Natalius Pigai: Aktivis Kemanusiaan, Alumni PMKRI dan Tokoh Muda Nasrani Indonesia.
TIDAK MEMILIH “DIA” JUGA TIDAK BERDOSA
Oborkeadilan.com | Pada tahun 1997 Indonesia memasuki tahap yang paling dinamis dan kritis setelah sekian lama bangsa ini tersandera dalam otoritarianisme Ode Baru. Sepulang dari salah satu markas militer setelah diinterogasi karena aksi mahasiswa menuntut pembubaran Fraksi ABRI di DPR, Kebebasan Pers, Kebebasan Ekspresi, Penghentian DOM di Papua dan Aceh serta pemilihan yang demokratis, jujur dan adil. Di saat dimana Ketua Umum Partai Demokrasi Perjuangann Megawati Sukarnoputri hak politiknya disunat pada masa pemilihan umum (Pemilu) 1997. Situasi dimana muncul sentimen dan prahara rasialisme dimana-mana. Semula dari kampanye politik, berkembang jadi sentimen agama dan etnis, dari etnis Madura, merembet pada elemen etnis Maluku yang bersitegang dengan etnis Sulawesi Selatan (Bugis, Buton, dan Makassar), Bangsa Aceh bersitegang dengan suku Jawa. Warga Tionghoa juga tak luput dari sasaran dengan mengembuskan sentimen anti-Cina dimana permukiman mereka dirusak, dibakar, dan dijarah.
Dalam suasana yang tegang dan mencekam, di atas meja Margasiswa PMKRI, Jalan Wahidin, Jogjakarta ada sebuh Surat Gembala Prapaskah KWI 1997. Isi surat tersebut menjelang Pemilihan Umum pada bulan Mei 1997, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) mengeluarkan Surat Gembala Prapaskah. Isinya antara lain berbunyi sebagai berikut :''Kalau Anda merasa tidak terwakili dan yakin dengan suara hati yang jernih dan kuat bahwa kedaulatan Anda tidak tersalurkan, kami dapat mengerti bahwa Anda mengungkapkan tanggungjawab dan kebebasan Anda dengan tidak memilih, dan Anda tidak berdosa apabila tidak memberikan suara''. Pernyataan ini disampaikan oleh Konferensi Waligereja Indonesia pada waktu itu, karena Pemilihan Umum semakin jelas hanyalah sandiwara untuk mempertahankan kekuasaan, bukan dalam rangka mewujudkan kebaikan bersama (bonum commune) sebagai kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berdasarkan pengamatan sepintas, amatlah jelas bahwa yang berkembang di tengah masyarakat adalah politik kepentingan entah kelompok atau bahkan pribadi, bukan politik yang memperjuangkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Berbagai masalah yang timbul di bidang ekonomi, agama, hukum, kebudayaan, pendidikan, lingkungan hidup alami dan manusiawi dilihat sebagai akibat dari keburaman dunia politik bangsa mengancam keadaban politik.
Pada saat ini ternyata bukan kepentingan bangsa yang diutamakan. Dengan demikian 'politik terasa semakin menyengsarakan rakyat, membuat banyak orang tidak percaya lagi terhadap mereka yang memegang kendali pemerintahan serta sumber daya ekonomi dan mengikis rasa saling percaya di antara warga terhadap sesamanya.
Rakyat Indonesia menyaksikan kegagalan pemerintah saat ini yang membawa bangsa Indonesia tersandera dalam ancaman dan negara makin tidak berwibawa akibat perilaku amoralitas penguasa; kebocoran keuangan negara, korupsi merajalela, memperdagangkan pengaruh, jual beli jabatan, perilaku mesum yang justru dilakukan oleh orang-orang yang melingkari istana, pusat kekuasaan negara. Pemerintah juga menyandera pilar-pilar demokrasi, hak asasi manusia, perdamain dan keadilan melalui instrumen demokrasi yaitu partai politik, media massa, lembaga penegak hukum. Bangsa ini sedang mengalami distorsi arah dan gradasi nilai-nilai konstitusi dan landasan idil.
Indonesia saat ini sedang menghadapi berbagai persoalan yang kompleks. Ancaman bisnis trans-nasional, kejatahan dunia maya (cyber crime) , terorisme, penyelundupan dan perdagangan narkotika , kejahatan perdagangan manusia (human trafficking), pencucian uang (money loundering), korupsi dan perdagangan jabatan, perilaku amoralitas pejabat negara, ancaman konflik horizontal dan konflik vertikal antara Negara dan Rakyat dan lain sebagainya.
