|

"Uang Pemantapan" SMA Negeri 2 Depok: Kebutuhan Akademik atau Pungutan Siluman?

Media Nasional Obor Keadilan | Kota Depok (23/2) – Polemik pungutan di sekolah negeri kembali mencuat, kali ini di SMA Negeri 2 Kota Depok. Sejumlah orang tua murid mengeluhkan adanya permintaan dana sebesar Rp1.200.000 per siswa yang diklaim sebagai "uang pemantapan". Namun, hingga kini tidak ada kejelasan mengenai peruntukan dana tersebut, memicu kecurigaan bahwa pungutan ini lebih mengarah pada praktik yang tidak sesuai dengan aturan pendidikan nasional.

Berdasarkan hasil investigasi Obor Keadilan, orang tua murid telah berkomunikasi melalui grup WhatsApp dan mempertanyakan rincian dana yang harus mereka bayarkan. Namun, ketika diminta transparansi terkait penggunaan dana, jawaban yang diberikan panitia terkesan menghindar dan tidak memberikan rincian anggaran yang jelas.

Lebih lanjut, beberapa bukti transfer yang diterima redaksi menunjukkan adanya pembayaran ke rekening atas nama komite sekolah. Sejumlah orang tua mengaku merasa terbebani dengan pungutan ini, terlebih karena sifatnya yang seolah-olah wajib meskipun disebut sebagai "sukarela".

Apakah Pungutan Ini Berkaitan dengan P5?

Investigasi terbaru menunjukkan bahwa pungutan ini mungkin tidak hanya berdampak pada keuangan orang tua, tetapi juga berimbas pada akses siswa terhadap kegiatan akademik tertentu.

Dari hasil pemindaian percakapan grup WhatsApp antara wali murid dan pihak sekolah, muncul daftar siswa yang tidak dapat mengikuti kegiatan P5 (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila). Orang tua diminta untuk mengisi daftar siswa yang tidak bisa ikut P5, namun tidak ada alasan resmi yang dijelaskan mengapa mereka dikeluarkan dari kegiatan ini.

Salah satu wali murid yang berbicara dengan redaksi Obor Keadilan mengungkapkan bahwa ada kemungkinan kuat siswa yang tidak membayar pungutan tertentu tidak bisa mengikuti P5.

"Uang pemantapan ini menjadi beban karena kami tidak tahu apa yang dimantapkan. Memang diberikan embel-embel tidak paksaan, tetapi bagi yang tidak membayar, disuruh menghadap untuk berbicara. Dari semua pungutan, ini yang paling memberatkan orang tua."

Jika dugaan ini benar, maka kebijakan ini bisa dikategorikan sebagai diskriminasi terhadap siswa berdasarkan latar belakang ekonomi. P5 adalah bagian dari Kurikulum Merdeka yang seharusnya diakses oleh semua siswa tanpa pengecualian.

Sementara itu, dalam percakapan lain, beberapa orang tua juga mempertanyakan biaya lain yang dinilai terlalu besar, seperti uang gedung dan biaya sewa tempat perpisahan yang dianggap tidak masuk akal.

"Kalau buku, ya masih bisa diterima karena buku diberikan ke anak. Tapi kalau uang gedung? Taruhlah sewa di Ronatama itu sekitar Rp60 juta, bahkan untuk umum. Untuk anak sekolah biasanya dapat diskon. Kalau konsumsi taruhlah Rp200 juta, tetap saja kelebihannya sangat besar. Uang ini mengalir ke mana?"

Orang tua murid menuntut transparansi lebih lanjut terkait dana yang dikumpulkan oleh sekolah.

Kasus Serupa: Kepala SMA Negeri 6 Depok Dicopot

Kasus ini semakin menarik perhatian publik karena sebelumnya, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi baru saja mencopot Kepala SMA Negeri 6 Kota Depok akibat kasus pungutan liar yang menyeret nama sekolah tersebut. Kala itu, Gubernur menindak tegas pungutan tak berdasar yang membebani orang tua murid, di mana dana yang dikumpulkan digunakan untuk agenda jalan-jalan ke Bali dengan alasan outing class.

Jika benar pungutan di SMA Negeri 2 Depok juga mengarah ke penyalahgunaan dana, maka bukan tidak mungkin kasus ini akan berujung pada tindakan serupa dari Gubernur.

Pihak Sekolah Masih Bungkam?

Hingga berita ini diturunkan, pihak SMA Negeri 2 Kota Depok belum memberikan klarifikasi resmi mengenai kebijakan pungutan ini. Redaksi Obor Keadilan telah berupaya menghubungi pihak sekolah, namun belum mendapat tanggapan.

Dengan adanya indikasi pungutan yang berdampak pada akses siswa terhadap kegiatan akademik, serta potensi penyalahgunaan dana, pertanyaan terbesar yang kini muncul: Apakah Gubernur Jawa Barat akan kembali turun tangan untuk menindak sekolah yang melakukan praktik serupa? "Orang tua murid menunggu" jawaban.

(Redaksi Obor Keadilan)

Stay tuned, Obor Keadilan pantau terus kasus ini sampai tuntas!


Komentar

Berita Terkini