|

HAKIM PRAPERADILAN MERAMPAS WEWENANG KPK TERKAIT PENETAPAN BUDIONO SEBAGAI TERSANGKA

Ket Gambar : Petrus Salestinus Kordinator TPDI dan Advokat Peradi. 

JAKARTA | MEDIA NASIONAL OBOR KEADILAN  | Selasa, (11/4/2018), Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara gugatan Praperadilan No. 24/Pid.Prap/2018/PN. JS. tertanggal 9 April 2018, yang memerintahkan KPK untuk menetapkan mantan Wakil Presiden Budiono sebagai tersangka dalam kasus korupsi pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan Penetapan Bank Century  sebagai Bank gagal berdampak sistemik.

Hal tersebut dianggap sebagai Putusan Hakim yang sudah melampaui wewenang Praperadilan yang diberikan oleh KUHAP bahkan boleh dikatakan sebagai telah merampas wewenang Penyidik KPK untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka, sengah Petrus.

Petrus Salestinus, Ketua Tim Pembela Demokrasi Indonesia dan Advokat Peradi mengatakan,  “KUHAP secara limitatif telah memberikan wewenang sepenuhnya kepada Penyidik untuk mengekuarkan Surat Perintah Penyidikan dan Menetapkan seseorang sebagai Tersangka hanya berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan ,serta harus didukung dengan sekurang-kuranya dua alat bukti”, kata Petrus.

Menurutnya , “Keberadaan minimal dua alat bukti sebagai syarat dalam menentukan dan menetapkan seseorang menjadi tersangka itulah oleh Undang-Undang KUHAP dan UU KPK hanya diberikan kepada Penyelidik dan Penyidik di Kepolisian, Kejaksaan, KPK dan sama sekali tidak kepada Hakim Praperadilan”, jelas Petrus.

Beliau menegaskan, “Dalam praktek Peradilan, perluasan wewenang Hakim termasuk Hakim Praperadilan untuk mengisi kekosongan Hukum Acara, tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang oleh Hakim, karena UU Mahkamah Agung RI telah memberikan wewenang itu kepada Ketua Muahkamah Agung dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung”, tegas Petrus.

Dilanjutkannya, Hal ini diatur di dalam ketentuan pasal 79 UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Apalagi KPK tidak punya wewenang untuk menghentikan penyidikan Tindak Pidana Korupsi”, ujar Petrus.

Sebelumnya, Petrus memoertanyakan  Putusan Praperadilan Hakim Effendi Muktar, secara tidak langsung telah mengintervensi wewenang Penyidik seluruh instansi penyidik termasuk KPK yang oleh UU diberi wewenang berdasarkan pertimbangan subyektif untuk menentukan seseorang menjadi tersangka atau tidak.

“Dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) pada Bank Century , hakim Praperadilan bukanlah penyelidik dan bukan penyidik, karena itu kewenangan menentukan seseorang menjadi tersangka atau tidak sepenuhnya menjadi wewenang secara dominus litis Penyidik, karena wewenang itu tidak pernah diberikan kepada Instansi lain termasuk Hakim Praperadilan untuk menentukan”, tegas Petrus.

Sebelumnya, hakim PN Jakarta Selatan mengabulkan praperadilan terkait kasus Bank Century yang diajukan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) kepada KPK.

Dalam amar putusannya, hakim Efendi Muhtar memerintahkan agar KPK melakukan proses hukum sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku atas dugaan tindak pidana korupsi Bank Century.

Terkait ini , Petrus minta kepada Mahkamah Agung harus merespons sikap Hakim Effendi Muktar, Hakim Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara Praperadilan No. 24/Pid.Prap/2018/PN. JS. karena telah mengintervesi wewenang Penyidik KPK dengan memperluas sendiri wewenang Praperadilan, pintanya.

Menurutnya, Jika Hakim Effendi Muktar menganggap ada Kekosongan Hukum untuk mengontrol Penyidik KPK dalam kerja penyidikan, maka terhadap kekosongan Hukum Acara dimaksud, hanya boleh diatasi dengan menciptakan hukum baru yaitu dengan UU atau dilakukan melalui Peraturan Mahkamah Agung berdasarkan ketentuan pasal 79 UU Mahkamah Agung, tegas Petrus.[ Tim OKE ]

Editor : Redaktur
Penanggung Jawab : Obor Panjaitan
Komentar

Berita Terkini