|

Secercah Harapan Pelaut Senior Terhadap Kabinet Indonesia Maju Untuk Selamatkan KPI

Ket Gambar : Para Anggota KPI Senior (Djoko Saliyono, Joyke Dotulong, Teddy Syamsuri, Hasoloan Siregar, M. Amin Nabu, Tonny Pangaribuan, Kusnadi)

OBORKEADILAN.COM| Jakarta-- Dengan merujuk beberapa regulasi dan peraturan terkait dan atau keterkaitannya dengan keberadaan pelaut sebagai awak kapal, antara lain bisa diawali dengan UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (UU SP/SB); UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Tenaga Kerja); UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (UU Pelayaran); Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2008 tentang Kepelautan (PP Pelaut); dan Peraturan Menteri Perhubungan No. 84 Tahun 2013 tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (Permenhub No. 84/2013).

Kami, Komunitas Pelaut Senior anggota KPI (Kesatuan Pelaut Indonesia) yang purnalayar dan telah berkontribusi nyata untuk organisasi KPI sampai memiliki gedung sendiri sebagai kantor Pengurus Pusat (PP) KPI yang beralamat di Pusat Perkantoran Cikini Jl. Cikini Raya No. 58AA/BB serta tak jauh dari kantor di Pusat Perkantoran Cikini juga telah memiliki Poliklinik Baruna Medical Center (BMC), yang tidak mungkin bisa terbantahkan. Senantiasa dalam upaya menyelamatkan organisasi KPI atas panggilan kewajiban dan tanggungjawab moral, berusaha berpegang pada undang-undang, diantaranya sebagaimana diutarakan diatas.

Dimulai dengan merujuk UU SP/SB karena pertimbangan bentuk organisasi KPI adalah serikat pekerja yang dibentuk dari, oleh dan untuk pelaut Indonesia. Sebagaimana dimaksud Pasal 3 UU SP/SB, KPI mempunyai sifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggungjawab. Pasal 4 ayat (1) aquo, KPI bertujuan memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pelaut dan keluarganya.

Pasal 17 ayat (1) aquo, pelaut dapat berhenti menjadi anggota KPI dengan pernyataan tertulis. Pasal 32 aquo, keuangan dan harta kekayaan KPI harus terpisah dari keuangan dan harta kekayaan pribadi PP KPI dan anggotanya.

Pasal 34 ayat (1) aquo, PP KPI bertanggungjawab dalam penggunaan dan pengelolaan keuangan dan harta kekayaan organisasi KPI. Pasal 34 ayat (2) aquo, PP KPI wajib membuat pembukuan keuangan dan harta kekayaan serta melaporkan secara berkala kepada anggotanya.

Dari UU SP/SB ini hak berdaulat hanya dimiliki oleh pelaut karena dibentuk dari, oleh dan untuk pelaut Indonesia. Sejak Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) KPI tahun 2001, hak berdaulat itu mulai dikebiri. Sehingga sifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggungjawab menjadi tersisihkan.

Begitu pula tujuan KPI memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pelaut dan keluarganya, sana sekali tidak jalan sebagaimana diamanatkan. Kemudian muncul klem PP KPI bahwa kami, komunitas Pelaut Senior anggota KPI dan telah berkontribusi, dikatakan bukan lagi menjadi anggota KPI. Dimana-mana PP KPI memblow-up klem sepihak itu, dan ironisnya dipercaya.

Padahal sebagaimana dimaksud Pasal 17 ayat (1) UU SP/SB, kami belum pernah menyampaikan pernyataan tertulis untuk berhenti menjadi anggota KPI. Dengan demikian klem PP KPI bisa disebut melakukan pelanggaran terhadap perundang-undangan yang berlaku. Termasuk melakukan pelanggaran hak azasi manusia (HAM) kami yang secara absolut berdaulat di organisasi KPI.

