|

Hukum Dan Keadilan




Media Nasional Obor keadilan | Tujuan dari penegakan hukum, sejatinya, adalah untuk mencari kebenaran, keadilan, dan menciptakan kedamaian. Prosedur hukum pun sudah disusun sedemikian rupa untuk mencapai tujuannya, yaitu suatu jaminan perlindungan hak dan keadilan.

Namun, proses penegakan hukum di Indonesia tak pernah luput dari berbagai sorotan karena penanganan kasus kasus hukum kerap dibelok-belokkan oleh para penegak hukumnya sendiri. Itulah yang membuat kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum pun akhirnya luntur.

Banyaknya kasus hukum yang di pengadilan telah menunjukkan bahwa penegakan hukum di Tanah Air saat ini memang masih jauh dari yang dicita-citakan. Rule of law seolah menjadi tembok pembatas bagi para penegak hukum untuk melakukan terobosan hukum demi mencari dan menemukan keadilan yang sesungguhnya. Para hakim pun takut melakukan terobosan hukum. Akibatnya, masyarakat tidak bersalah yang justru harus menjadi korban.

Masih terngiang dalam ingatan kita seorang mantri desa, Misran, yang menjadi korban ketidakadilan penegakan hukum. Misran adalah seorang mantri desa yang menolong warga Kuala Samboja, Kalimantan Timur. Apa yang dilakukan oleh Misran tidak hanya mengobati, tapi juga mengubah pola kesehatan warga menjadi lebih baik. Namun apa yang terjadi, niat baik Misran menolong masyarakat malah dinilai melawan hukum.

Hakim Pengadilan Negeri Tenggarong mengganggap Misran tidak punya kewenangan memberikan pertolongan layaknya dokter. Dia dituduh melanggar UU 36/ 2009 tentang Kesehatan pasal 82 (1) huruf D jo Pasal 63 (1) UU No 32/1992 tentang Kesehatan. Alih-alih mendapat keadilan, Pengadilan Tinggi Samarinda malah menguatkan putusan PN Tenggarong, yaitu memenjarakan Misran selama tiga bulan.

Esensi Mencari Kebenaran Lain halnya dengan kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (PT CPI) yang menyeret tujuh orang tak bersalah sebagai terdakwa. Kasus ini menjadi salah satu contoh penanganan kasus hukum dengan logika hukum dan perundang-undangan yang terbolak-balik. Tak heran bila kasus ini kemudian banyak disorot oleh pengamat dan praktisi hukum untuk ditelaah lebih lanjut.

Kasus proyek pemulihan lingkungan dari kondisi tanah yang terkena limbah akibat eksplorasi minyak dengan metode bioremediasi dituduh sebagai kegiatan fiktif. Proyek ini digarap oleh Chevron yang dibantu dua kontraktornya, yaitu PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya ini yang dianggap keduanya tidak memenuhi klasifikasi teknis dan sertifikasi dari pejabat  berwenang untuk bergerak di bidang pengolahan limbah. Kasus ini disidangkan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) karena dianggap terkait dengan potensi kerugian negara.

Dilihat dari permasalahan yang diangkat, penyelesaian kasus bioremediasi mestinya mengacu kepada aturan-aturan terkait sengketa lingkungan, yaitu UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), terutama pasal 1 angka 25, juga peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) No 4 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyelesaian Lingkungan Hidup. Berdasarkan kedua peraturan tersebut, penyelesaian sebuah kasus sengketa sebaiknya diawali verifikasi terhadap pengaduan dan dilanjutkan dengan pertemuan dengan para pihak yang bertikai, penyusunan kesepakatan, serta menindaklanjuti hasil kesepakatan.

