|

“Janji di Atas Puing: Krisis PT Sritex dan Retorika Wamenaker Noel yang Runtuh”

Me
dia Nasional Obor Keadilan | Jakarta (1 Februari 2025), Pada 8 Januari 2025, Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer Gerungan—atau Noel—menginjakkan kaki di PT Sritex, raksasa tekstil di Sukoharjo yang pernah menjadi tulang punggung ribuan keluarga. Di hadapan karyawan yang menatap penuh harap, ia bersorak keras: “Tidak akan ada PHK.” Janji itu menggema, disambut sorak sorai, mungkin juga harapan kecil untuk masa depan yang lebih cerah. Namun, dua bulan kemudian, realitas menyapu bersih optimisme itu. Per 26 Februari 2025, ribuan pekerja resmi diputus hubungan kerja (PHK). Hari terakhir mereka menginjakkan kaki di pabrik adalah 28 Februari, sebelum PT Sritex menutup gerbangnya secara permanen pada 1 Maret 2025—hari ini, saat kita menulis kisah ini.

Kolapsnya PT Sritex bukanlah kejutan mendadak. Tekanan ekonomi global, mismanajemen, dan ketidakmampuan beradaptasi telah lama menggerogoti perusahaan ini. Tapi, di balik narasi perusahaan bangkrut, ada cerita lebih pahit: nasib buruh yang terabaikan. Meski buruh Sritex pernah menyuarakan dukungan politik—seperti terlihat dalam aksi massa yang mendukung Gibran, seperti yang dilaporkan media—janji pemerintah tetap tak mampu menyelamatkan mereka dari surat PHK yang datang tanpa ampun. Sorotan kini tertuju pada Noel, yang di podium PT Sritex pernah menyatakan, “Saya lebih baik kehilangan jabatan saya, daripada saya melihat kawan-kawan buruh harus dipecat.” Kutipan itu, viral di media sosial melalui akun
@yusufdumdum
pada 28 Februari 2025, kini terdengar seperti ironi pahit. Dengan 59 ribu tayangan, 123 posting ulang, dan 408 suka, posting itu mencerminkan kemarahan publik yang membesar.
“Hallo Noel! Mana janjimu?” seruan itu bergema di X, menjadi simbol kekecewaan kolektif. Di balik setiap PHK, ada ribuan keluarga yang kehilangan mata pencaharian, di balik setiap janji, ada kepercayaan yang tercabik. Posting
@yusufdumdum
, lengkap dengan foto Noel berbicara di hadapan buruh dengan spanduk PT Sritex di latar belakang, menyoroti kontradiksi yang memilukan. Apakah Noel benar-benar tak tahu nasib PT Sritex sudah di ujung tanduk saat ia berbicara? Jika ya, mengapa janji itu dilontarkan—seperti “omon-omon” yang hanya meredam keresahan sesaat? Jika tidak, maka kompetensi dan koordinasinya dengan pemangku kepentingan jelas dipertanyakan.
Berikut Video Noel melontar Janji dihadapan Buruh PT Sritex Namun, di tengah puing-puing harapan yang runtuh, ada panggilan untuk perubahan. Kolaps PT Sritex bukan hanya akhir, melainkan cermin bagi pemerintah: retorika tanpa aksi nyata hanya akan melahirkan distrust. Publik berhak menuntut jawaban, tapi juga berhak mengawal solusi. Noel dan Kemnaker kini dihadapkan pada ujian nyata: bukti konkret seperti pelatihan ulang, insentif wirausaha, atau program bantuan bagi pekerja terdampak. Bagi masyarakat, momen ini adalah kesempatan untuk tak hanya mengkritik, tetapi juga mendorong kebijakan yang memihak rakyat kecil. Sebab, dari reruntuhan Sritex, kita bisa membangun kembali kepercayaan—jika semua pihak mau bergerak.
Krisis PT Sritex adalah luka bagi buruh, tapi juga pelajaran bagi bangsa. Janji di atas podium, jika tak diimbangi aksi, hanyalah angin lalu yang menyisakan kepahitan. Obor Keadilan menyuarakan: keadilan sejati bukanlah kata-kata manis, melainkan nafas kehidupan bagi mereka yang terpinggirkan. Semoga suara buruh Sritex tak lagi tenggelam dalam retorika kosong.

Catatan:

  • “‘Hallo Noel! Mana janjimu?’ Buruh PT Sritex bertanya, tapi jawaban hilang bersama tutupnya pabrik 1 Maret 2025. Retorika atau realitas—siapa yang benar-benar peduli? Stay tuned di Obor Keadilan untuk kisah penuh, emosi, dan aksi nyata untuk rakyat! 
  • #BuruhBerjuang 
  • #SritexPHK”


Komentar

Berita Terkini