|

FADLI ZON: ARAH POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA MEMUDAR, AKIBAT TIDAK ADA PERENCANAAN YANG JELAS

Foto : Plt Ketua DPR, Fadli Zon (Istimewa)


JAKARTA | MEDIA NASIONAL OBOR KEADILAN | Plt.Ketua DPR RI Fadli Zon memandang Kebijakan Luar Negeri Indonesia sepanjang 2017 kurang terarah dan minimalis. Ini akibat tak adanya blue print, perencanaan yang matang. Lebih lanjut, artikulasi diplomasi pro-rakyat yang tak terencana baik, berakibat pada pudarnya peran Indonesia dalam forum-forum multilateral. Demikian pandangan Plt.Ketua DPR RI Fadli Zon dalam refleksi akhir tahun di bidang politik luar negeri.

“Pendekatan diplomasi pro-rakyat, yang diusung Presiden Jokowi, dalam implementasinya justru mempersempit ruang manuver politik luar negeri Indonesia. Padahal doktrin politik bebas aktif yang tercantum dalam UU 37 tahun 1999, telah membuka ruang gerak yang luas bagi Indonesia dalam membangun hubungan ke luar.”

“Dalam konteks ini, salah satu catatan khusus yang serius adalah absennya Presiden Jokowi tiga kali berturut-turut dalam Sidang Majelis Umum PBB. Ini sikap diplomasi yang keliru. Jargon diplomasi pro-rakyat yang lebih _inward looking_, tak bisa dijadikan pembenaran sikap Presiden Jokowi yang selalu absen di Sidang Majelis Umum PBB."

"Kita tahu, Sidang Majelis Umum PBB adalah forum yang sangat ditunggu-tunggu oleh setiap kepala negara di dunia untuk menyampaikan sikap politik luar negeri. Sebagai presiden negara besar, Presiden Jokowi harus menjadikan momen tersebut sebagai agenda prioritas mewakili Indonesia di Sidang Majelis Umum PBB. Apalagi, Indonesia tengah berjuang menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Jika Presiden tidak aktif, bagaimana Indonesia diperhitungkan?”

“Dalam politik luar negeri, ada hal-hal khusus yang hanya bisa dijalankan Presiden. Sehingga Presiden tak bisa menyerahkan sepenuhnya urusan luar negeri kepada kementerian atau kantor perwakilan. Jika demikian, politik luar negeri akan berjalan sekedar business as usual. Dengan profil Indonesia sebagai regional power,sudah seharusnya diplomasi Indonesia tidak saja  sebagai instrumen untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam negeri, namun juga masalah luar negeri.”

“Pudarnya peran Indonesia di panggung global juga terlihat dalam penanganan krisis Rohingya. Meski secara bilateral Indonesia berperan aktif, namun peran yang diambil masih normatif. Padahal, Indonesia memiliki modal kepemimpinan alami di ASEAN. Seharusnya Indonesia bisa menjadi pionir dan _leader_ yang mendorong isu Rohingya agar disikapi secara kolektif oleh ASEAN. Namun faktanya, pemerintah kita gagal memanfaatkan forum ASEAN tersebut. ASEAN hanya menjadi forum arisan dan dimanfaatkan oleh negara-negara kecil tetangga kita untuk masuk pasar bersama..”

“Kelemahan kepemimpinan Indonesia di mata internasional juga terlihat dalam penyikapan krisis Yerusalem. Lagi-lagi, terhadap krisis Palestina yang dipicu oleh pengakuan sepihak AS atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel, sikap yang ditunjukan pemerintah masih terlampau normatif.  Tidak mencerminkan profil sebagai  negara muslim terbesar dan negara demokrasi ketiga terbesar di dunia. Dengan profil yang saat ini dimiliki Indonesia, seharusnya Presiden Jokowi dapat mengambil momentum tersebut sebagai negara pengundang KTT khusus OKI untuk diselenggarakan di Jakarta. Namun langkah kita justru kalah dengan Turki, Iran atau negara lainnya."