Kontribusi kami terhadap organisasi KPI melalui perusahaan pemilik atau operator kapal di kapal-kapal asing di luar negeri kendati tidak memotong dari gaji kami, hitungan yang ditetapkan 4 persen dari gaji pokok setiap bulannya oleh pihak perusahaan disetorkan kepada organisasi KPI melalui transfer ke rekening bank organisasi KPI yang ditunjuk dan telah disepakati antara KPI dan perusahaan.

Akan tetapi dengan Munaslub KPI tahun 2001 menghasilkan komposisi PP KPI untuk jabatan Sekretaris Jenderal (Sekjen) merangkap jabatan Bendahara. Maka sejak itu keuangan dan harta kekayaan organisasi KPI tidak lagi terpisah dengan keuangan dan harta kekayaan pribadi PP KPI. Dengan demikian selain rentan dikorup, juga menyimpang dari aturan Pasal 32 UU SP/SB yang harus terpisah itu.

Dari Munaslub KPI tahun 2001 dan dalam Kongres ke-VI KPI tahun 2004, aturan PP KPI (2001-2004) bertanggungjawab dalam penggunaan dan pengelolaan keuangan dan harta kekayaan organisasi KPI dalam Kongres ke-VI KPI itu terabaikan. Selanjutnya pasca Kongres ke-VI KPI tahun 2004 sampai saat ini pasca Kongres Luar Biasa (KLB) KPI tahun 2017, PP KPI yang wajib membuat pembukuan keuangan dan harta kekayaan serta melaporkan secara berkala kepada anggotanya tidak pernah ada.

Pada konteks pendapatan organisasi KPI dari penerimaan setoran kontribusi dari pihak perusahaan jika diperhitungkan sejak tahun 2001 sampai 2019 (18 tahun), standar gaji pokok seorang pelaut US$ 350, jumlah pelaut anggota KPI yang dipekerjakan di kapal-kapal asing sekitar 35 ribu pelaut, dan jika kurs rupiah rata-rata Rp. 13 ribu, bisa berjumlah tidak kurang dari Rp. 800 milyar, yang hanya tersimpan di satu bank yakni Bangkok Bank atau pernah menggunakan Bank Universal Cabang Cinere, Jakarta Selatan, konon belakangan ini tersimpan di 2 bank swasta dan 1 bank BUMN di Jakarta.

Sekjen merangkap Bendahara hasil KLB KPI tahun 2017 I Nyoman Budiase, hanya menerima serah terima keuangan organisasi KPI dari Presiden KPI hasil KLB KPI tahun 2017 Mathias Tambing, karena sebelumnya Mathias Tambing dan sejak Munaslub KPI tahun 2001 (16 tahun) adalah Sekjen merangkap Bendahara. Maka saat Mathias Tambing jadi Presiden KPI, keuangan organisasi KPI diserahterimakan kepada Budiase yang jadi Sekjen merangkap Bendaharanya.

Pada 4 Mei 2019, didapat informasi jika Budiase berharap agar keuangan organisasi KPI di audit. Pasalnya dalam serah terima Budiase hanya menerima keuangan organisasi KPI sebesar Rp. 138 milyar. Padahal menurut asumsi Budiase keuangan organisasi KPI mestinya ada diatas kisaran Rp. 200 milyar.

Tapi info 12 Mei 2019, Budiase menyetujui anggaran Rp. 500 juta untuk pemberian tunjangan hari raya (THR) kepada pihak tertentu yang tidak jelas, bukan untuk keluarga pelaut yang membutuhkan. Ironisnya konon ada beberapa paranormal yang rutin menerima THR. Harapan Budiase ingin mengaudit keuangan organisasi KPI menjadi kebohongan belaka. Jadilah Budiase dan Mathias dua sisi mata uang yang sama, bisa disebut terjadi persekongkolan di tubuh PP KPI.

