berwenang, melainkan oleh petugas biasa. Padahal, amplop itu jelas bertuliskan nama tujuan: Kepala Samsat atau Kepala Pusat. Dalam dunia administrasi yang waras, membuka surat tanpa izin penerima adalah pelanggaran etik, bahkan bisa jadi hukum. Tapi di sini, hal itu dilakukan seenaknya, seolah-olah itu prosedur standar.  

Setelah menanti 10 menit, seorang petugas berbaju putih muncul. Ia mengaku honorer, bukan PNS, dan memberi arahan yang membingungkan: surat harus difotokopi dulu—di luar kantor. “Silakan ke tempat fotokopi,” katanya santai, seolah kantor sebesar Samsat tak punya mesin fotokopi sendiri. Jurnalis Obor Keadilan tak tinggal diam. “Peraturan dari mana ini? Anda PNS atau honorer di sini?” tanyanya, mencoba menggali dasar prosedur aneh itu.  

Jawaban petugas mengambang. “Masih honorer,” katanya. “Tahu dari mana mekanisme surat-menyurat seperti ini?” lanjut jurnalis. “Saya diperintah atasan tadi, Pak,” balasnya tanpa rincian. Atasan siapa? Kepala Samsat langsung? Atau sekadar koordinator lapangan? Petugas itu bungkam, tak menyebut nama. Pertanyaan pun terngiang: siapa dalang di balik instruksi ini?  

Semua dialog itu terekam jelas dalam profesi jurnalis—dokumentasi yang dilindungi Undang-Undang sebagai hak pers untuk meliput dan mencatat. Sebagai wartawan yang berhati-hati, semua terekam dari awal kedatangan hingga pulang, waswas akan fitnah atau distorsi fakta. Rekaman itu kini menjadi bukti otentik, menanti klarifikasi resmi.  Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, hak pers untuk meliput, mencatat, dan mendokumentasikan informasi dilindungi dalam beberapa pasal, terutama:

1. Pasal 4 ayat (3):

> "Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi."

2. Pasal 6 huruf c:

> "Pers melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum."

3. Pasal 18 ayat (1):

> "Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)."

Berdasarkan pasal-pasal tersebut, jurnalis memiliki hak untuk meliput, mencatat, serta mendokumentasikan informasi dalam menjalankan tugasnya. Jika ada pihak yang menghalangi atau menghambat, termasuk dalam hal birokrasi surat-menyurat yang tidak transparan, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap kemerdekaan pers.

Lanjut!

Kejanggalan tak berhenti di situ. Ketika prosedur fotokopi di luar kantor itu dipertanyakan, suasana berubah. Tiba-tiba, beberapa petugas berbaju hitam muncul dari sudut ruangan. Mereka mengaku polisi di bawah koordinasi Pak Agung, kepala keamanan Samsat Depok. Dua di antaranya menawarkan “solusi”: surat akan diproses, tapi tunggu di bawah dan akhirnya diluar.  

Prosesnya molor. Butuh 35 menit—waktu yang terasa abadi di tengah terik Depok—sebelum surat dikembalikan bersama tanda terima. Tapi ada yang lebih ganjil: seluruh isi surat sudah difotokopi dan dibaca petugas. Bukan sekadar satu lembar untuk bahan membubuhkan tanda terima, tapi lembaran semuanya. Tanda terima yang diberikan pun tak kalah mencurigakan: tanpa stempel, hanya coretan tangan di kertas polos. Ini bukan lagi soal efisiensi, tapi profesionalisme yang diragukan.  

Samsat Depok bukan kantor sembarangan. Ia mengelola pajak kendaraan bermotor, urat nadi pendapatan daerah. Tapi jika surat-menyurat konfirmasi Pers saja diperlakukan seperti ini, bagaimana publik bisa percaya pada layanan yang lebih besar? “Ini cermin birokrasi yang perlu dievaluasi,” kata Obor Panjaitan, Ketua Umum Ikatan Pers Anti Rasuah (IPAR), yang kebetulan mengenal Pak Agung secara personal. “Tapi kenalan atau tidak, profesionalisme tak boleh dikompromikan.”  

Surat yang diantarkan itu berisi konfirmasi terkait isu yang belum dibuka ke publik. Apa isinya, belum terungkap. Tapi kejadian ini sudah cukup menambah daftar panjang cerita tentang pelayanan publik yang tersandung prosedur dan transparansi. Gubernur Jawa Barat patut mencermati: jika Samsat Depok tak bisa menangani surat dengan benar, apa lagi yang disembunyikan di balik meja-meja birokrasi?  

Peran Samsat Jabar (Jawa Barat)

  • Memberikan layanan informasi, pengaduan, konsultasi, dan penagihan pajak secara elektronik 
  • Memberikan layanan Samsat Drive Thru, yaitu layanan pembayaran pajak dan pengesahan STNK tanpa harus turun dari kendaraan 
  • Memberikan layanan Samsat Digital Mandiri, yaitu layanan pembayaran pajak tahunan secara mandiri tanpa harus bertemu petugas 
  • Memberikan layanan Samsat Outlet, yaitu layanan pembayaran pajak tahunan di pusat perbelanjaan atau pusat kegiatan masyarakat 
  • Memberikan layanan Samsat Information Center, yaitu layanan informasi, pengaduan, konsultasi, dan penagihan pajak secara elektronik 

Manfaat Pajak Kendaraan Bermotor

Pajak kendaraan bermotor (PKB) yang terkumpul sebagian akan dibagikan ke kabupaten atau kota untuk mendukung program pembangunan daerah. Pembayaran pajak kendaraan bermotor juga turut serta dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik. (Redaksi Media Nasional Obor Keadilan)

Komentar

Berita Terkini