|

Pengusutan Kasus Meninggalnya Alm Firullazi Harus Diungkap Secara Transparan dan Akuntabel!

Aparat Kepolisian Lampung dan Sumsel diduga melakukan penyiksaan hingga menyebabkan hilangnya nyawa!

Pada akhir Januari 2023 di Muara Penimbung Ilir, Sumatra Selatan, Alm. Firullazi diduga mengalami penyiksaan oleh aparat Kepolisian Lampung dan Sumsel yang berujung kematian/Oborkeadilan.com
Media Nasional Obor Keadilan| Jakarta, Sabtu (25/2-2023), Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam berulangnya peristiwa dugaan tindak penyiksaan hingga menyebabkan seseorang meninggal dunia, yang diduga dilakukan oleh Tim Gabungan Aparat Kepolisian Lampung dan Sumatera Selatan terhadap Alm. Firullazi (42) pada hari kamis, 26 Januari 2023 lalu di Muara Penimbung Ilir, Kecamatan Indralaya, Ogan Ilir, Sumatera Selatan atas tuduhan telah melakukan pencurian disertai dengan pembunuhan.

Berdasarkan informasi dan kronologi yang kami himpun, mulanya korban ditangkap secara paksa oleh Tim Gabungan Kepolisian Lampung dan Sumatera Selatan menggunakan 4 kendaraan sepeda motor di Mushola saat korban sedang melaksanakan ibadah sholat maghrib sekitar pukul 18.16 WIB. Kemudian dalam waktu yang sama, tanpa menunjukkan surat tugas dan surat penggeledahan, sekitar 5 mobil datang menuju rumah korban untuk menggeledah rumah tersebut dengan meletupkan senjata api yang diarahkan ke atas. Dengan kalimat intimidatif, salah satu anggota kepolisian sempat mengancam dengan menyampaikan kepada istri korban bahwa suaminya akan dipastikan hanya jasad yang akan pulang.

Keesokan harinya pada hari Jumat 27 Januari 2023 pukul 15.00 WIB, melalui pemberitaan media sosial, keluarga korban mendapat kabar bahwa suaminya dinyatakan telah meninggal. Kemudian, jenazah korban kembali dipulangkan ke rumah duka menggunakan mobil ambulance tanpa disertai surat keterangan penyebab meninggalnya korban. Sesampainya jenazah di rumah, keluarga korban menduga meninggalnya almarhum diduga mengalami serangkaian tindak penyiksaan. Hal ini tampak dari adanya luka-luka yang tidak wajar seperti lebam di sekujur tubuh korban, hidung patah, bibir pecah, telinga berdarah, muka bagian kiri korban memar, tangan memar, tubuh bagian belakang memar, dengkul bagian kanan patah, pergelangan kaki kanan dan kiri patah dan remuk, hingga tidak sedikit terdapat luka bekas sundut api rokok pada tubuh korban.

Berdasarkan keterangan di atas, kami menilai bahwa diduga kuat telah terjadi praktik penyiksaan terhadap Alm. Firullazi dalam proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Tim Gabungan Aparat Kepolisian tersebut. Kami menilai penggunaan cara-cara penyiksaan dalam agenda pemolisian tidak diperkenankan dalam bentuk dan dalam situasi apapun. Apabila terjadi tindakan penyiksaan, maka dapat dipastikan telah terjadi pelanggaran terhadap hukum pidana, instrumen HAM, hingga prosedur pemeriksaan dan pengamanan oleh anggota Polri dalam penanganan kasus dugaan kejahatan terhadap korban.

Dalam peraturan internal Kepolisian, larangan tindakan penyiksaan telah diatur dengan jelas melalui Perkap Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Pasal 11 ayat (1) huruf b yang menyatakan bahwa “Setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan: penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan”. Selanjutnya, sistem hukum dan HAM internasional pun telah mengatur mengenai larangan praktik penyiksaan melalui Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Dalam peraturan domestik, Indonesia telah mengatur lebih lanjut mengenai hak untuk bebas dari praktik penyiksaan dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiannya”.

Kami menilai, apabila proses hukum terhadap pelaku penyiksaan berujung kematian ditempuh melalui mekanisme penyelidikan/penyidikan berdasarkan fakta-fakta hukum yang terjadi, maka menurut kami pasal yang tepat untuk disangkakan terhadap pelaku adalah Pasal 338 KUHP yang menyebutkan bahwa “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang dihukum karena bersalah melakukan pembunuhan dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun”.

Disamping itu, kami mengecam penolakan pengusutan kasus oleh aparat kepolisian Polsek Indralaya. Berdasarkan informasi yang kami peroleh, pihak keluarga korban sempat meminta jenazah untuk divisum kepada pihak Polsek Indralaya demi memperoleh keterangan lebih lanjut terkait dugaan tindak pidana penyiksaan yang mengakibatkan mati. Namun permintaan ini justru ditolak dengan alasan bukan wewenang dari Polsek tersebut. Melalui keterangan tersebut mencerminkan ketidakberpihakan aparat penegak hukum kepada keluarga korban dan seolah-olah cenderung menghalang-halangi proses pengungkapan fakta dugaan tindak pidana penyiksaan terhadap korban. 

Selanjutnya kami juga mendesak pengusutan kasus ini dilakukan secara profesional, transparan dan akuntabel. Pengusutan kasus ini penting dilakukan secara terbuka guna memitigasi kecenderungan aparat melindungi aktor dugaan tindakan kejahatan penyiksaan mengakibatkan mati Alm. Firullazi. Kami menilai, penghukuman yang maksimal juga penting untuk dilakukan terhadap pelaku penyiksaan, sebab, peristiwa-peristiwa semacam ini sering kali kami temukan dalam beberapa kasus. Beberapa diantaranya misalnya kasus penyiksaan hingga menyebabkan meninggalnya Alm. Hermanto yang terjadi di Lubuklinggau pada 12 Februari 2022 lalu. Kami juga menilai pemberian hukuman yang maksimal tersebut dapat memberikan efek jera terhadap pelaku agar peristiwa serupa tidak kembali terjadi di kemudian hari.

Atas dasar penjelasan yang telah kami uraikan di atas, kami mendesak:

Pertama, Kapolres Ogan Ilir memerintahkan jajarannya untuk segera melakukan rangkaian penyelidikan dan penyidikan kasus dugaan tindak penyiksaan berujung kematian Alm. Firullazi. Mengingat kasus ini memiliki dimensi pidana dan etik, kami mendesak proses pengadilan kedua mekanisme tersebut dijalankan berdasarkan ketentuan perundang-undangan;

Kedua, Polda Sumatera Selatan untuk menaruh perhatian khusus terhadap proses pengusutan kasus ini dan memberikan informasi seluas-luasnya bagi keluarga korban secara berkala atas proses pengusutan yang sedang berjalan;

Ketiga, Komnas HAM untuk proaktif melakukan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran HAM yang terjadi dalam peristiwa tersebut.


Jakarta, 21 Februari 2023

Sumber: Badan Pekerja KontraS

Fatia Maulidiyanti, S.IP.

Koordinator

Narahubung: 0895-7010-27221


Komentar

Berita Terkini