PP KPI gelar rapat kerja nasional (Rakernas) pada 27-28 Juli 2018 di Hotel Treva Menteng, Jakarta Pusat. Ironisnya Kongres ke-IX KPI belum diselenggarakan setelah KLB KPI tahun 2017. Di Rakernas KPI tahun 2018 itu secara sepihak Mathias Tambing di media massa mengklem bahwa dirinya adalah Presiden KPI periode 2017-2022 yang dihitung pasca KLB. Padahal Kongres ke-VIII KPI diselenggarakan pada tahun 2014 dan PP KPI untuk periode 2014-2019. Sehingga untuk Kongres ke-IX KPI harusnya diselenggarakan pada tahun 2019 sekarang ini, dan untuk PP KPI periode 2019-2024. Bukan dihitung dari KLB KPI tahun 2017.

Mathias Tambing yang mengklem Presiden KPI untuk periode 2017-2022 itupun membentuk susunan yang disebut Badan Pengurus Harian dan juga Badan Pengurus Bulanan, yang sudah keluar dari bentuk komposisi kepengurusan organisasi KPI ditingkat Pusat yang hanya berbentuk PP KPI, bukan BPH dan BPB KPI yang semakin tidak jelas tugas pokok dan fungsinya (tupoksinya).

Jika dicermati secara seksama berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku, maka organisasi KPI sebagai serikat pekerja menjadi menjelma sebagai organisasi perusahaan yang semau-maunya saja menguasai organisasi KPI dan menguburkan pelaut sebagai pemiliknya.

Selanjutnya jika merujuk UU Pelayaran No. 17 Tahun 2008, jelas di Pasal 337 disebutkan ketentuan ketenagakerjaan di bidang pelayaran dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang Ketenagakerjaan sebagai yang ada pada UU Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2003.

Begitu pula sebagaimana dimaksud Pasal 19 ayat (6) PP No. 7 Tahun 2008 tentang Kepelautan, disebutkan ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penempatan kerja diatur dengan Keputusan Menteri (Kepmen) yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan setelah mendengar pendapat dari menteri.

Dari aspek legal ini menempatkan organisasi KPI dibina secara fungsional oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Pembinaan Penempatan Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta PKK) Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker). Serta dibina secara teknis oleh Dirjen Perhubungan Laut (Hubla) Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Baik Dirjen Binapenta PKK Kemenaker maupun Dirjen Hubla Kemenhub, dua pejabat tersebut adalah Pembina KPI eks officio sejak organisasi KPI didirikan pada tahun 1976, bahkan sewaktu KPI masih bernama PPI (Persatuan Pelaut Indonesia) yang dibentuk pada tahun 1966.

Agar bisa lebih kuat argumentasi kami dalam memperjuangkan penyelamatan organisasi KPI, fokus pada rujukan Permenhub No. 84 Tahun 2013 tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal. Pasal 1 angka 3 Permenhub No. 84/2013, disebut serikat pekerja adalah yang sesuai ketentuan dengan ketentuan nasional dan/atau organisasi pekerja internasional yang berafiliasi dengan serikat pekerja. Organisasi KPI saat masih bernama PPI, pada tahun 1975 diputuskan berdasarkan SK Dirjen Hubla Haryono Nimpuno menjadi wadah tunggal pelaut Indonesia. Setelah 4 tahun KPI berdiri, pada tahun 1981 organisasi KPI menjadi afilisianya International Transportworkers Federation (ITF). Dengan demikian menurut logika kami, serikat pekerja yang dimaksud Permenhub No. 84 Tahun 2013 tiada lain adalah organisasi KPI.

Pasal 1 angka 7 aquo, disebutkan bahwa pelaut adalah setiap orang yang mempunyai kualifikasi keahlian dan/atau keterampilan sebagai awak kapal. Jika dihubungkan dengan Pasal 1 angka 4 Permenhub No. 84 Tahun 2013 yang menyebutkan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) atau Collective Bargaining Agreement (CBA) adalah perjanjian kerja kolektif yang dibuat dan ditandatangani oleh perusahaan angkutan laut dan/atau pemilik dan/atau operator kapal dengan serikat pekerja pelaut (KPI) dan diketahui oleh Dirjen Hubla Kemenhub.