Semua permasalahan di atas tidak sekedar mengancam instabilitas sosial dan integritas nasional, namun juga mengganggu nilai-nilai fundamental seperti kebhinekaan dan Pancasila sebagai fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hari kita hadapi ancaman kejahatan konvensional yang membutuhkan penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana. Menguatnya kelompok eksklusivme suku, agam, ras dan antar golongan serta penetrasi kapital dan hegemoni negara idikasi adanya komprador antara negara dan swasta. Selain gangguan keamanan dan ketertiban dalam negeri (internal disorder) juga ancaman eksternal (externar threat) berupa ancaman negara lain, pengaruh perang proxy dan lain sebagainya.
Itulah hasil produksi selama 4,5 tahun. Pemerintah mestinya menyadari bahwa negara ini dilahirkan karena adanya penjanjian antara rakyat dan negara (pactum subjectionis), maka negara tidak bisa serta merta mengatur sesuai kehendak pribadi. Presiden memiliki ruang terbatas yang dibatasi okeh kekuasan yang bersumber dari konstitusi. Apakah bernalar jika 4,5 tahun Presiden Joko Widodo yang pemimpin tertinggi sebagai Kepala Negara dan juga Kepala Pemerintahan perlu membentengi diri dari oposisi pemerintah? Ironi, bahwa saat partai-partai yang justru mengusung kader terbaik mereka menjadi Presiden Republik Indonesia berusaha keras untuk mempertahankan kedigdayaan dengan menyalahgunakan kekuasaannya (abuse of power) dari ancaman hanya sekedar tekanan verbal, juga mau mempergunakan segala kekuasaannya untuk mempertahankan jabatanya pada periode berikut. Maaf, adalah sesat pikir dan sesat nalar.
Di saat presiden yang berada di Bizantium Kekuasaan yang saban hari disembah sujud oleh semua elemen bangsa justru memanfaatkan semua instrumen negara hanya untuk melindungi diri sendiri yang berkuasa luar biasa. Sementara rakyat kecil berjuang setengah mati mencari perlindungan dan keadilan di negeri ini.
Presiden pemangku jabatan publik sehingga mutlak untuk dinilai baik dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab maupun juga cara bertutur, bertindak, mentalitas dan moralitasnya sebagai panutan seluruh rakyat. Presiden juga harus siap menerima berbagai cacian, makian, kritikan yang berorientasi kepada merendahkan harga diri dan martabat sekalipun sebagai bagian yang tidak terpisahkan antara jabatan presiden dan pribadi.
Pada saat ini, Negara gagal mencari jalan keluar bagaimana negara memberi ruang ekspresi bagi kelompok oposisi dan intelektual atau juga masyarakat untuk menjalankan keseimbangan (checks and balances) terhadap kekuasaan. Hal ini penting untuk antisipasi agar kekuasaan tidak memupuk pada seorang individu yang cenderung otoriter dan bernafsu menyalahgunakan kewenangan (powers tens to corrupt and will corrupt absolutely).
Pemerintah jangan hadir seperti monster leviathan yang menerkam rakyat karena menyalahi kodratiyah lahirnya sebuah negara yaitu demi melindungi dan membawa perlindungan dari bahaya saling menerkam (homo homini lupus).
Negara kita menganut sistem meritokrasi dalam rekrutmen pemimpin termasuk jabatan Presiden Republik Indonesia. Presiden terpilih melalui seleksi dan hasil pemilihan umum. Kedaulatan Presiden merupakan resultante dari kedaulatan individu melalui kumpulan satu orang, satu suara, satu nilai (summa Potestas, sive summum, sive imperium dominium). Karena itu rakyat berhak mencabut kedaulatan melalui pemilihan, namun andaikan kedaulatannya individu disumbat dan tidak memungkinkan untuk disalurkan, maka saya ingatkan kembali Surat Gembala KWI 1997 yaitu “Tidak Memilih “Dia” Juga Tidak Berdosa”.
Penulis: Natalius Pigai, Aktivis Kemanusiaan, Alumni PMKRI dan Tokoh Muda Nasrani Indonesia.
MEDIA NASIONAL OBOR KEADILAN