|

Anang Iskandar: Penyidik Narkotika Harus Menahan Nafsu Untuk Menangkap Penyalah Guna Narkotika

Foto Ilustrasi 

MEDIA NASIONAL OBOR KEADILAN | JAKARTA | Jum'at (25/09-2020) - Biaya rehabilitasi penyalah guna menjadi tanggung jawab sosial orang tua, kalau penyalah guna sebagai penderita sakit adiksi ketergantungan narkotika, namun bila penyalah guna ditangkap oleh penyidik narkotika, dituntut dan diadili maka biaya rehabilitasi ditanggung pemerintah.

Oleh karena itu kalau pemerintah ingin berbagi tanggung jawab biaya rehabilitasi, pemerintah harus  menahan nafsu penyidik narkotika untuk menangkap perkara kepemilikan narkotika dengan jumlah terbatas untuk sehari pakai dengan tujuan untuk  dikonsumsi sendiri.

Kenapa harus menahan nafsu  ? Karena perkara narkotika terjadi tergantung keaktifan penyidik, tanpa keaktifan penyidik tidak akan ada perkara narkotika kecuali karena penyerahan perkara.

Oleh karena itu saya mengamini pernyataan WAKAPOLRI setelah rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR bahwa penangkapan terhadap pengguna akan dikurangi, pengguna lebih tepat direhabilitasi (Gema nusantara anti narkoba, senin 14/9/20).

Penyalah guna narkotika berdasarkan UU narkotika memiliki tiga peran, pertama sebagai orang sakit adiksi ketergantungan narkotika, kedua sebagai korban kejahatan narkotika dimana pengedar sebagai pelaku kejahatannya dan ketiga sebagai pelaku kejahatan penyalahgunaan narkotika.

Sebagai orang sakit ketergantungan narkotika maka orang tua berkewajiban untuk menyembuhkan anaknya yang menderita sakit, layaknya bila ada keluarga yang sakit, biayanya ditanggung sendiri.

Sebagai korban kejahatan peredaran narkotika maka negara berkewajiban mencegah, melindungi, menyelamatkan dan menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi melalui program wajib lapor ke lembaga yang ditunjuk agar sembuh/pulih (pasal 55).

Biaya rehabilitasinya menjadi tanggungan pemerintah, melalui anggaran Kemenkes dan Instansi pengemban fungsi rehabilitasi terkait.

Sebagai pelaku kejahatan penyalahgunaan narkotika maka pemerintah melalui aparat penegak hukum berkewajiban untuk menjamin penyalah guna direhabilitasi pada semua tingkat pemeriksaan dan sanksi rehabilitasinya.

Biaya ditanggung pemerintah melalui anggaran Kemenkes dan instansi pengemban fungsi rehabilitasi terkait.

Menurut catatan saya, strategi penanggulangan narkotika berdasarkan UU narkotika mewajibkan keluarga atau orang tua terlibat langsung dalam menanggulangi masalah penyalahgunaan narkotika sebagai langkah premium mendahului kewajiban penegak hukum.

Kenapa, sebagai sebagai langkah premium mendahului kewajiban penegak hukum ?  Karena orang tua yang sengaja tidak melaporkan anaknya yang jadi penyalah guna / pecandu  untuk mendapatkan perawatan/rehabilitasi diancam dengan 6 bulan pidana kurungan (pasal 128).

Sedangkan aparat penegak hukum tidak diberi sanksi apapun apabila tidak melakukan penangkapan, dan membawa ke pengadilan.

Ini artinya penegak hukum, khususnya penyidik tidak boleh kerajinan melakukan penangkapan terhadap penyalah guna mendahului kewajiban orang tua untuk menyembuhkan anaknya yang menjadi penyalah guna atau pecandu dalam menanggulangi penyalahgunaan narkotika.

Penangkapan dilakukan oleh penyidik sebagai upaya terakhir untuk mendukung orangtua dan program pemerintah berupa wajib lapor (pasal 55). Kalau terpaksa dilakukan penangkapan maka penangkapan tersebut sifatnya rehabilitatif.

Rehabilitasi sebagai proses penyembuhan.

