|

𝐏𝐮𝐧𝐠𝐥𝐢, 𝐊𝐨𝐧𝐭𝐫𝐨𝐯𝐞𝐫𝐬𝐢 𝐏𝐇𝐊 𝐒𝐞𝐩𝐢𝐡𝐚𝐤 𝐝𝐢 𝐃𝐏𝐑𝐃 𝐃𝐞𝐩𝐨𝐤: 𝐍𝐚𝐬𝐢𝐛 𝐏𝐀𝐌𝐃𝐀𝐋 𝐝𝐚𝐧 𝐃𝐮𝐠𝐚𝐚𝐧 𝐏𝐞𝐧𝐲𝐚𝐥𝐚𝐡𝐠𝐮𝐧𝐚𝐚𝐧 𝐖𝐞𝐰𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠

Media Nasional Obor Keadilan |Depok, 20 Februari 2025 – Kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak yang dialami Laila Putri, mantan anggota Pengamanan Dalam (PAMDAL) DPRD Kota Depok, terus berkembang tanpa penyelesaian yang jelas. Kasus ini mengungkap dugaan intervensi pejabat dan penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan tenaga keamanan DPRD, yang berpotensi melanggar aturan perundang-undangan yang berlaku.

Kronologi Kasus dan Dugaan Pelanggaran

Laila Putri mulai bekerja pada Februari 2024 sebagai anggota PAMDAL DPRD Kota Depok dengan upah sebesar Rp4.732.254 per bulan. Namun, pada awal Januari 2025, ia menerima pemberitahuan dari PT Krisna (Keris Sakti Nusantara) bahwa kontraknya tidak diperpanjang. Informasi tersebut hanya disampaikan melalui pesan WhatsApp tanpa adanya surat resmi atau prosedur yang sesuai dengan ketentuan hukum.

Tindakan ini diduga melanggar Pasal 151 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, yang mewajibkan pengusaha untuk melakukan perundingan dengan pekerja atau serikat pekerja sebelum melakukan PHK. Selain itu, pemberitahuan PHK yang tidak dilakukan secara resmi juga bertentangan dengan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa jika salah satu pihak mengakhiri perjanjian kerja sebelum waktunya, maka pihak yang mengakhiri wajib membayar ganti rugi.

Sumber internal mengungkapkan bahwa posisi Laila telah digantikan oleh orang lain yang diduga direkrut melalui praktik nepotisme, dengan indikasi adanya uang pelicin sebesar Rp15 juta. Jika terbukti, hal ini berpotensi melanggar Pasal 5 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Tuntutan Penyelesaian dan Respons DPRD Kota Depok

Menanggapi hal ini, pihak yang mewakili Laila Putri mengirimkan surat keberatan kepada Sekretariat DPRD Kota Depok. Rizki, perwakilan PAMDAL, bertemu dengan Obor Panjaitan selaku Ketua Ikatan Pers Anti Rasuah (IPAR) dan jurnalis Media Nasional Obor Keadilan. Dalam pertemuan tersebut, Rizki menyatakan akan menindaklanjuti permasalahan dan mencari solusi, termasuk kemungkinan mengembalikan Laila ke posisi semula.

Namun, dalam perkembangan selanjutnya, DPRD Kota Depok melalui surat resminya menyatakan bahwa wewenang pengangkatan dan pemutusan kontrak PAMDAL sepenuhnya berada di tangan PT Krisna selaku penyedia tenaga kerja. Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan mengenai transparansi dalam pengelolaan tenaga PAMDAL, terutama mengingat anggaran tenaga keamanan DPRD Kota Depok Tahun Anggaran 2024 mencapai Rp3.558.436.488 (Kode RUP: 46250746).

Ketidakjelasan mengenai pengelolaan tenaga kerja outsourcing ini dapat bertentangan dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 11 Tahun 2019 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi Pekerja Kontrak dan Outsourcing, yang mewajibkan penyedia jasa outsourcing untuk memastikan kepastian kerja dan hak-hak pekerja.

"Dugaan Tekanan dan Intervensi"

Kasus ini semakin memanas ketika MN Hakim Siregar, pejabat terkait di DPRD Kota Depok, diduga melakukan intervensi dengan mendekati keluarga Laila Putri dan memberikan tekanan psikologis agar mereka membujuk Laila menerima keputusan PHK tersebut.

Jika terbukti, tindakan ini dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang melarang pejabat publik menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Selain itu, seorang pejabat DPRD lainnya juga diduga mencoba mengirimkan kontrak kerja ke rumah Laila Putri untuk diminta tanda tangan di luar lingkungan kerja. Langkah ini dinilai sebagai tindakan tidak etis dan berpotensi bertentangan dengan prinsip transparansi dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

Respons PT Krisna dan Kendala Penyelesaian

Sementara itu, PT Krisna melalui perwakilannya, Rezky, menunjukkan sikap lebih terbuka terhadap penyelesaian masalah ini. Rezky bahkan sempat menyatakan kesediaannya untuk memperkerjakan kembali Laila Putri dengan kontrak kerja baru. Namun, keputusan ini diduga terhambat oleh intervensi Arif Hakim Siregar, yang disebut-sebut menghalangi langkah tersebut.

Intervensi seperti ini dapat dikategorikan sebagai bentuk maladministrasi, yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, di mana setiap pejabat publik dilarang melakukan tindakan yang menyimpang dari prosedur dan merugikan kepentingan masyarakat.

Desakan Evaluasi dan ReformasiObor Panjaitan sebagai jurnalis dan Ketua IPAR mendesak Pimpinan Daerah Kota Depok untuk mengevaluasi dan mengganti pejabat yang diduga merusak citra DPRD.

"Kami mendesak agar penyelesaian dilakukan secara profesional. Orang yang tidak pantas di-PHK harus dikembalikan ke posisinya, sementara mereka yang masuk dengan praktik tidak sehat harus dievaluasi," tegas Obor Panjaitan.

Langkah Hukum yang Akan Ditempuh

Jika dalam waktu tujuh hari kerja tidak ada tanggapan resmi dari DPRD Kota Depok, maka pihak yang mewakili Laila Putri berencana untuk:

1. Melaporkan kasus ini secara pidana, mengacu pada Pasal 374 KUHP tentang Penyalahgunaan Wewenang jika ditemukan unsur pelanggaran hukum dalam pengelolaan tenaga kerja dan dugaan suap.

2. Mengajukan gugatan perdata di Pengadilan, sesuai dengan Pasal 1365 KUHPerdata tentang Perbuatan Melawan Hukum (PMH).

3. Mempublikasikan kasus ini secara luas kepada masyarakat dan media, demi memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola pemerintahan.

Kasus ini semakin menyoroti masalah internal dalam pengelolaan tenaga keamanan di DPRD Kota Depok. Hingga berita ini diterbitkan, belum ada langkah konkret dari pihak terkait untuk menyelesaikan masalah ini dengan adil.

(Redaksi Media Nasional Obor Keadilan)

Komentar

Berita Terkini