|

Awas Kroni Importir Bermain Data Pangan

Image result for pangan
Foto : Istimewa/net


JAKARTA | MEDIA NASIONAL OBOR KEADILAN |  Sejumlah kalangan memperingatkan agar pemerintah mewaspadai manuver kroni importir yang mempermainkan data produksi pangan, misalnya ketika petani menghadapi bencana alam, untuk meloloskan impor pangan.

Guna mempersempit peluang pihak-pihak tertentu mempermainkan data pangan tersebut, pemerintah diharapkan segera memperbaiki data pertanian nasional.

Guru Besar Ekonomi Pertanian UGM, Masyhuri, mengatakan perbaikan data pertanian nasional memiliki tiga masalah mendasar, yakni problem teknis, politik, dan hukum. “Hanya keputusan tegas Presiden yang bisa menerobos tiga masalah tersebut,” kata dia, saat dihubungi, Minggu (10/12).

Sebelumnya, anggota Komisi IV DPR, Firman Soebagyo, memperingatkan kemungkinan adanya pihak tertentu yang mempermainkan data produksi pertanian dengan tujuan untuk meloloskan impor pangan. “Jangan sampai saat produksi pangan kita surplus, data Kemendag (Kementerian Perdagangan) malah menyebut minus,” ungkap Firman.

Menurut dia, akal-akalan seperti itu bisa terjadi karena ada kepentingan terselubung untuk impor. Ada trik-trik atau oknum-oknum tertentu untuk memanfaatkan impor. Pelaku-pelaku dagang itu hendak mencari jalan pintas saja karena pangan merupakan bisnis yang menarik.

“Kemungkinan adanya permainan data pertanian karena orang-orang lama masih ada di Kementerian Perdagangan sehingga terjadi fund rising (penggalangan dana) untuk kepentingan politik.

Yang namanya impor-impor itu kan dipakai untuk kepentingan tertentu. Contoh tembakau, masa kita masih impor. Kenapa tidak berani kita batasi,” ujar Firman.

Terkait perbaikan data, Masyhuri menjelaskan problem teknis perbaikan data pertanian nasional, terutama terkait produktivitas hasil pertanian, bisa diselesaikan melalui teknologi penginderaan jauh. Hal itu tergantung pada kesiapan teknologi pemerintah.

Dia memaparkan selama ini produktivitas diukur secara manual oleh mantri pertanian di tingkat kecamatan sebagai penanggung jawab. Masalahnya ada pada perubahan luas area pertanian sehingga tidak mudah untuk menyinkronkan pelaporannya.

“Perbaikan secara manual masih bisa dimungkinkan hanya saja perlu evaluasi lebih mendalam lagi. Mau manual atau teknologi satelit, ini harus diputuskan,” tukas Masyhuri.

Problem kedua, lanjut dia, mengenai kendala politis terkait dengan kepentingan masing-masing kementerian. Keputusan tentang data akan berakibat pada seluruh keputusan kementerian, dan kepentingan pemerintah secara umum, yakni kepentingan politik menjelang pemilihan umum.

Masyhuri mengungkapkan sebelum pemilu, swasembada pangan sering menjadi isu politik untuk menggaet pemilih. Padahal, persoalan pangan adalah persoalan fundamental sebuah bangsa.

Persoalan politik juga terkait dengan problem hukum, misalnya terkait dengan jumlah subsidi yang disalurkan. Dengan luasan yang sekarang ini ada nilai subsidi bisa turun jika data jumlah pertanian menyusut.

“Itulah kenapa saya bilang semua bergantung pada keberanian dan ketegasan Presiden, karena soal data ini yang dipertaruhkan banyak sekali,” kata Masyhuri.


Terjebak Liberalisasi

Sementara itu, Sekretaris Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Agus Ruli Ardiansyah, mengatakan Indonesia sudah terjebak oleh liberalisasi perdagangan. Hal itu membuat kebijakan pemerintah di sektor pertanian tidak berpihak kepada petani nasional, termasuk dalam hal menetapkan harga pangan.

“Sungguh ironis, petani negara tetangga seperti Australia giat membudidayakan buah- asal Indonesia, misalnya manggis, rambutan, dan sirsak. Petani kita justru dimatikan oleh kebijakan pemerintah sendiri,” papar dia.

Contoh paling nyata kebijakan yang memiskinkan petani nasional adalah pembukaan keran impor pangan tanpa kendali. Tingginya impor pangan dengan harga murah karena disubsidi pemerintah negara eksportir memukul produk-produk pertanian Indonesia.

Agus memaparkan rendahnya kesejahteraan petani nasional tecermin dari data terakhir per Maret 2017 yang melaporkan kemiskinan di desa meningkat hingga mencapai 17,10 juta jiwa.

Fakta itu diperkuat oleh data yang menyebutkan daya beli petani tak kunjung meningkat. Nilai Tukar Petani (NTP) stagnan dalam dua dekade terakhir, tidak lebih dari 102. (KJ)

Editor : Obor Panjaitan
Komentar

Berita Terkini