OBORKEADILAN.COM | JAKARTA, Senin (7/6-2021), "Bisa dapat apa aja sih duit 1.760 triliun itu bila kita belikan alutsista?"
Masih ingatkah sejarah ketika negara kita tiba-tiba menjadi kekuatan terbesar di Asia Pasific pada tahun 1962? Gara-gara Belanda tak commit atas hasil Konferensi Meja Bundar 1949, Presiden Soekarno marah.
Atas dukungan Uni Soviet, alutsista kita langsung membengkak dalam ukuran fantastis. Alat perang terbaru dengan daya gentar sangat menakutkan tersebut secara langsung dan seketika membuat Belanda tak lagi berminat melanjutkan konfrontasi dengan kita. Belanda mundur.
Bila uang sebesar 1.760 triliun itu kita belikan alutsista, gambaran perkasa kita pada 1962 langsung terlihat kecil. Uang sejumlah itu mampu membeli berkali lipat keperkasaan kita pada peristiwa rebut kembali Irian Barat tahun 1962.
Duit kita akan cukup untuk memborong 3 kapal induk sekaligus. Satu kapal induk bertenaga nuklir seperti milik Perancis Charles De Gaulle, 1 kapal induk kelas Nimitz AS, plus 1 kapal induk terbaru dan termodern yang ada di dunia milik AS yakni Gerald R Ford. Ketiganya dapat kita borong dalam satu paket seharga 390 triliun rupiah saja.
Duit kita masih banyak dan kita masih leluasa menambah kekuatan laut kita dengan 5 kapal perusak tercanggih di dunia sekelas USS Zumwalt milik angkatan laut AS.
Tiga hingga 5 kapal selam kelas Seawolf kita beli. Kapal selam modern ini tergolong paling tenang di dunia yang pernah dirakit meski bergerak dalam kecepatan tinggi.
Pada kekuatan udara, masing-masing 1 skuadron pesawat tempur tercanggih yang ada saat ini yakni Raptor F22, F35, Sukhoi SU 57 dan SU 35 masih dapat kita tumpuk menjadi bagian dari milik kita.
Masih kurang?
Duit kita masih sisa banyak, namun ketika pertanyaannya diubah menjadi adakah negara-negara pemilik alutsista tersebut mau menjual pada kita?
Tidak. Pada kondisi tertentu, mereka jual hanya pada sekutunya saja dan itu pun masih pilih-pilih. Jepang sebagai sekutu terdekat AS misalnya, secara finansial negara itu sangat mampu membeli 5 hingga 10 skuadron Raptor F22 namun barang itu secara hukum tak boleh dijual di luar AS, apalagi kita.
Heboh kita dalam berseteru tentang adanya duit senilai 1.760 triliun yang akan dipakai belanja alutsista oleh pak Menhan hingga tahun 2024 nanti menjadi terlihat tak masuk akal. Tidak ada unsur logis dapat kita lihat hadir pada peristiwa itu.
Jangankan ngutang, cash saja tak ada yang akan memenuhi permintaan kita baik produsen senjata dari barat maupun timur. Posisi negara kita tak berpihak pada salah satu dari keduanya dan maka kita bukan sekutu mereka. Dan maka mustahil bagi kita diijinkan membeli alutsista itu dalam waktu sangat pendek yakni hingga tahun 2024.
"Trus apa maksud berita yang beredar itu? masak hoax?"
Angka 1.760 triliun atau 124,9 milar dolar itu bukan reka-reka Connie Rahakundini Bakrie. Angka itu diketahui dan muncul dari Rancangan Perpres pemenuhan kebutuhan Alpalhankam Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia Tahun 2020-2024 yang bocor ke publik.
Pada bocor dokumen itu juga tertulis adanya detail perhitungan bagi pembiayaan pengadaan peralatan tersebut di mana pembiayaan yang akan dilakukan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta pinjaman luar negeri.
Anggaran tersebut secara rinci terdiri dari 79 miliar dolar untuk pengadaan senjata, pembayaran bunga 13,4 miliar dolar, dan dana pemeliharaan 32,5 miliar dolar.
"Berarti bukan hoax dong?"
Sepertinya ada mispersepsi. Bukankah disana secara tegas ditulis RANCANGAN?
Bukankah rancangan berarti belum tetap dan berlaku?
Di sisi lain, banyak pihak terjebak pada termin waktu yang tertulis pada rancangan prepres tersebut yakni 2020-2024. Tiba-tiba ada pendapat bahwa uang sebesar itu akan dibelanjakan dalam kurun waktu yang sangat pendek yakni hingga 2024.
