|

N E P O T I S M E, Kelola Negara Nyaris Seperti Arisan Keluarga

Muhammad Nur LapongDirektur LBH ForJIS Jakarta


■by MN Lapong

MEDIA NASIONAL OBOR KEADILAN | JAKARTA-(1/08), Menyoal Nepotisme politik dinasti yang makin marak berkembang biak bahkan menjadi trend dalam pelaksanaan demokrasi di tanah air membuat kita termangu atau geleng geleng kepala.

Bahwa faktuil tahta kekuasaan politik berputar di lingkaran keluarga suami, istri, anak, saudara, dan mantu hampir disemua level tingkatan pemilihan politik kekuasaan, apakah itu pilkada maupun pileg di tanah air. Apakah itu di partai politik sebagai instrumen maupun dalam jabatan politik pemerintahan tanah air sekarang ini.

Nyaris seperti arisan keluarga, bahkan kita ingat di suatu daerah di Kabupaten Kediri ada fakta saat suami bupati masih menjabat pada priode ke 2 kemudian akan dilanjutkan oleh istrinya yang bersaing ketat dengan madunya di pilkada. Sungguh luar biasa fenomena ini, memang agak sulit di cerna akal sehat, but belive or not to be itulah kenyataannya.

Kejadian di Purwakarta lain lagi, suami usai 2 priode jadi bupati, turun menjadi Ketua DPRD II, kemudian istri gantian menjadi bupati, seperti cerita tukar guling. Lantas nanti suami mengawasi penyelewengan jabatan bupati seperti mengawasi penyelewengan istri yang berselungkuh, apa iya? Ini republik NKRI sungguh ajaib!

Walaupun pada dasarnya bagi para pejabat negara yang mempraktekan "nepotisme" dalam praktek politik dinasti tidak diatur atau tidak di larang secara tegas dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN yang sebelumnya ditetapkan dalam TAP MPR RI Nomor XI/MPR/1998.

Namun sebenarnya praktek KKN jika ditilik lebih waras, juga mengandung makna yang sama dengan apa yang terjadi dalam bidang politik kekuasaan apabila ini terjadi dalam diri pejabat penyelenggara negara yang sedang berkuasa.

Tentu secara moral itu tidak etis dan tidak elok dalam keadilan yg berkeadaban, itu sama halnya saja kita mentolerir makna prilaku nepotisme yang lebih luas dalam konteks pemberantasan KKN.

Mari kita melihat gejala yang sedang terjadi dalam kasus Kaesang untuk pemilihan walikota Solo, putra Presiden Jokowidodo yang ramai di bicarakan saat ini. Apa benar katanya sudah mendapat restu sang presiden? Wait nd see! Demikian juga dengan anak mantu sang presiden untuk pemilihan walikota Medan.

Kasus yang sama pula terjadi pada diri Ma'ruf Amin yang sebentar lagi dilantik jadi Wapres, putrinya ramai ramai di usung orang untuk pemilihan pilwakot Tangerang Selatan.

Padahal kemenangan Paslon Jokowi Ma'ruf yang baru saja "dimenangkan" (Lihat Rocky Gerung) dalam pilpres 2019 yang belum sebulan berlalu itu, masih terasa panas cerita kelamnya yang kemudian berakhir pakai cara rekonsiliasi.

Seandainya kemudian anak anak dan mantu Jokowi Ma'ruf pun "menang" sungguh luar biasa peristiwa ini, tentu nepotisme sedap ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah pentas politik tanah air dan pertama dalam sejarah demokrasi dunia.

Note : Maaf kali ini saya tidak terima narasi, "apa kata dunia?" Faham!

Apakah ada yang meragukan kemampuan seorang Kaesang, atau ST Nur Azisah putri Ma'ruf Amin untuk pilwakot Tangsel? Tentu tidak! Tapi kita masih ingat seloroh Wapres JK ketika menanggapi Jokowi akan maju sebagai capres, "Indonesia bisa hancur jika Jokowi jadi presiden" Tentu saja itu narasi kesangsian pak JK atas situasi pikirannya saat itu.

Atas diri seorang pak JK, dunia alam jagad raya mau mengatakan, wabil khusus ibu pertiwi. "Apa tidak ada lagi putra terbaik bangsa untuk diusung dan untuk dipilih di luar lingkaran kekuasaan yang sedang berkuasa?"

Kekuatiran banyak orang jika pun ini dipaksakan, apakah ada jaminan pair play atau tidak terjadi komplik interes seperti yang sering berulang? Apalagi di tengah terjadinya demokrasi prosedural dalam pesta demokrasi di tanah air, seperti yang sering disuarakan Aktivis Malari bang Hariman Siregar.

Saya jadi teringat dalam diskusi kawan kawan Forum Alumni Perguruan Tinggi Se Indonesia (FA PETISI), di suatu sore di cafe Al Jazerah, berkesimpulan kita perlu merumuskan DEMOKRASI ADIL dan BERADAB.

Geli saja jika praktek ini dibiarkan, suatu saat nanti bangsa ini dikelola oleh para elit politik seperti mengelola perusahaan keluarga. Batasan sistem nilai negara republik yang seharusnya demokratis pun sudah mirip sistem nilai monarchi absolut.
_________________________

Penulis :
Muhammad Nur Lapong
Direktur LBH ForJIS Jakarta

■MEDIA NASIONAL OBOR KEADILAN

Komentar

Berita Terkini