Oleh: Redaksi Media Nasional Obor Keadilan
Dinas Pendidikan Kota Depok kembali menjadi sorotan. Program “Sekolah Inklusi SD” yang tercatat menelan anggaran ratusan juta rupiah per item diduga kuat tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hasil penelusuran Media Nasional Obor Keadilan menunjukkan bahwa sejumlah sekolah dasar negeri di Kota Depok tidak mengetahui adanya penempatan psikolog, terapis, atau tenaga ahli yang dibiayai APBD 2025, meskipun kegiatan tersebut tercatat resmi dalam RUP (Rencana Umum Pengadaan) LKPP.
Penelusuran dilakukan secara acak di beberapa sekolah dasar di wilayah Kalibaru, Cilodong, dan Cipayung. Para operator sekolah hingga kepala sekolah menyampaikan informasi yang konsisten: program eksklusif inklusi yang menghabiskan ratusan juta rupiah itu tidak pernah disosialisasikan, tidak jelas mekanismenya, dan dalam beberapa kasus bahkan tidak diketahui keberadaannya sama sekali.
Seorang operator SD Negeri di Kecamatan Cilodong menyebut, “Setahu saya hanya SD Kalibaru 3 yang dulu pernah ada tes psikolog. Itu pun sesekali. Tahun ini ada atau tidak, kami juga tidak tahu.”
Keterangan serupa juga disampaikan kepala salah satu SD Negeri di Cipayung, yang menyatakan bahwa program tersebut “biasanya ada”, namun tidak mengetahui apakah tahun 2024–2025 kegiatan itu benar-benar dilaksanakan.
Lebih mengejutkan lagi, ketua K3S (Kelompok Kerja Kepala Sekolah) tingkat Kota Depok—yang semestinya mengetahui seluruh program strategis pendidikan dasar—tidak bersedia menjelaskan secara terbuka dan meminta agar pertemuan dilakukan langsung. Sikap ini memunculkan tanda tanya besar terkait transparansi dan pelaksanaan program tersebut.
DUGAAN PROGRAM “ATAS KERTAS”
RUP Disdik Depok mencatat beberapa paket kegiatan swakelola dengan nilai ratusan juta yang diklaim untuk mendukung sekolah inklusi SD, di antaranya: Jasa psikolog/asesmen,Layanan terapis siswa ABK, Tenaga kependidikan inklusi, Pelatihan dan pendampingan
Namun seluruh paket ini hanya ditulis sebagai “1 paket”, tanpa rincian jumlah tenaga, durasi kerja, tarif per orang, maupun sekolah penerima layanan. Format seperti ini melanggar prinsip dasar akuntabilitas pengadaan barang/jasa pemerintah.
Temuan lapangan yang menyatakan bahwa “sekolah tidak mengetahui adanya program” menguatkan dugaan fiktif sebagian, yakni kegiatan dibuat minimal atau sekadar formalitas sementara anggaran direalisasikan seolah-olah kegiatan berjalan penuh.
POTENSI PELANGGARAN ATURAN
Model penganggaran seperti ini berpotensi melanggar berbagai ketentuan, di antaranya:
1. Permendagri 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah
Pasal 90–97 mewajibkan:
-
rincian output,
-
spesifikasi teknis,
-
standar biaya,
-
mekanisme pelaksanaan yang terukur.
Paket “1 paket tanpa rincian” melanggar asas akuntabilitas dan keterukuran.
2. Perpres 16 Tahun 2018 jo. 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Swakelola tipe I hanya dapat dilakukan bila:
-
ada kebutuhan spesifik,
-
ada bukti kapasitas organisasi,
-
ada dokumen teknis lengkap.
Ketiadaan rincian tenaga ahli dan output merupakan bentuk ketidakterpenuhan syarat.
3. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 298 mengatur bahwa belanja daerah harus:
-
efektif,
-
efisien,
-
transparan,
-
bertanggung jawab.
Jika sekolah tidak mengetahui program yang diklaim untuk mereka, prinsip ini telah dilanggar.
4. UU Tipikor (UU 31/1999 jo. 20/2001)
Berpotensi mengarah pada pasal:
-
Pasal 3: penyalahgunaan kewenangan,
-
Pasal 9–10: penggelapan dalam jabatan,
-
Pasal 12 huruf e: memanipulasi pembayaran fiktif.
Jika anggaran diserap tanpa layanan nyata di sekolah, unsur perbuatan melawan hukum dapat terpenuhi.
PROGRAM SEHARUSNYA HADIR DI SEKOLAH, BUKAN DI ATAS KERTAS
Program inklusi adalah layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Dalam praktik normal, sekolah SD harus menerima:
-
pendampingan psikolog,
-
asesmen berkala,
-
kunjungan terapis,
-
laporan hasil layanan,
-
koordinasi resmi dengan pihak Dinas Pendidikan.
Namun dari data lapangan:
-
tidak ada SK penugasan tenaga ahli,
-
tidak ada jadwal layanan,
-
tidak ada dokumentasi kegiatan,
-
tidak ada laporan asesmen,
-
tidak ada sosialisasi resmi ke sekolah.
Ketidakhadiran seluruh elemen tersebut menunjukkan bahwa program ini lemah secara administratif dan berpotensi bermasalah secara hukum.
Berdasarkan hasil penelusuran lapangan, struktur RUP, dan komentar para pihak di sekolah:
Program Inklusi SD di Depok tahun anggaran 2025 ditengarai tidak terlaksana sebagaimana tercatat dalam dokumen resmi.
Sekolah sebagai penerima manfaat utama justru menjadi pihak yang paling tidak mengetahui program, membuka dugaan bahwa kegiatan tersebut tidak dilaksanakan secara penuh atau hanya dilaporkan secara administratif tanpa aktivitas nyata di lapangan.
Media Nasional Obor Keadilan akan melanjutkan investigasi lebih jauh, termasuk meminta klarifikasi resmi dari Kepala Dinas Pendidikan Kota Depok, Kabid terkait, serta melakukan penelusuran dokumen pendukung seperti SK tenaga ahli, daftar hadir, dan laporan pertanggungjawaban kegiatan.
MEDIA NASIONAL OBOR KEADILAN
BERSAMBUNG,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
