|

Berita Duka , Dawam Rahardjo , Cendikiawan Muslim Serba Mumpuni Tutup Usia

Almarhum Prof. Dr. Dawam Rahardjo - akademisi sekaligus aktivis yang konsen kepada persoalan ekonomi dan transformasi sosial/ Foto istimewa 

MEDIA NASIONAL OBOR KEADILAN | Jakarta – “Inalillahi wa inailahi roji’un, mas Dawam meninggal,”  Wawan Leak pun browsing tapi belum ada media online yang memberitakan. Keterangan lebih lengkap justru datang dari kiriman “WhatsApp” Indah Nataprawira – cucu Buya Hamka – yang menulis:

*Sekilas Prof M. Dawam Rahardjo*

Prof M. Dawam Rahardjo meninggal dunia pada Rabu 30 Mei 2018, sekitar Pukul 21.35 WIB di RS Yarsi Jakarta Pusat.

Alamat rumah duka :
*Alm. Prof. M. Dawam Rahardjo*
Komplek Billymoon,
Jl. Kelapa Kuning III Blok F 1 No. 2, Duren Sawit Jakarta Timur

Rencananya jenazah akan dikebumikan Kamis Legi, 31 Mei 2018, di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata Jakarta Selatan

Voltaire van Solo

Sejak itu media sosial dibanjiri ucapan duka cita dari berbagai kalangan. Hamid Basyaib yang pernah berama-sama dengan almarhum – baik di surat kabar harian Republika maupun LP3ES – menulis pengalaman pribadinya dengan almarhum. Pernah suatu saat – tulis Hamid – “menelepon  saya di kantor harian umum Republika. Ia bilang, ia sudah mendengar kontroversi yang melibatkan saya dan bahwa saya akan diskors atau dipecat dari koran itu. Ia sudah bicara dengan Pak Habibie supaya terhadap saya tidak perlu tindakan disipliner dan sejenisnya”.

Singkat cerita, meskipun almarhum tidak selalu setuju tentang “telaah sosiologis” Hamid tentang kematian Nike Ardila yang memicu kehebohan di kalangan umat, namun di akhir 1994 itu Mas Dawam juga berkata di telepon, “Saya mungkin tidak setuju dengan pendapat Anda, tapi hak Anda untuk mengungkapkan pendapat itu akan saya bela sampai mati.”

Oleh karena itu Hamid Basyaib menjuluki almarhum sebagai “Voltaire van Solo” karena pembelaannya yang tegas dan lugas atas prinsip-prinsip demokrasi. Bagi Dawam Rahardjo keyakinannya atas “kebebasan berserikat dan berkumpul” bahkan memeluk “keyakinan” yang dianggap berbeda bukan sebatas wacana. Dawam Rahardjo meskipun menjabat satu di antara ketua Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) itu melibatkan diri dalam pembelaan kasus Lia Aminuddin dan jemaah Ahmadiyah.

Seperti halnya kepada Hamid, Dawam Rahardjo tidak selalu setuju dengan ajaran – baik Lia Aminuddin maupun jemaah Ahmadiyah – namun dia membela prinsip perbedaan, nilai-nilai universal demokrasi yang melindungi kebebasan berkumpul dan berpendapat. Prinsip itu bukan sekedar menjadi makalah, buku, atau karya ilmiah yang menghuni rak-rak perpustakaan terkemuka di dunia. Melainkan dengan melibatkan diri secara langsung sehingga almarhum selain sebagai cendikiawan juga dikenal sebagai aktivis keberagaman.

Split Elite

Di awal 1990-an -saat saya masih “unyu-unyu” di lingkungan aktivis gerakan, saya merasakan sendiri benturan di antara senior – antara yang masuk ICMi dan non ICMI. Benturan itu sangat saya rasakan karena saya pernah HMI, tapi juga aktif di Pijar dan kadang hadir dalam acara reboan Bang Marsillam Simanjuntak di Gondangdia Lama. Bang Marsillam sendiri, bersama mas Bondan Gunawan, Rachman Tolleng, Gus Dur, Romo Magnis dan lainnya membentuk Forum Demokrasi (Fordem) yang disebut-sebut berseberangan dengan ICMI.

Menjelang jatuhnya Soeharto split di tataran elite memang terasa. Saya sebagai anak muda tidak mau melibatkan diri dari konflik yang ketika itu justru saya anggap “mendewasakan demokrasi”. Tanpa adanya konflik tidak akan pernah menemukan identitas kebangsaan yang solid karena semua wacana dipaksakan dari atas – seperti misal Pendidikan Pedoman Penghayatan Pancasila (P4), Kelompencapir yang sering kami pelesetkan “kelompok pendengar capai berfikir dan sejenisnya.

Saya meskipun berada dalam komunitas reboan Fordem – yang juga sering kami pelesetkan sebagai Forum Dengerin Marsillam – tidak terlalu menggebu-gebu “Anti ICMI”. Sebab di lingkungan ICMI ada juga sosok-sosok cendikiawan mumpuni seperti mas Dawam Rahardjo, mas Adi Sasono, mas Muslim Abdurrahman, Nurcholis Madjid, Sutjipto Wirosardjono yang kini semuanya sudah almarhum.