Dalam konten KKB/CBA antara perusahaan pemilik atau operator kapal-kapal asing dan organisasi KPI, satu pasal terdapat pasal tentang kontribusi. Pasal tersebut menyatakan pihak perusahaan berkewajiban menyetorkan uang kontribusi yang ditetapkan 4 persen dari gaji pokok seorang pelaut yang dipekerjakan dikapal-kapalnya kepada organisasi KPI. Seperti sudah dikemukakan diatas, dihitung jumlah pelaut, ditransfer setiap bulan secara rutin, dengan jumlah pelaut anggota KPI bekerja dikapal-kapal asing di luar negeri sekitar 35 ribu.

Pihak perusahaan wajib menyetorkan kontribusi sebab dalam pasalnya tertuang untuk maksud kegiatan sosial organisasi KPI seperti pelayanan kesehatan dan bantuan pendidikan, serta untuk tujuan meningkatkan kesejahteraan pelaut dan keluarganya. Frasanya jelas, membuat pihak perusahaan mau tidak mau wajib hukumnya untuk setor kontribusi kepada organisasi KPI.

Pada konteks kewajiban perusahaan menyetorkan kontribusi dan kewajiban organisasi KPI melakukan kegiatan sosial serta meningkatkan kesejahteraan pelaut dan keluarganya, realitanya kewajiban pihak perusahaan dipenuhi tapi kewajiban organisasi KPI yang dimandatkan kepada PP KPI untuk melaksanakannya justru sama sekali tidak pernah ada. Kesan uang kontribusi ratusan milyar itu menjadi bancakan, menjadi ATM, sulit untuk dibantah serta bisa PP KPI pertanggungjawabkan.

Bertitik tolak dari tidak transparannya pertanggungjawaban keuangan dan harta kekayaan organisasi KPI selama 18 tahun dari Munaslub KPI tahun 2001 sampai KLB KPI tahun 2017 dan hingga saat ini tahun 2019, itulah kami menuntut sebagai hak kami yang seharusnya menerima dana kegiatan sosial serta peningkatan kesejahteraan pelaut dan keluarga kami dari pendapatan organisasi KPI di sektor penerimaan setoran kontribusi dari pihak perusahaan. Sebab itu organisasi KPI wajib diselamatkan oleh pelaut anggota yang memiliki hak kedaulatannya.

Namun karena adanya pertimbangan tentang dana milyaran yang dikuasai oleh PP KPI, dengan gunakan kekuatan uang yang dihamburkan untuk kepentingan kekuasaannya seperti pemberian THR tahun 2018 sebesar Rp. 500 juta kepada orang-orang tertentu, kami jelas dihadapkan oleh banyak sisi hambatan, gangguan, ancaman dan tantangan (HGAT)-nya.

Itu sebab kami berharap Kabinet Indonesia Maju dimana baik Dirjen Binapenta PKK Kemenaker maupun Dirjen Hubla Kemenhub sebagai Pembina KPI eks officio, adalah bagian tak terpisahkan dalam Kabinet Indonesia Maju. Kami mohon berkenan untuk menyelamatkan organisasi KPI dari kerusakan parahnya, yang selama 18 tahun oleh PP KPI diperbuat secara terstuktur, sistematis dan masif (TSM) tersebut. Tiada ucapan lain selain minta pertolongan hanya kepada Menaker dan Menhub untuk menitahkan penyelamatan organisasi KPI melalui dirjennya.

Tanpa organisasi KPI diselamatkan, kami pesimis nasib pelaut Indonesia ke depan bisa mendapat perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pelaut dan keluarganya.

Bagaimanapun organisasi KPI dibawah kekuasaan unlimited PP KPI selama 18 tahun, sifat organisasi KPI tidak lagi bisa bebas, tidak bisa terbuka, tidak akan pernah mandiri, anti demokratis, dan tidak mungkin bisa bertanggungjawab. Demikian ini harapan sepenuhnya dari kami, komunitas Pelaut Senior anggota KPI yang purnalayar dan telah berkontribusi terhadap organisasi KPI saat aktifnya.

Editor : Redaktur
Penanggung Jawab : Obor Panjaitan

Komentar

Berita Terkini