"Emang bukan po?"
Dalam Pasal 3 Ayat 2 di sana dirinci perhitungan rencana kebutuhan yang meliputi akuisisi alpalhankam sebesar 79 miliar dollar AS, untuk pembayaran bunga tetap selama lima renstra sebesar 13,4 miliar dollar AS dan untuk dana kontijensi serta pemeliharaan dan perawatan alpalhankam sebesar 32,5 miliar dollar AS.
Sementara pada pasal 3 Ayat 3 khusus untuk periode 2020-2024 ada rencana kebutuhan sebesar 20,7 miliar dollar AS dan masuk daftar rencana pinjaman luar negeri jangka menengah.
Pada pasal 3 Ayat 4, di sana juga disebutkan bahwa selisih dari rencana kebutuhan sejumlah 104,2 miliar dolar AS akan dipenuhi pada renstra tahun 2020-2024.
Kata kuncinya ada pada "lima renstra" pada ayat 2. Hal itu dapat kita terjemahkan sebagai termin waktu dalam 5 kali periode sebuah pemerintahan atau 25 tahun.
Berbicara membuat sebuah rencana dalam satu rancangan namun di sisi lain melingkupi waktu yang demikian panjang dan berkelanjutan dapat kita terjemahkan sebagai adanya rencana induk.
Rencana induk tersebut dibutuhkan demi mendapatkan postur ideal dan terintegrasi pada masing-masing matra sehingga muncul anggaran sebesar 1.760 triliun di mana unsur bunga dan perawatan telah termasuk di dalamnya.
Berbicara bunga, pasti terkait dan tak terpisah dengan hutang. Artinya, rencana induk yang dibuat demi memenuhi kebutuhan alutsista bagi pertahanan kita hingga postur ideal tercapai memerlukan pinjaman dan pembayaran baik pokok dan bunganya butuh waktu 25 tahun.
"Kenapa bayar hutangnya sampai tahun 2045?"
Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pemerintah pernah menggaungkan program Minimum Essential Forces (MEF). Artinya, anggaran pertahanan akan ditingkatkan secara bertahap hingga mencapai pemenuhan kebutuhan esensial.
Hal tersebut pernah diungkap oleh SBY dalam sebuah Rapat Terbatas yang membahas soal pertahanan pada Mei 2010.
Kala itu, SBY menargetkan anggaran pertahanan bisa didongkrak hingga setidaknya mencapai 1,5% PDB. Namun sampai pemerintahan SBY berakhir, bahkan hingga pemerintahan Presiden Jokowi periode kedua, target itu belum terwujud.
Sebagai perbandingan, hingga saat ini, di antara 5 negara-negara ASEAN, belanja pertahanan Indonesia tercatat paling rendah. Pada tahun 2019, Malaysia membelanjakan 1% dari PDB, Singapura 3,2%, Thailand 1,3%, dan Filipina 1%.
Sementara Indonesia dari tahun 2010 hingga 2019 prosentasenya selalu di bawah 1%. Secara rata-rata adalah 0,68% setiap tahun. Terendah pada tahun 2010 yang hanya 0,26% dan tertinggi pada tahun 2015 yakni 0,92%.
"Iya, kenapa ngutangnya sampai harus dibebankan pada rakyat hingga tahun 2045?"
Seperti Jokowi pernah mengeksekusi UU No 4 tahun 2009 tentang mineral dan batubara baru pada awal 1 Januari 2020 dengan melarang ekspor SDA dalam bentuk raw material, sebelum masa jabatan keduanya berakhir, beliau ingin menuntaskan apa yang pernah dijanjikan oleh Presiden sebelumnya. Anggaran militer setara dengan 1,5% dari PDB.
Pemilihan Prabowo sebagai Menteri Pertahanan bukan tanpa alasan. Presiden mencermati apa yang pernah disampaikan oleh Prabowo tentang idealnya postur anggaran militer Indonesia saat debat capres 2019. Presiden Jokowi mengajak Prabowo mewujudkan apa yang juga menjadi mimpinya dan berjuang bersama dengan masuk dalam kabinet.Pembicaraan keduanya pasti sangat intensive. Apa yang diinginkan Jokowi terkait dengan postur ideal militer pada sebuah negara dipersanding dengan pengetahuan Prabowo sebagai sosok militer tangguh.
Hal ini dapat kita lihat dari pemakaian anggaran militer pada 2020 di mana itu adalah kali pertama Prabowo menggunakan dan mengaturnya sebagai Menhan.
