|

Bunda Roostien, Mengisi kemerdekaan: Kebebasan berbicara [Freedom of speech], Aktif dalam Kegiatan Sosial

Media Nasional Obor Keadilan | Jakarta, Kamis (12/08-2021), Bulan agustus bulan merdeka, pada tahun 2021 ini aku sangat berharap kita kembali merdeka dari pandemi yang telah lebih dua tahun membuat dunia tidak merdeka bahkan tak berdaya.

Pamdemi global ini tak terkecuali dengan Indonesia. Ingatanku kembali pada bulan agustus 20 tahunan yang lalu, pertama aku diberi tugas oleh "ibu Johana Nasution dimana beliau sebagai ketua badan koordinasi kegiatan kesejahteraan sosial DKI Jakarta."

Untuk mensosialisas berbagai masalah sosial termasuk perlindungan anak juga tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ke desa Bambu kuning yang letaknya di tengah tambak di daerah Marunda Jakarta utara.

Sejak itu aku sering di tugaskan ke perkampungan atau ke berbagai Desa untuk mensosialikan ragam macam Ubang Undang atau berdiskusi tentang berbagai permasalahan yang dihadapi warga Desa sekaligus mencarikan jalan keluarnya.

Alhamdulillah hampir semua permasalahan bisa terbantu dengan bermacam cara, kadang aku minta kawanku yg pengacara agar turun tangan, atau aku minta kawanku yang dokter untuk rembug kampung atau rembug desa akan hal ilhwal kesehatan reproduksi dan sebagainya dengan memakai bahasa rakyat, bukan bahasa akademis.

Sulit? Kagok? Ya memang aku bantu menjelaskannya sampai semua hadirin yang terdiri dari petani, tukang batu, kuli bangunan dan ibu-ibu penjual daun, penjual jamu mengerti dan paham betul materi apa yang kami sampaikan.

Apakah yang berbicara cuma aku dan kawanku? yang aku undang untuk menjelaskan sebuah materi? Gak lah....Aku selalu tunjuk secara acak siapa yang aku minta menanggapi penjelasan kami.■■■

Dan semua yang hadir dapat giliran berbicara mereka aku ajak supaya tidak takut bicara silahkan kalau gak bisa bahasa indonesia boleh dengan bahasa daerah, ini aku terjemahkan dengan "Merdeka Berbicara" Kenapa aku minta mereka bicara? Karena aku harus tahu apakah mereka mengerti dan paham akan materi yang aku sampaikan.

Dan aku juga yakin mereka membutuhkan dihargai dan di uwongke, aku yakin semua akan merasa bangga karena bisa berbicara dan berpendapat di acara diskusi dan pasti sampai di rumah mereka akan bercerita pada keluarganya kalau hari ini dia bicara di acara urun rembug dengan pak dokter dan bu Roostien di pasar atau di bawah pohon atau di gerbong KA yang sudah jadi tempat tinggal.

Rupa-rupanya kegiatanku jadi nara sumber di kampung-kampung sampai ke telinga berbagai kegiatan Mahasiswa,
Dan setelah itu sering aku di undang oleh gerakan gerakan mahasiswa berbicara di daerah pinggiran Jabodetabek.

Aku pernah juga bertanya pada para mahasiswa yang minta aku bicara di lapangan di kampung kampung siapa?
Jawabnya; Mbak kalau pembicara yang lain kadang dengan bahasa politik, birokrasi, akademik sudah banyak banget, tapi yg bisa menjelaskan kebijakan kebijakan dan men sosialisasikan berbagai undang uundang, peraturan pemerintah dalam berbahasa rakyat, bahasa kampung.

Ditambahkan para mahasiawa kala itu; "kita cuma kenal Roostien Ilyas, mungkin karena aku praktisi sosial yang memang keseharianku ada di tengah kemiskinan dan kekurangan."

Satu hal yang selalu melekat dihatiku
mereka sangat tulus dan penuh dengan rasa kekeluargaan. akupun gak pernah mempermasalahkan mereka memanggilku apa, panggilan ku bermacam macam. ada yang memanggilku;
~"ibu gembel"
~"mak'e ..ning"
~"Mmbuk"....
~"Cebing"
~"bahkan ada yang panggil 'Rii'
dan sebagainya.

Selain itu ada pula wartawan yang menulisku Roostien Ilyas "artis musibah".
"artis kolong jembatan", karena menurutnya aku selalu muncul di mana ada musibah.
seperti kasusTim-tim, lumpur Lapindo, Thsunami Aceh, Ambon, Sampit, Poso.

Ada yang sebut aku "malaikat gak bersayap", Adian Napitupulu yang sekarang sebagai politisi kritis yang juga kakak kelas anakku di UKI dan bergabung di FORKOT, yang pertama memanggil aku "Mbak", aku waktu itu protes kan aku ibunya Firman yang adik kelasnya, kok manggil aku mbak? Adian jawab; panggilan mbak itu panggilan egaliter, seperti panggilan
mbak Mega, bung Syahrir, bung Karno, bung Hatta, mbak Tutut, jadi bukan masalah umur mbak. tetapi karena mbak selalu bareng kita di jalanan, hehe ya udahlah, Nah sekarang ada yang panggil aku "Bunda" hehe. Ada temanku yang aktivis seperti kawan kawan Adian pada protes, apaan sih kok di panggil Bunda, enggak banget deh mending di panggil emak skalian sampai-sampai kawanku di Jerman Lies yang sudah 40 tahun tinggal di sana juga protes kok sekarang jadi bunda?

Ih aneh mbak ya aku cuma ketawa Aku bersyukur menikmati rasa Merdeka yang utuh terbiasa di kritik karena relawanku hampir semua mahasiswa.

Ditengah banyaknya elemen penting negara ini berjuang untuk melepaskan diri dari pandemi Covid dengan cara patuh pada aturan prokes dan juga melalui kearifan lokal melalui doa-doa dan spiritual agama Masing-masing upaya. Jiwa raga terpusat untuk menghalau virus Corona, Tapi ada sebagian anak bangsa yang mati rasa nuraninya, mereka tega mengacaukan situasi dengan merusak makna merdeka Berbicara menjadi bicara yang liar mengumbar kebohongan dengan tujuan menakut- nakuti anak bangsa yang masih belum paham apa dan bagaimana menghadapi Covid.

Rasanya sulit untuk percaya ternyata ada manusia yang tega memanfaatkan situasi yang memprihatinkan bangsa ini untuk kepentingan politik, bisnis, atau untuk bahan jualan skenario pemutar balikan fakta demi kepuasan sahwat politik sesaat. Padahal kalau untuk mengambil hati rakyat yang di butuhkan suaranya, jadilah pemersatu yang cerdas. Karena ketidakpahaman mereka tentang virus Corona bukan berarti mereka tidak paham akan kejujuran nurani.

Aku beruntung bisa Merdeka berbicara "DENGAN" dan bukan berbicara "KEPADA" mereka saudara-saudaraku yang disebut dengan wong cilik.

"MERDEKA"....!!!!!
"MERDEKA"....!!!!!
"MERDEKA"....!!!!! [◇]

Penulis: Roostien Ilyas, biasa disapa Bunda Roostien 

Komentar

Berita Terkini