|

Perwira Tinggi TNI AU MF Saksi Sidang Dugaan Korupsi Rp 738,9 Miliar Terkait Pengadaan Helikopter AW-101

Tiga prjaurit TNI AU termasuk perwira tinggi, Marsekal PErtama Fachri Adamy dihadirkan sebagai saksi dugaan korupsi pengadaan helikopter Agusta Westland (AW)-101 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Senin (7/11/2022). (KOMPAS.com/Syakirun Ni'am)

Media Nasional Obor Keadilan | Jakarta (8/11-2022),
Perwira Tinggi TNI Angkatan Udara (AU), Marsekal Pertama Fachri Adamy emosi saat dicecar jaksa KPK terkait surat dari Panglima TNI perihal Pembatalan Kontrak terkait Pengadaan Helikopter Agusta Westland (AW)-101 tahun 2016-2017.

Peristiwa ini terjadi saat Fachri dihadirkan sebagai saksi dugaan korupsi pengadaan helikopter angkut AW-101 yang menjerat Direktur PT Diratama Mandiri, Irfan Kurnia Saleh.

Fachri merupakan Kepala Dinas Pengadaan Angkatan Udara (Kadisadaau) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada tahun 2016. Saat ini ia menjabat sebagai Direktur Pusat Kelaikan Keselamatan Terbang dan Kerja TNI AU (Puslaiklambangjaau).

Mulanya, Jaksa menanyakan apakah Fachri pernah melihat Surat Panglima bernomor Nomor: B/4091/IX/2016

“Apakah saksi pernah melihat atau mengetahui adanya surat dari Panglima TNI AU yang isinya terkait pembatalan kontrak, tahu?” tanya Jaksa di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Senin (7/11/2022).

Merespons ini, Fachri mengaku mengetahui keberadaan surat tersebut. Ia bahkan menyebut salah satu disposisi surat itu ditujukan kepada dirinya.

"Fachri mengaku saat surat itu terbit ia sudah menjabat sebagai PPK."

Namun, saat Jaksa bertanya apakah surat tersebut memerintahkan agar kontrak pembelian AW-101 terus berlanjut.

“Ini apakah perintah kontrak show must goes on, tetep jalan?” tanya Jaksa.
Namun, Fachri justru menimpali Jaksa KPK dengan pertanyaan, alih-alih menjawab pertanyaan yang diajukan sebelumnya.

“Menurut Pak Jaksa itu perintah menghentikan atau saya melengkapi dokumen?” kata Jaksa.

Jaksa mengatakan pihaknya tidak bisa menjawab pertanyaan saksi, karena merekalah yang mengajukan pertanyaan.

“Saya enggak bisa (menjawab), saya bertanya,” kata Jaksa.

Menanggapi ini, Fachri terdengar emosi. Ia bahkan meminta Jaksa tidak memandangnya seakan-akan bodoh.

"Bapak jangan menanya seolah-olah saya bodoh gitu loh,” kata Fachri dengan emosi."

“Surat itu tidak ada memerintahkan untuk menghentikan pekerjaan,” sambungnya.

Menengahi hal ini, Ketua Majelis Hakim Tipikor Jakarta Pusat, Djuyamto mengingatkan bahwa persidangan berisi argumentasi hukum.

Ia meminta komunikasi Fachri dalam persidangan dilakukan dengan baik.

“Kalau saudara memang tidak berkenan ya cukup,” kata Djuyamto.

Fachri kemudian menuruti peringatan Djuyamto. Ia kemudian meminta maaf. Perwira Tinggi itu kemudian mengaku telah menahan persoalan ini selama lima tahun.

“Lima tahun saya menahan ini, Pak,” ujar Fachri.

Jaksa KPK lantas mengatakan bahwa mereka hanya ingin mengajukan pertanyaan. Jaksa mengaku memahami apa yang dirasakan Fachri sebagai orang tua.

“Saya juga memahami bapak sebagai orang tua,” ujar Jaksa.

Sebagai informasi, Jaksa mendakwa Irfan membuat Negara merugi Rp 738,9 miliar. Selain itu, Jaksa juga menyebut kasus ini menyangkut sejumlah pejabat TNI AU, termasuk mantan Kepala Staf TNI AU (KSAU) Marsekal (Purn) Agus Supriatna.

Agus disebut mendapatkan jatah Rp 17.733.600.000 yang disebut sebagai dana komando atau cashback 4 persen dari pembayaran termin pertama tersebut.

Selain mendakwa Irfan merugikan negara miliaran rupiah, Jaksa juga mendakwanya memperkaya diri sendiri sebesar Rp 183.207.870.911

Kemudian, memperkaya mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal (purnawirawan) Agus Supriatna sebesar Rp 17.733.600.000 atau Rp 17,7 miliar.

Kemudian, memperkaya korporasi yakni Agusta Westland sebesar 29.500.000 dollar Amerika Serikat atau Rp 391.616.035.000 dan perusahaan Lejardo. Pte.Ltd sebesar 10.950.826,37 dollar Amerika Serikat atau senilai Rp 146.342.494.088,87.

Irfan didakwa dengan Pasal 2 ayat (1) subsider Pasal 3 Juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. [*]

Ralat dan revisi akibat kesilapan pada Judul awal, pada pukul 12.23 wib 

Sumber: Kompas 
Editor, Penanggungjawab berita
Obor Panjaitan



Komentar

Berita Terkini