Pada APBN 2020, Kemenhan mendapatkan alokasi belanja sebesar Rp 131,3 triliun. Dari jumlah tersebut, Kemenhan merealisasikan anggaran belanja sebesar Rp 117,9 triliun.
Berdasarkan program kerja kementerian, mayoritas dana tersebut digunakan untuk tiga program, yakni program penyelenggaraan manajemen dan operasional matra darat sebesar Rp 46,14 triliun, program penyelenggaraan manajemen dan operasional matra laut Rp12,62 triliun, program peningkatan sarana dan prasarana aparatur Rp12,14 triliun.
Tampak di sana, pada awal kepemimpinannya, khusus pada pembenahan di dalam, Menhan mengalokasikan lebih dari 65% dari anggarannya. Ada sebuah kondisi dimana konsolidasi dilakukan secara menyeluruh demi sebuah target.
Apa target ingin dikejar?
Baru pada 2021 Prabowo bersuara. "Presiden telah memerintahkan saya, satu tahun yang lalu untuk bersama-sama pimpinan TNI menyusun suatu masterplan, rencana induk, 25 tahun yang memberi kepada kita suatu totalitas kemampuan pertahanan," kata Prabowo saat menggelar konferensi pers di Bali, Kamis (22/4).
Tak lama, tak lebih dari 2 bulan sejak Konferensi pers di Bali, bocoran Rancangan Perpres yang sedang disusunnya ramai dijadikan polemik.
Mereka lupa bahwa itu masih berupa RANCANGAN dan masih harus dibahas bersama Menkeu, Presiden dan DPR.
Bila rancangan Perpres ini adalah apa yang oleh Prabowo dikatakan sebagai perintah Presiden, maka hal ini harus dimaknai sebagai rencana sekaligus program resmi pemerintah.
Kenapa harus 1.760 triliun rupiah dan harus berhutang hingga tahun 2045 dapat kita nalar secara sederhana melalui data.
Memaknai kalimat Prabowo yang berbunyi "rencana induk 25 tahun yang memberi kepada kita suatu totalitas kemampuan pertahanan" menjadi penting.
Ada sebuah grand design, ada roadmap pemenuhan alutsista yang harus dibuat dan hal ini terkait dengan kebiasaan lama negara ini yang butuh perubahan. Prabowo menamainya dengan rencana induk.
Apa dan kenapa harus diperbaharui, ini terkait dengan minim alutsista kita dari masa ke masa.
Hal ini tercermin dari laporan penggunaan anggaran dari tahun ke tahun sejak tahun 2.000, sejak reformasi. Tak ada tampak sebuah target pasti atas sebuah design pertahanan ingin dikejar bagi pemenuhan akan kebutuhan esensial alutsista tersebut. Tak tampak terencana secara sistematis demi pemenuhan target sebuah rencana induk.
Pembelian alutsista kita terkesan tambal sulam, membeli apa yang tampak kurang atau karena alasan rusak atau sudah tua misalnya. Kapal selam Nanggala yang belum lama ini tenggelam sebagai akibat, hanya satu contoh kecil adanya carut marut dalam banyak hal terkait alutsista tersebut.
Untuk itu, rencana induk harus dibuat. Untuk itu segala hal terkait tantangan, baik global maupun lokal, baik internal maupun eksternal, baik ancaman perang fisik maupun perang non fisik menjadi penting untuk menjadi satu dalam sama persepsi dan itu terlihat pada penggunaan anggaran pada 2020 di mana lebih dari 65% digunakan untuk konsolidasi ke dalam dan hasilnya tertuang dalam Rancangan Perpres yang hari ini menjadi pembicaraan.
Kita butuh TNI yang kuat demi menjaga setiap sudut negeri ini. TNI yang kuat juga membutuhkan alat utama sistem pertahanan yang mumpuni sekaligus memiliki daya gentar. Alat pertahanan yang mumpuni membutuhkan dana besar dan selama ini tak pernah mereka dapat.
Catatan sejak 2015 hingga 2020, rata-rata anggaran yang didapat oleh Kemenhan berkisar antara 100-117 triliun rupiah dan secara rata-rata setara dengan 0,75% dari PDB kita.
Atas anggaran yang didapat dari APBN yang berkisar antara 100-117 tersebut, rata-rata hanya 10-13% yang dapat digunakan untuk program modernisasi alutsista, non-alutsista, sarana dan prasarana seluruh matra atau angkatan. Itu hanya sekitar 10 hingga 14 triliun rupiah saja setiap tahun. Jumlah itu hanya mampu dipakai untuk membeli bahkan jauh dari minim.
