Rakyat Menggugat : Perpres 20/2018 Sebagai Bentuk Pengkhianatan Terhadap NKRI
Media Nasional Obor Keadilan | Datangnya tenaga kerja asing (TKA) ke Indonesia yang semakin hari semakin banyak seolah tak henti-hentinya menjadi sorotan masyarakat. Perpes nomor 20 tahun 2018 tentang TKA yang bertujuan mempermudah proses administrasi TKA untuk masuk ke Indonesia seolah mendapat kecaman dari rakyat Indonesia sendiri. Bagaimana tidak, dengan dalih pemerintah bahwa hal tersebut bertujuan untuk investasi dengan catatan, TKA yang datang adalah TKA dengan level high skill dan menempati posisi-posisi tertentu yang tidak bisa dikerjakan oleh TKI sendiri. Namun faktanya banyak posisi-posisi yang tidak seharusnya bisa diisi dengan TKI malah justru dikerjakan oleh TKA.
Fakta tersebut membuat masyarakat semakin geram terhadap keputusan presiden terkait dengan TKA di Indonesia. Mentri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri mencoba memberi penjelasan bahwa jumlah TKA yang berasal dari China tidak sebanding dengan jumlah TKI yang berada di China. Hanif yang ditemui dalam diskusi forum Merdeka Barat 9 di Kementrian Komunikasi dan Informatika pada Senin (23/4/2018) mengatakan bahwa bukan TKA China yang menyerang Indonesia akan tetapi TKI-lah yang menyerang China. Mengutip dari Kompas.com (23/4/2018), hal tersebut dijelaskan oleh Hanif karena merujuk pada data world bank dan badan pusat statistik (BPS) mengenai jumlah TKI di beberapa negara, dengan sebaran paling banyak di Malaysia (55 persen), Saudi Arabia (13 persen), China (10 persen), Hongkong (6 persen) dan Singapura (5 persen). Dengan kata lain bahwa ada lebih dari 150.000 TKI di Hongkong, 20.000 di Taiwan, dan 20.000 TKI di Makau. Sementara jumlah TKA asal China yang bekerja di Indonesia per akhir 2017 hanya 24.800 orang.
Banyaknya jumlah TKI yang berada di China dan negara lain bukan tak memiliki alasan. Hal ini dikarenakan di Indonesia sendiri sangat sulit mendapatkan pekerjaan sehingga banyak TKI yang kemudian menyerbu negara lain untuk memperoleh pekerjaan. Akan tetapi, alasan jumlah TKI yang lebih banyak tersebut harusnya tidak lantas membuat pemerintah seolah mendapatkan pembenaran atas mudahnya akses masuk TKA ke Indonesia. Pemerintah harusnya menyadari bahwa mayoritas pekerjaan yang dilakukan oleh TKI di China dan negara lain adalah sebagai pekerja rumah tangga, mengurus anak atau mengurus lansia, tidak seperti TKA yang datang ke Indonesia untuk menempati posisi-posisi petinggi di sebuah perusahaan bahkan seolah berkuasa di negara Indonesia.
Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Mirah Sumirat, Direktur Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia pada (24/04/2018) bahwa mayoritas TKI di China mengerjakan pekerjaan rumah tangga atau menjadi pembantu rumah tangga, dimana pekerjaan tersebut sudah tidak ada yang ingin mengerjakan kecuali TKI. Dalam pertemuan tersebut, Mira juga menyampaikan hasil pengamatannya terhadap salah satu perusahaan yang ada di Konawe, Sulawesi Tenggara, dimana perusahaan tersebut memiliki 30 orang TKA dan 8 orang TKI, dengan bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa China, bahkan pekerja Indonesia yang bekerja pada perusahaan tersebut diajari bahasa China. Lebih parahnya lagi, pekerja Indonesia setiap hari diperintah untuk melayani TKA dengan mengambilkan makanan, dan lain-lain.
Data lain juga disampaikan oleh Ombudsman (dikutip dari Republika.co.id pada 30/04/2018). Menurut hasil investigasi yang dilakukan oleh Ombudsman pada Juni-Desember 2017 di tujuh provinsi yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Sulawesi Tenggara, Papua Barat, Sumatera Utara dan Kepulauan Riau, TKA paling banyak ditemui di sektor pembangunan smelter dan kontruksi. Parahnya lagi, 90 persen TKA bertopi kuning atau berada pada posisi buruh. Selain itu, Ombudsman juga menyampaikan bahwa TKA yang menjadi buruh kasar ada dimana-mana, di Morowali ada sekitar 200 orang yang menjadi sopir.
Berkaca dari fakta tersebut, pantas kiranya kalau rakyat mulai mempertanyakan Indonesia ini sebenarnya milik siapa. Bagaimana tidak, di negara asing, tenaga kerja Indonesia menjadi pesuruh dengan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mengurus anak dan lansia. Lalu, di negara sendiri pun rakyat Indonesia tetap saja menjadi pesuruh, menjadi kaki tangan TKA yang harusnya bersikap sopan dan selayaknya tamu karena bekerja di Indonesia. Di negara asing tenaga kerja idonesia berkomunikasi menggunakan bahasa asing, di negara sendiri pun rakyat yang berkeja dengan TKA diajarkan berkomunikasi memakai bahasa asing. Bukan hanya lapangan pekerjaan yang mulai dikuasi oleh Asing, bahkan bahasa persatuan yakni bahasa Indonesia pun mulai terkikis dengan bahasa Asing. Perpes 20/2018 mempermudah administrasi TKA masuk ke Indonesia sedangkan untuk mengurus berkas administrasi pekerjaan, butuh waktu berbulan-bulan bagi rakyat untuk mendapatkannya.