Penyelesaian melalui pengadilan hanya dilakukan ketika musyawarah tidak bisa tercapai. Sesuai UU PPLH tersebut pun cukup jelas bahwa tindakan hukum terhadap kasus bioremediasi tidak ada kaitan sama sekali dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Persoalan kualifikasi dan perizinan yang dikenakan kepada kedua kontraktor PT CPI, yaitu PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya, bukanlah ranah UU Tipikor tapi UU PPLH.

Peraturan Mahkamah Agung (MA) No 36 tahun 2013 juga menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan menggunakan mediator. Namun yang terjadi dalam kasus bioremediasi, Kejaksaan Agung langsung membawa perkara ini ke ranah pidana korupsi di pengadilan tanpa didahului semua prosedur yang ditentukan perundang-undangan. Bahkan proses ini dilakukan tanpa koordinasi dengan Kementrian Lingkungan Hidup sebagaimana diamanatkan oleh UUPPLH.

Ketika persidangan berlangsung, para hakim pun cenderung mengacuhkan paparan-paparan dari segi hukum dan teknis bioremediasi yang diungkapkan para ahli. Sejumlah 48 kesaksian ahli tidak diindahkan, dan hakim memilih mempercayai keterangan satu ahli yang memiliki konflik kepentingan. Terbukti di persidangan bahwa sang saksi ini pernah mewakili beberapa perusahaan dan kalah dalam tender proyek di PT CPI yang diperkarakan.

Kredibilitasnya sebagai seorang ahli bioremediasi pun dipertanyakan, karena proses persidangan kemudian menguak bahwa ia tidak pernah mengikuti simposium internasional ahli bioremediasi, ataupun menulis jurnal yang dipublikasikan secara internasional tentang bioremediasi.

Para ahli lain dari berbagai universitas terkemuka pun kompak menyatakan belum pernah mendengar namanya. Lalu bagaimana para penyidik bisa serta merta menggunakan keterangannya sebagai acuan untuk memutus nasib ketujuh karyawan dan kontraktor PT CPI yang tidak bersalah?

Salah satu terpidana pada kasus ini, Bachtiar Abdul Fatah, telah dinyatakan tidak pantas untuk dijadikan tersangka oleh putusan pra peradilan. Akan tetapi, sepertinya penegak hukum tidak mentaati dan menjalankan putusan tersebut. Bachtiar ditangkap kembali oleh tim kejaksaan saat berada dirumahnya atas dasar secarik kertas dari MA yang dimana bukan sebuah fatwa MA untuk membatalkan putusan pra peradilan. Proses hukum ini seperti sudah sangat jelas akhirnya yaitu untuk menghukum bukan untuk mencari kebenaran.

Proses Hukum Standar
Memang saat ini korupsi telah menggerogoti sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia hingga ke akar terendah dalam sebuah sistem. Namun, keseriusan melawan korupsi kemudian tidak mesti diwujudkan dalam tindakan yang serampangan dan memaksakan adanya kasus korupsi yang terkesan dibuat-buat.

Ini sangat berisiko dan fatal akibatnya. Apa jadinya apabila seseorang dinyatakan sebagai tertuduh korupsi dan sudah kadung dicap koruptor tanpa bukti-bukti yang cukup dan jelas? Sungguh sangat memprihatinkan apabila yang bersangkutan akhirnya harus menderita secara lahir, batin, sosial, dan finansial selama bertahun-tahun meskipun pada akhirnya tuduhan itu tidak terbukti.

Menciptakan Indonesia yang bersih dari korupsi adalah cita-cita dan dambaan seluruh warga bangsa ini. Namun, jangan sampai cita-cita luhur tersebut dicoreng oleh tindakan oknum-oknum penegak hukum yang egois dan tak memperhatikan proses hukum yang standar. Lantas, apabila penegakan hukum di negeri ini sudah tidak bisa dipercaya, siapa lagi yang dapat kita percaya untuk menegakkan keadilan dan kebenaran yang sesungguhnya?

Sumber :
Azhar Kahfi
Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu
Hukum Universitas Indonesia (UI)
Komentar

Berita Terkini