Menhan atas perintah Presiden hanya berusaha ingin keluar dari jebakan yang selalu berulang, yang telah berlangsung sejak reformasi yakni TNI yang tak pernah memiliki kesempatan membangun dirinya demi memenuhi postur ideal kebutuhan alutsistanya.
Haruskah kita kembali mendengar kisah pilu Nanggala 402, pesawat tempur Hawk yang jatuh di Kampar, Riau, Hercules di Medan, helikopter MI 17 di Oksibil Papua, helikopter Bell-205 A1 di Jogja dan masih banyak lagi, dan semua terkait usia alutsista tersebut.
Di sisi lain, Laut China selatan diprediksi akan terus menjadi pusat konflik dunia dalam beberapa tahun kedepan dan kita berada di dalamnya.
"Bukan berarti harus ambil opsi utang lagi dong?"
Benarkah itu hutang yang akan sangat membebani APBN kita hingga tahun 2045 nanti masih harus kita perdebatkan.
Sama dengan banyak dari kita leasing mobil, hingga mobil tersebut tak lagi dapat kita gunakan pasti telah memberi manfaat yang dapat kita hitung secara ekonomis untung ruginya. Tentu saja sepanjang hal tersebut bukan demi gaya hidup. Pun alutsista kita.
Rencana induk yang dibuat demi capaian ideal postur pertahanan dan keamanan negara kita memang mengharuskan kita merogoh kocek kita lebih dalam dengan rata-rata penambahan sekitar 70 triliun setiap tahunnya hingga 25 tahun kedepan.
Bila hal itu terlaksana, itu menjadikan posisi anggaran pertahanan kita pada posisi 1,2%-1,3% dari PDB kita, masih di bawah angka ideal 1,5% yang pernah SBY rencanakan. Itu pun dengan asumsi bila PDB kita stagnant dari tahun ke tahun.
Padahal, prediksi World Bank dan IMF mengatakan bahwa pada 2024 PDB kita sudah akan mencapai 5000 miliar dolar. Bila benar, dan bila 1% saja dari jumlah tersebut dianggarkan untuk militer, itu sudah mencapai angka 50 miliar dolar atau 700 triliun. Jauh dari 180 triliun anggaran kita setelah penambahan kewajiban hutang 70 triliun sebagai program rencana induk tersebut.
Bila toh prediksi kedua lembaga itu terlalu optimis, layakkah kita masih juga pesimis bila pada 2023 dan 2024 PDB kita telah lebih dari 20 miliar dolar? Pun 1% nya masih lebih besar dari anggaran militer berikut cicilannya kan? Akankah itu tetap menjadi ketakutan dan beban kita hari ini?
Di sisi lain, bila perpres itu disetujui, bukankah hutang pertama hanya 20,7 miliar dolar demi pemenuhan alutsista hingga 2024 nanti?
Sisanya? Seharusnya menjadi wilayah pengganti Jokowi. Perpres itu hanya berbicara tentang rencana induk hingga tahun 2045. Kapan semua alutsista akan terbeli belum tampak di sana. Bisa tahun 2030 atau bahkan 2035 baru komplit seperti rencana induk itu sendiri.
Bahwa kebijakan itu dibuat oleh pemerintahan saat ini, bukankah itu sesuatu yang wajar?
Yang jelas, sejak perpres ini disahkan, arah pembangunan militer kita memiliki rel yang pasti.
Yang jelas, kecelakaan yang tak perlu akibat usia tua alutsista kita tak lagi harus memakan korban prajurit kita.
Dan yang jelas, ketika konflik Laut China Selatan makin meluas, rasa aman rakyat Indonesia atas jaminan keamanannya terlindungi oleh hadirnya para prajurit TNI.
Dan terakhir, satu hal yang juga pasti, apa yang kita ributkan belum terjadi. Apa yang kita sedang diperdebatkan belum pernah ada. Itu masih berupa rancangan. Itu masih harus melalui diskusi dan debat panjang dengan Menkeu, Presiden dan DPR RI.
Tapi bila pertanyaannya adalah apakah anda setuju terhadap masterplan, rencana induk, 25 tahun yang memberi kepada kita suatu totalitas kemampuan pertahanan dituangkan pada Perpres, secara pribadi saya setuju. Saya melihat sinergi Presiden Jokowi dan Menhan Prabowo terbangun dengan sempurna.
.
.
RAHAYU
.
Karto Bugel
Penulis: Karto Bugel
Editor: Obor Panjaitan
Diedarkan ke publik Oleh Media Nasional Obor Keadilan.