Sebenarnya, negara Indonesia ini milik siapa? Apakah milik rakyat yang seolah terus saja dibelenggu kesulitan di negara sendiri, ataukah milik asing yang datang ke Indonesia kemudian menjadi raja? Pasalnya, mengutip dari Repubika.co.id pada 26/04/2018, sesuai dengan temuan Ombudsman bahwa TKA dibayar dengan gaji tiga kali lipat dari tenaga kerja lokal. Hal ini jelas saja merupakan hal wajar apabila gaji sebesar tiga kali lipat tersebut diberikan pada TKA dengan level supervisor atau manajer, akan tetapi faktanya banyak TKA yang juga mengerjakan pekerjaan kasar atau dengan kata lain bertopi kuning.
Banyak penderitaan rakyat Indonesia baik di dalam ataupun di luar negeri. Tidak sedikit kasus tentang ketidak adilan terhadap TKI di luar negeri terungkap ke permukaan akan tetapi hampir setiap tahun ada saja kejadian yang sama terulang lagi. Salah satunya yang masih hangat di ingatan kita adalah kasus nahas yang menimpa salah satu TKI Indonesia yang bekerja di Malaysia, Adelina. Adelina meninggal dunia pada Februari lalu dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Mendapat kekerasan dari majikan, malnutrisi bahkan mendapatkan tempat tidur di luar rumah bersama anjing peliharaan. Hal ini sudah tentu di luar kemanusiaan namun kasus yang terjadi pada Adelina ini bukanlah satu-satunya kasus yang mengungkapkan sisi gelap dan penderitaan TKI di luar negeri. Demi mencari sesuap nasi, banyak TKI yang memilih jauh dari keluarga dan menjadi pesuruh di negara asing. Demi sesuap nasi, TKI bekerja dan banyak yang harus berakhir dengan meregang nyawa.
Tidak hanya penderitaan TKI yang berada di luar negeri, nasib pekerja lokal yang bekerja di tanah sendiri pun masih bisa dikatakan jauh dari kata sejahtera. Mengutip dari m.liputan6.com pada 29/4/2018, berdasarkan Lembar Fakta Buruh Sawit 2018 yang dirilis Koalisi Buruh Sawit pada awal 2018, mengungkapkan dua permasalahan utama yang dihadapi buruh sawit, yaitu terkait penegakan hukum yang lemah karena pembiaran terjadinya eksploitasi buruh sawit akibat dari target kerja terlampau tinggi dan tidak manusiawi. Seperti yang banyak dikeluhkan, upah buruh masih terhitung sangat murah dan tidak sesuai dengan peraturan dan beban kerja yang menjadi tanggung jawab mereka. Banyak pekerja yang tidak memiliki jaminan kesehatan serta banyak anak-anak di bawah umur yang menjadi pekerja kasar. Lagi-lagi demi sesuap nasi yang sulit didapatkan di negara sendiri, rakyat terlunta-lunta mencari pekerjaan bahkan meski upah dan beban kerja tak sesuai serta tak ada jaminan kesehatan. Segala macam pekerjaan mulai dari mengayuh becak, buruh kelapa sawit bahkan ojek online pun dilakukan oleh rakyat hanya untuk mengantongi rupiah demi tercukupinya kebutuhan sehari-hari.
Perpres 20/2018 seolah menjadi pintu yang terbuka lebar untuk asing datang dan mengambil manfaat dari negara Indonesia. Dengan gaji yang tinggi tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa para TKA akan kembali lagi ke Indonesia meski sesuai kontrak mereka hanya diberi jangka waktu 2 tahun, hal ini dikarenakan sesuai dengan perpres bahwa masa kontrak bisa diperpanjang. Berbeda halnya dengan nasib rakyat yang akan tetap saja sengsara, karena untuk mendapatkan gaji yang tinggi, tenaga lokal harus bekerja sungguh-sungguh dengan mengerahkan segala kemampuan dan itupun gaji yang didapat masih berada jauh di bawah jumlah besar gaji tenaga asing, padahal belum tentu semua pekerja lokal memiliki kemampuan yang berada di bawah tenaga asing.
Jika memang tujuan pemerintah memudahkan akses TKA masuk ke Indonesia ini benar-benar untuk rakyat, maka pemerintah harusnya benar-benar mengawasi bagaimana tujuan itu berjalan. Pemerintah diharapkan tetap mampu memprioritaskan kesejahteraan rakyat yang salah satunya dengan membuka banyak lapangan pekerjaan agar mampu meningkatkan pendapatan rakyat dan mengurangi jumlah pengangguran. Meski dengan ditandatanganinya perpres 20/2018, diharapkan pemerintah tidak lemah dan membiarkan asing menguasai Indonesia, seharusnya transfer ilmu pengetahuan dari asing ke tenaga lokal benar-benar harus berjalan yang tentunya hal ini juga membutuhkan pengawasan dari pemerintah. Transfer ilmu tersebut diharapkan mampu meningkatkan dan mengembangkan skill tenaga lokal sehingga tidak dibutuhkan TKA lebih banyak untuk membagun negara sendiri. Bukankah lebih baik bekerja di negara sendiri dari pada di negara asing? Bukankah lebih baik negara ini dibangun bersama rakyat dari pada terus-menerus menggunakan kinerja asing?(Zeyn Ar-Rahman)
Penanggung Jawab : Obor Panjaitan