|

Pelaksanaan Pilpres 2024, Pengamat: Kedepankan Budaya Berpolitik Stop Eksploitasi Anak


Media Nasional Obor Keadilan| Jakarta, Minggu (6/11-2022),
Pelaksanaan pemilu presiden (Pilpres) 2024 masih dua tahun lagi, kendati demikian tensi politik sudah mulai terasa, antara lain terjadinya aksi saling serang dan sindir antarelite politik, bahkan peperangan psikologis atau perang urat saraf sebagai bentuk propaganda ofensif telah dilancarkan segelintir 'penganut politik kotor' yang dikenal sebagai psychological operation (PSY-OP).

Para kandidat sudah mulai berseliweran dimana saja dan kapan saja ibarat iklan coca cola. Mereka berusaha ramah kepada rakyat ada gaya memeluk, bernyanyi ngobrol bahkan membawa sejumlah oleh-oleh untuk rakyat itu sih sah-sah saja namanya juga gaya pendekatan awal.

Situasi keadaan diatas tersebut tergantung kita rakyat, tinggal menilai mana yang memang biasa dekat dengan rakyat mana yang masih baru belajar bicara dengan rakyat yang sebelumnya hanya biasa bicara kepada rakyat dengan metode bicara searah.

Ada yang belajar membagi kaos dengan gaya melempar pada kerumunan massa. Ya takjadi soal biarkanlah semua kandidat mengenalkan diri dengan cara (stylenya-red) masing-masing, itu buktinya alam demokrasi kita berjalan dengan baik di Era Kepemimpinan Jokowi sebagai kepala pemerintahan dan kepala Negara.

Semua situasi ini bisa menjadi pembelajaran bagi para calon pemilih terutama kaum pemula, dan kita semua akan ikut berperan serta pada pesta rakyat pesta demokrasi bangsa kita. Dari yang pemula sampai yang lanjut usia [lansia] akan kembali berdiskusi tentang Bangsa dan Negara terkait Bhineka tunggal Ika, mengamalkan Pancasila dengan menjaga semangat toleransi. Bilamana semua elemen masyarakat bisa memaknai dengam positif maka ini akan menjadi momentum pendewasaan budaya bangsa yang wajib diajarkan dan diwariskan pada setiap generasi penerus Bangsa.

Budaya menurut Gus Dur akan melestarikan azas kemanusiaan sebagaimana para elit dan para penyelenggara Negara membiasakan diri mendengarkan kritik dari sivil society, juga merupakan sikap berbudaya.

Namun demikian warga masyarakat dalam menjalankan perannya ketika mengkritik wajib memperhatikan norma kesusilaan sopan santun tanpa mengurangi nilai kritiknya, sebab sikap santun merupakan ciri dan warisan leluhur kita, dalam arti kritis namun tetap berbudaya luhur.

"Bahkan mengkritik diri sendiri sangat diperlukan sebab sikap otokritik akan mengajarkan kita bertenggang rasa tepo seliro terhadap orang lain."

Situasi menjelang pemilihan umum 2024 semakin hangat para kandidat calon pemimpin bermunculan, baliho spanduk bergambar figur dan jargon politik dimana-mana, bahkan para relawan ada juga yang mulai pasang kuda-kuda, ada yang bertahan dukung kandidat lamanya atau mau berpindah ke kandidat lain.

Momentum masa menjelang pemilu takjarang dimanfaatkan pihak yang selalu berorientasi politik hitam, diantaranya berdemo (berunjuk rasa) menuntut 'Presiden Jokowi turun', perihal demonstrasinya takjadi soal namun ketika ruang demokrasi itu diwarnai nuansa balas dendam, maka kemurnian nilai demokrasinya ternoda bahkan tak bermakna apapa buat kepentingan umum selain memuaskan hasrat politik hitam para penyusun skenarionya.

Salah satu ketentuan yang mengatur demonstrasi adalah undang-undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.

Didalam undang-undang ini, demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum dan atas kepentingan umum.

"Kejam, Anak Kecil Dipaksa Ikut Demo dan Bawa Baliho Jokowi Mundur" Jelas ya aturan diatas bukan untuk ujaran kebencian (hate speach). Berikut VIDEO: Miris, Anak Kecil Dipaksa Ikut Demo dan Bawa Baliho Jokowi Mundur

Yang paling memprihatinkan saat berdemo menuntut pak Jokowi mundur, bukan berisi kritik tapi "melampiaskan birahi dengki" diwarnai hate speach dengan dalil demokrasi. Tidak sampai disitu, ada pula tindakan dan "Aksi membawa bocah anak kecil yang masih suci bersih, telah diajari perbuatan melawan hukum (melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak 2014) Aturan tersebut sudah mengamanatkan perlindungan anak dari kegiatan politik, dan kegiatan yang merusak serta mengandung kekerasan)."

Anak kecil itu memegang bendera yang bertuliskan "JOKOWI MUNDUR, 

Tindakan sutradaranya jelas melanggar Pasal 15 UU Perlindungan Anak 2014 yang mengatakan bahwa anak-anak itu harus dilindungi dari penyalahgunaan kegiatan politik, pelibatan dalam kerusakan sosial, dan pelibatan dalam peristiwa yang mengandung kekerasan.

Kenapa harus mewariskan dendam dan kebencian kepada anak-anak atau generasi penerus? Tanpa disadari sang sutradara politik hitam itu akan ada jejak digital yang takmudah bahkan tak hilang permanen, bagaimana kelak ketika anak yang masih suci ini dewasa ini menyadari dirinya telah dieksploitasi habis-habisan atau dijadikan obyek jualan politik kotor? 

Manusia disebut sebagai mahluk berbudaya karena manusia memiliki akal dan budi atau pikiran dan perasaan. Dengan akal dan budi manusia berusaha terus menciptakan benda-benda baru untuk memenuhi tuntutan jasmani dan rohani yang akhirnya menimbulkan kebahagiaan.

Menurut pandangan ilmu filsafat sebuah kebudayaan merupakan suatu produk hasil dari pemikiran manusia yang dipengaruhi oleh latar kehidupan manusia dalam beberapa aspek seperti agama, suku, ras, pengetahuan dan status sosial.

Tulisan ini sekedar mengingatkan kita semua untuk menjadi "Bangsa yang Berbudaya."

Penulis: Rootien Illyas biasa disapa Bunda Roostien, Pengamat Politik, praktisi perlindungan anak 

Komentar

Berita Terkini