Tentang almarhum Dawam Rahardjo sendiri, berkali-kali saya menghadiri ceramahnya di berbagai forum. Kalau Almarhum mas Muslim Abdurahman yang juga sahabat baik Bang Hariman Siregar selalu melempar wacana serius kemampuan humornya yang luar biasa, sebut demokrasi itu jumlah kepala lebih penting dari isi kepala, namun mas Dawam lebih kalem dan gaya bicaranya lebih tertata, sistematik dan lugas.

Kebetulan pada awal 1990-an pula saya beberapa kali hadir dalam acara pengajian – kalau tidak salah di Jalan Bendi, Tanahkusir, Kebayoran Lama – kediaman Nurcholis Madjid. Meskipun masih sangat unyu paradidma pluralism saya – satu di antaranya – terbentuk di situ. Pengajian itu rutin diikuti mas Dawam, Pak Sutjipto yang juga idola Almarhum Bang Amir Husin Daulay, dan tuan rumah Nurcholis Madjid itu sendiri.

Sikap Hormat

Dengan kata lain, meskipun awal 1990-an secara samar terlihat split elite di lingkungan kekuasaan Orde Baru yang satu di antara indikasinya “tidak adanya satu pandangan dalam menyikapi Kongres PDI di Surabaya, mimbar bebas di kantor PDI Jl Diponegoro hingga penyerbuan 27 Juli 1996, termasuk juga Muktamar NU di Cipasung dan sebagainya, namun itu tidak menutup mata hati dan telinga saya bahwa di lingkungan ICMI juga banyak berserak kaum demokrat yang apabila tiba waktunya akan membela demokrasi hingga titik darah penghabisan.

Karena memang di lingkungan ICMI juga diperkuat sosok-sosok seperti mas Dawam Rahardjo yang tidak perlu diragukan lagi komitmennya terhadap demokrasi. Bahkan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) yang digagas sejumlah aktivis gerakan – antara lain Adnan Buyung Nasution, Mulyana Wira Kusumah, Gunawan Muhammad dan lainnya, di board Dewan Nasional juga melibatkan tokoh-tokoh ICMI dan yang saya ingat Nurcholis Madjid. Mas Dawam Rahardjo seingat saya juga duduk di sana.

Sejumlah tokoh – sebagian besar dari ICMI itu pula yang sebelum 21 Mei 1998 dipanggil oleh Presiden Soeharto untuk membentuk Komite Reformasi – dan entah, terus terang saya tidak tahu jalan cerita sebenarnya, Komite Reformasi tidak pernah terbentuk bahkan pada pagi harinya sekitar pukul 10.00 Presiden Soeharto mengundurkan diri.

Hadirnya sosok seperti mas Dawam Rahardjo dan mas Muslim Abdurahman – juga almarhum Eki Syachruddin tokoh HMI yang ada di Golkar – membuat suasana keterbelahan antara pro Habibie dan Pro Mega tidak begitu meruncing sehingga menemukan titik temu pada sosok Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjadi Presiden RI yang pada awal kekuasaannya tidak memunculkan banyak resistensi.

Karena memang, di balik itu semua, sikap respect dan saling menghormati masih terlihat di antara sosok-sosok pimpinan baik di lingkungan pro maupun anti-Habibie. Mas Dawam dan sosok-sosok lainnya – termasuk bang Adnan Buyung Nasution dan bang Hariman Siregar – meskipun berada di lingkungan pro-Habibie namun tetap menghormati lawan-lawan politiknya.

Di lingkungan akademis, Dawam Rahardjo juga dikenal sebagai ekonom yang pro kerakyatan dengan menggali ajaran Pancasila sekaligus Islam.

Selamat jalan mas Dawam Rahardjo. Sepenggal perjalanan hidup “panjenengan” telah memiliki arti yang besar dalam perjalanan bangsa ini – sejak Orde Baru hingga paska reformasi. Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata adalah penghargaan negara yang layak “panjenengan”terima di hari Kamis (31/5) ini. []

Biodata

Almarhum Lahir di Solo Jawa Tengah, 20 April 1942.
– Alumni Fak. Ekonomi UGM (1969)
– Pemimpin Jurnal Ilmiah Prisma (1980-1986)
– Direktur LP3ES (1980-1986)
– Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Muhammadiyah Malang (1993)
– Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Pusat (ICMI) (1995-2000)
– Dekan Universitas As Syafi’yah
– Direktur Pelaksana Yayasan Wakaf Paramadina (1988-1990)
– Direktur Pusat Pengembangan Agribisnis (1992)
– Ketua Tim Penasihat Presiden BJ. Habibie (1999)
– Rektor Universitas Islam 45 Bekasi (1994 – 2004)
– Rektor UP45 Yogyakarta (2013-2017).

Penulis :
Marlin Dinamikanto

Penanggung Jawab : Berita obor panjaitan
Komentar

Berita Terkini