“Selain isu di atas, jargon poros maritim dunia sejauh ini juga belum menunjukan arah jelas. Mau jadi seperti apa, dan bagaimana rencana detailnya. Catatan saya, sejauh ini ada dua hal yang bisa dikatakan sebagai rujukan pelaksanaan poros maritim dunia. Pertama, pidato Presiden Jokowi di Nay Pyi Daw pada tahun 2014. Kedua, RPJMN 2015-2019. Namun, jika kita baca seksama, keduanya masih bersifat terlalu umum untuk disebut sebagai _blue print.

"Aspek lain poros maritim yang penting menjadi catatan, yaitu terkait penyelesaian batas maritim. Hingga kini, penyelesaian batas maritim tak ada target pasti. Dalam dokumen Rencana Kerja Pemerintah 2017, hanya ada target jumlah negosiasi. Bukan target waktu kapan kesepakatan final bisa dicapai. Padahal, perjanjian batas maritim dengan negara tetangga, adalah syarat utama mengamankan potensi maritim yang kita punya. Bagaimana Indonesia bisa menjadi poros maritim dunia, jika pintu lautnya saja masih bolong-bolong? Rawan pencurian dan sengketa."

"Sepanjang 2017, kita baru meratifikasi dua perjanjian batas maritim. Pertama untuk perbatasan wilayah laut Indonesia-Singapura, dan kedua perjanjian Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antara Indonesia dan Filipina. Padahal, ada 10 negara yang memiliki batas maritim dengan Indonesia. Belum tuntas pembahasan batas teritorial, kontinental, dan zona ekonomi eksklusif. Dengan progres yang lambat seperti sekarang, rasanya sulit bagi pemerintah menyelesaikan seluruh perjanjian batas maritim sebelum 2019. Artinya, agenda poros maritim pun akan sulit direalisasikan."

"Politik luar negeri Jokowi juga menekankan pada upaya diplomasi ekonomi. Menurut Presiden, aktifitas diplomasi harus membawa dampak langsung pada ekonomi rakyat, tak sekedar seremonial. Sekilas strategi ini sangat populis. Namun upaya ini dalam implementasinya tak berjalan maksimal. Akibatnya, meski investasi dari luar diklaim meningkat, namun tak berdampak langsung pada ekonomi rakyat."

"Sebagai contoh, pada kuartal III-2017 kemarin, pemerintah mengklaim realisasi investasi   meningkat 12%, dibanding kuartal yang sama tahun sebelumnya. Namun, pada saat sama, BKPM menyatakan  peningkatan tersebut tak diiringi penyerapan tenaga kerja."

"Ini karena pemerintah tak memiliki prioritas. Akibatnya, investasi yang masuk saat ini, lebih didominasi investasi industri tersier yang padat modal. Padahal yang kita butuhkan adalah investasi padat karya. Sehingga ada dampak langsung bagi penyerapan tenaga kerja. Kalau begini kondisinya, apakah diplomasi ekonomi yang selama ini dijalankan bisa disebut diplomasi pro-rakyat?"

"Ketidaksinkronan ini akibat tak adanya konsep matang dari strategi diplomasi ekonomi. Diplomasi ekonomi harus dipikirkan dari hulu ke hilir. Jangan hulunya saja. Situasinya semakin diperparah oleh buruknya koordinasi yang terjalin antar kementerian dan lembaga terkait."

"Catatan lain yang masih belum optimal adalah upaya diplomasi pemerintah terhadap negara-negara tetangga di kepulauan Pasifik. Dalam dua tahun belakangan, negara-negara Pasifik seperti Vanuatu dan Kepulauan Solomon, misalnya, sangat aktif mengkritik Indonesia di forum-forum internasional terkait dengan isu HAM di Papua. Merespon hal ini, upaya pemerintah tentu tidak cukup hanya dengan menyampaikan hak jawab. Namun, perlu pendekatan dan upaya diplomasi yang lebih intens terhadap negara-negara tersebut. Baik secara bilateral maupun multilateral."

"Dari catatan di atas, saya melihat kedepannya dibutuhkan perhatian yang lebih seimbang dalam praktik politik luar negeri Presiden Jokowi, dengan disertai blue print yang solid dan jelas. Jangan sampai ketidakjelasan arah politik luar negeri Presiden Jokowi, membuat Indonesia memudar perannya dan kehilangan profil di dunia internasional."

Editor : Frans JL Rorimpandey
Komentar

Berita Terkini