Rehabilitasi berdasarkan UU narkotika dilakukan secara berkesinambungan antara rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Rehabilitasi secara medis sebagai proses penyembuhan atau pemulihan bertujuan untuk membebaskan penyalah guna / pecandu dari ketergantungan narkotika.

Sedangkan rehabilitasi secara sosial bertujuan agar bekas penyalah guna / pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masarakat.

Rehabilitasi dilakukan di rumah sakit atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk Menteri Kesehatan. Rehabilitasi, juga dapat dilakukan oleh masarakat melalui pendekatan agama dan tradisional (pasal 57).

Atas dasar pasal 57 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, masarakat bisa diberdayakan untuk membangun rehabilitasi secara mandiri tanpa menggunakan anggaran pemerintah.

Pertanyaannya, kenapa masarakat tidak diberdayakan dan didorong untuk merehabilitasi penyalah guna dengan pendekatan agama dan tradisional secara swadaya masarakat ? 

Rehabilitasi pendekatan agama dan tradisional sudah pernah tumbuh di indonesia tetapi karena pemerintah diam ketika penyalah guna ditangkap dan ditahan, dituntut serta dijatuhi hukuman penjara.

Akibatnya lembaga rehabilitasi khususnya yang menggunakan pendekatan agama dan  tradisional berangsur angsur termarginalkan padahal eksistensinya sangat diharapkan oleh pemerintah.

Sebagai contoh pondok pesantren Suralaya Tasikmalaya, lembaga rehabilitasi di Sibolangit, lembaga masarakat yang tumbuh di sekitar tugu prokalamasi, pondok Ilir ilir Bekasi yang melayani rehabilitasi secara gratis saja kesulitan mendapatkan input penyalah guna/pecandu untuk direhabilitasi.

Lembaga rehabilitasi dengan pendekatan agama dan tradisional termaginalkan karena orang tua penyalah guna dan penyalah gunanya takut.

Ketakutan masarakat tersebut karena penyalah guna yang ditangkapi oleh aparat penegak hukum dilakukan penahanan selama pemeriksaan dan dijatuhi hukuman penjara.

Rehabilitasi juga bisa dilakukan dilingkungan keluarga yang anggota keluarganya menjadi penyalah guna / pecandu dengan sarat, ada anggota keluarga yang dilatih menjadi konselor adiksi narkotika.

Rehabilitasi itu simple, tidak sulit dan tidak memerlukan biaya besar, yang diperlukan ketrampilan menghadapi penyalah guna sebagai orang sakit adiksi ketergantungan narkotika.

Berbeda kalau penyalah guna /pecandunya sudah mendapatkan dampak buruk akibat penyalahgunaan narkotika, yang memang memerlukan rawat inap.

Pengawasannya juga cukup simpel, orang tua diberdayakan untuk mengawasi anaknya yang sakit adiksi narkotika agar sembuh. Orang tua diwajibkan melapor ke Lembaga rehabilitasi bila belum sembuh, kalau tidak orang tua diancam 6 bulan pidana kurungan (Pasal 128).

Rehabilitasi sebagai upaya paksa dan hukuman. 

Rehabilitasi sebagai bentuk upaya paksa penegak hukum dan bentuk hukuman hanya dilakukan dirumah sakit atau lembaga rehabilitasi milik pemerintah yang ditunjuk menteri kesehatan, biayanya tanggung kementrian terkait.

Rehabilitasi sebagai bentuk upaya paksa dan bentuk  hukuman diatur dalam Peraturan Pemerintah pasal 13 PP 25/2011.

Ketentuan teknis rehabilitasi sebagai bentuk hukuman sampai sekarang belum terwujud, ketentuan tersebut, menjadi tanggung jawab Menteri Kesehatan untuk membuatnya (pasal 13 PP 25/2011). 

Sebelum membuat ketentuan  teknis tentang rehabilitasi sebagai bentuk hukuman, Menteri Kesehatan disaratkan berkoordinasikan dengan aparat penegak hukum dan instansi terkait.

Masarakat menunggu kiprah Menteri Kesehatan sebagai menterinya UU no 35 tahun 2009  tentang narkotika  untuk membuat ketentuan yang mengatur rehabilitasi sebagai bentuk hukuman.

Editor : Redaktur 

Penanggung Jawab Berita : Obor Panjaitan 

Komentar

Berita Terkini