|

KITA Bukan KAMI

MEDIA NASIONAL OBOR KEADILAN | CIBINONG | Jum'at, [21/8-2020] - Baru-baru ini kembali semarak kata “kami” dan “kita” di negeri ini. Di sana ada deklarasi “kami”, di sini pun ikut deklarasi “kita”. Deklarasi “mereka” dan "dia" mungkin sebentar lagi muncul. Nah, tulisan ini mungkin bisa disebut sebagai deklarasi “SAYA”.

Sejak dini, saya sudah diajarkan dan dibiasakan membedakan kata “kami” dan “kita”. Makna kedua kata tersebut sangat jelas dan tak mungkin bisa bertukar satu sama lain dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia adalah bahasa ibu saya, bahasa sehari-hari di rumah. Bahasa Batak (Toba) adalah bahasa ketiga yang saya pakai. Bahasa kedua yang saya cukup kuasai sebenarnya bahasa Minang atau Padang, yang sangat dekat dengan bahasa Melayu, karena dulu semasa kecil saya tinggal di daerah Riau, tepatnya di kota Pekanbaru.  

Sebenarnya tidak ada satu pun bahasa di dunia ini yang dapat dikatakan sebagai bahasa paling kaya atau sebaliknya. Namun, sebagai pemilik dan pemakai bahasa Indonesia kita patut berbangga, sebab kita memiliki dua kata untuk mengungkapkan konsep kata ganti orang pertama jamak, yaitu “KITA” dan “KAMI”.

"KITA" bersifat inklusif menyertakan kawan bicara (saya dan yang lain, termasuk kamu), sedangkan "KAMI" bersifat eksklusif TIDAK menyertakan lawan bicara (saya dan yang lain, tetapi tidak termasuk kamu).

INKLUSIF berasal dari kata Latin: _"in"_ (ke dalam) + _"claudere"_ (menutup). Inklusif berarti “memasukkan ke dalam, pintu yang terbuka”.
Sedangkan, EKSKLUSIF dari kata Latin: _"ex"_ (ke luar) + _"claudere"_ (menutup). Eksklusif dapat diartikan “tidak memasukkan, mengeluarkan”.

Inklusivitas dan eksklusivitas kata ganti orang ini lazim ditemukan pada bahasa-bahasa yang termasuk rumpun bahasa Austronesia, termasuk Indonesia, tetapi tidak pernah ditemukan pada bahasa-bahasa Eropa di luar Kaukasus, seperti bahasa Inggris dengan _"we"_-nya dan bahasa Belanda dengan _"wij"_-nya. Di antara bahasa-bahasa yang ada di dunia, kurang lebih ada 35 bahasa yang mengenal inklusivitas dan eksklusivitas tersebut.

Dalam bahasa Inggris, kedua kata “kami” dan “kita” hanya diwakili oleh kata _“we”_, dalam bahasa Arab _“nahnu”,_ dalam bahasa Jerman _“wir“_, dalam bahasa Belanda _“wij“_, dalam bahasa Perancis _“nous”,_ sedangkan dalam bahasa Rusia _“Mbl”._ Dengan kata lain, untuk mengungkapkan konsep “kita” dan “kami”, dalam bahasa Inggris, Arab, Jerman, Belanda, Perancis, dan Rusia hanya ada satu kata.

Sayangnya, banyak penutur bahasa Indonesia yang belum memahami perbedaan kedua kata ini. Dalam percakapan sehari-hari, bahkan dalam tulisan resmi, kata "KITA" jauh lebih populer dibandingkan "KAMI" dan dipakai baik saat tidak menyertakan kawan bicara maupun saat menyertakan kawan bicara.

*Kita* = Kami + Kamu
*Kami* = Kita – Kamu
*Kamu* = Kita – Kami

Sebagai kekhasan dan keunikan linguistik, makna dasar kedua kata ganti tersebut harus dijaga agar tidak terjadi distorsi semantik _(semantic distortion)._ Sebab, kekhasan dan keunikan makna kedua kata tersebut sekaligus merupakan kekayaan linguistik _(linguistic wealth)_ yang harus dijaga kelestariannya bersama dengan kekayaan-kekayaan lain yang kita miliki sebagai bangsa. Itulah salah satu kelebihan yang dimiliki bahasa Indonesia. Namun, tampaknya sebagian masyarakat kita gagal melakukannya.

Kalau orang tersebut mengajak kawan bicara untuk kebahagiaan dengan menyebut “kita”, tentu oke saja. Namun, kita tidak ingin diseret ikut dalam semua masalah orang lain hanya karena orang tersebut menyebut "kita" dan bukan "kami", kan?

Oleh sebab itu, mulailah menertibkan penggunaan "kita" dan "kami". Mudah-mudahan pemaparan ini akan menginspirasi para pemimpin dan politikus kita untuk juga tertib menggunakan "kami" untuk masalah mereka sendiri.

Saya lalu teringat seorang munsyi Prof. J.S. Badudu yang menyatakan _“Ketika berbahasa Indonesia, ikutilah kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Ketika berbahasa Inggris, juga ikuti kaidah dan aturan bahasa Inggris yang baik dan benar. Pun ketika berbahasa lainnya, misalnya bahasa Arab, juga harus mengikuti aturan dan kaidah bahasa Arab yang baik dan benar”._

Karena itu, jangan mencampurbaurkan kaidah dan makna satu bahasa ke bahasa lainnya sebagaimana membaurkan konsep kata “kita” dan “kami” dengan bahasa lainnya. Sebab, pembauran bisa jadi akan melahirkan makna ambigu. Barangkali inilah juga yang menyebabkan makanan sejenis _gado-gado,_ yang tidak jelas spesifikasi rasanya, begitu laris dijual di warung atau restoran dan menjadi salah satu makanan khas Indonesia.

Ergo::
_Apakah Anda mau ikut ‘KAMI’ atau ‘KITA’?_
Hayoooo ....

Catatan kecil,
(Febry Silaban)

Editor : Redaktur
Penanggung Jawab Berita : Obor Panjaitan

Komentar

Berita Terkini