|

Fenomena Kotak Kosong di Pilkada Deli Serdang Bentuk Gagalnya Perkaderan Parpol

Ket. Gambar : Fenomena Kotak Kosong Di Pilkada Serentak 2018

MEDIA NASIONAL OBOR KEADILAN | DELI SERDANG -SUMUT , ( MINGGU, 4/ 02 20018 ) Pelaksanaan Pilkada Serentak 2018 diwarnai fenomena munculnya calon tunggal melawan kotak kosong. Setidaknya ada 12 daerah yang berpotensi pasangan calon akan melawan kotak kosong, salah satu daerahnya adalah Kabupaten Deli Serdang.
Direktur Bhinneka Institute Ridwan Darmawan menilai, munculnya 11 pasangan calon hanya melawan kotak kosong memiliki tiga indikasi. Indikasi pertama, gagalnya pengkaderan partai politik dalam menyiapkan kader-kader terbaiknya di suatu daerah untuk muncul dan maju sebagai calon kepala daerah.
Kedua, setelah gagal menciptakan kader-kadernya di wilayah, partai akhirnya bersikap instan mengambil tokoh yang sudah populer, punya uang, lebih-lebih yang sudah memegang infrastruktur atau jabatan politik.
Ketiga, realistis. Pada akhirnya, di penghujung masa pendaftaran, partai politik bersikap realistis dengan realita politik yang ada, guna memenuhi pencalonan di daerah agar tidak ketinggalan gerbong kereta koalisi.
Kendati begitu, Ridwan menilai peristiwa ini jangan sampai dibiarkan berlarut-larut karena bisa menciptakan dinasti, korupsi, dan partisipasi politik yang rendah di masyarakat. Di beberapa partai politik sudah terdapat pelatihan kader, dari pemula hingga utama.
"Tinggal dimaksimalkan, dikuatkan konsepnya, dan yang utama adalah konsisten," kata pengamat Politik dari UIN Jakarta ini, saat diwawancarai awak media Januari lalu.
Muhammad Najib (Tokoh Muda Deli Serdang) saat dihubungi via seluler untuk dimintai tanggapannya mengenai fenomena calon tunggal melawan kotak kosang pada hari Sabtu (3/2/2018), Najib mengatakan demokrasi kotak kosong pertama kali nya terjadi di Deli Serdang. "Seyogianya proses pencalonan yang berujung pada calon tunggal merupakan kondisi kedaruratan, sebuah kondisi ketika sudah benar-benar tidak ada calon lain yang layak. Namun, ternyata situasi yang sebetulnya darurat itu cenderung semakin banyak terjadi,"  imbuh Najib.
Kehidupan berdemokrasi di Tanah Air terus mengalami perkembangan yang dinamis. Perbaikan demi perbaikan dilakukan dengan memetik pengalaman di masa lalu. Pun demikian dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Kemandekan hukum yang disebabkan tidak diperbolehkannya calon tunggal dalam pilkada dipecahkan Mahkamah Konstitusi. Pilkada tetap bisa berlanjut meski hanya ada satu pasangant calon yang maju dengan melawan kotak kosok atau kolom kosong. Hal itu kemudian diatur dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
"Publik cukup bisa bernapas lega saat Undang-Undang Pilkada mengatur pilihan lain bagi warga selaku penentu akhir pemilihan kepala daerah. Calon tunggal harus mendapatkan lebih dari 50% suara untuk bisa terpilih. Pemegang hak suara boleh mencoblos kolom atau kotak kosong jika tidak ingin calon tunggal itu meraih kemenangan," terang Najib.

"Meski ada saluran 'kotak kosong', masyarakat sesungguhnya berada di posisi yang merugi. Ketika calon tunggal menang, pemimpin yang didapat belum tentu yang terbaik karena ketiadaan kompetisi. Sebaliknya, saat 'kotak kosong' menang, untuk sementara daerah dipimpin pejabat yang memiliki kewenangan terbatas. Pilkada ulang harus diselenggarakan hingga terpilih kepala daerah definitif. Lingkaran setan bisa tercipta karena calon tunggal yang kalah tetap boleh maju kembali menjadi calon. Fenomena calon tunggal ini berakar dari kegagalan partai politik menjalankan fungsi perkaderan. Parpol juga cenderung bersikap pragmatis dan memilih calon instan atau populer karena takut kalah, " tegas Najib.
Tambah Najib "Ketika calon tunggal yang tampil merupakan sosok pemimpin yang berintegritas dengan kinerja yang unggul, tentu tidak terlampau merisaukan. Akan tetapi, terbuka pula kemungkinan bahwa calon itu merupakan hasil kongkalikong disertai politik uang. Tujuannya jelas, demi mengamankan kekuasaan, patutkah kita berharap kepala daerah yang didapatkan dari hasil kolusi tersebut bakal mengelola pemerintahan dengan bersih? Yang sangat mungkin terjadi ialah pemerintahan akan berjalan seperti di salah satu Kabupaten di Jawa Tengah, setiap jabatan diberi label harga, tiap proyek ada tarifnya, hasilnya masuk kantong pribadi atau kelompok," tandas Najib.
"Belakangan muncul kampanye 'kotak kosong' di Kabupaten Deli Serdang,  yang merupakan salah satu daerah dengan calon tunggal. Gerakan yang kian kuat itu mengindikasikan aspirasi yang tidak tersalurkan. Lagi-lagi melibatkan salah satu fungsi parpol sebagai penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi masyarakat bila parpol tidak mampu menjalankan fungsi, kehadiran mereka tidak diperlukan, sudah selayaknya parpol itu ditinggalkan untuk beralih ke parpol yang tidak malas mendidik kader dan aspiratif, kuasa itu sepenuhnya ada di tangan rakyat dan mari kita dukung pilkada Deli Serdang ini untuk tidak golput tadi tetap berpartisipasi dengan mendukung Kotak Kosong," terang Najib.[●●]
Komentar

Berita Terkini