SEK SMP NEGERI 3 DEPOK DIDUGA MENJADI BANDAR PUING BONGKARAN DIHIBAHKAN SEPIHAK KE LSM LAKRI, GENTENG DISEBUT TERBARING SAMPAI MAJALENGKA
Depok – Media Nasional Obor Keadilan | Alur penyimpangan aset pendidikan di Kota Depok makin terang. Penelusuran menemukan dugaan bahwa Kepala Sekolah SMP Negeri 3 Depok bertindak layaknya “bandar puing bongkaran”, melepas material bangunan milik negara tanpa izin Wali Kota, tanpa rekomendasi Badan Keuangan Daerah (BKD), dan tanpa prosedur resmi pengelolaan barang milik daerah. Material yang dihibahkan sepihak itu disebut mengalir ke LSM LAKRI, bahkan jejak genteng bongkaran diduga terbawa hingga Majalengka.
Dalam perspektif Hukum Administrasi Negara, kepala sekolah tidak memiliki atribut wewenang maupun delegasi untuk memindahtangankan, menghibahkan, atau mengalihkan aset daerah. Wewenang hibah hanya dimiliki kepala daerah dan dijalankan melalui BKD sebagai pengelola barang milik daerah. Tanpa dua unsur ini, setiap tindakan pelepasan aset otomatis menjadi cacat administrasi, melanggar asas legalitas, asas kecermatan, asas akuntabilitas, dan masuk kategori penyalahgunaan wewenang.
Celah administratif ini justru menjadi pintu utama dugaan permainan aset. Material bongkaran sekolah yang bernilai puluhan hingga ratusan juta rupiah dialihkan seperti barang pribadi, tanpa audit nilai ekonomis, tanpa proses penghapusan aset, tanpa berita acara sah. Praktik ini membuka dugaan bahwa puing bukan sekadar dihibahkan, tetapi juga dijual dan dibagi hasilnya.
Beberapa aktivis yang menelepon Redaksi Obor Keadilan menyebut tindakan ini “sudah masuk ranah pidana penyalahgunaan wewenang.” Menurut mereka, tidak pernah ada sejarah kepala sekolah SMP negeri di Indonesia menyerahkan aset negara kepada LSM mana pun. Mereka menegaskan, “Ini harus dilaporkan. Kepala sekolah jelas bukan pejabat pengelola barang daerah.”
Seorang praktisi hukum yang mengikuti ramainya polemik di media sosial menambahkan bahwa tindakan sepihak seperti ini tidak bisa dibenarkan oleh alasan kedaruratan ataupun diskresi. Kepala sekolah, katanya, “tidak punya secuil pun dasar hukum menyerahkan aset negara ke LSM. Apalagi hasilnya tidak jelas dan barangnya mengalir ke luar kota.”
Dari lapangan, informasi yang dihimpun menunjukkan sebagian material bongkaran—termasuk genteng dan kayu—diduga dibawa hingga Majalengka. Alur pemindahan ini memperkuat dugaan adanya jaringan distribusi barang bongkaran yang melibatkan pihak ketiga di luar Depok.
Sementara itu, Dinas Aset Pemkot Depok ketika dimintai klarifikasi justru bungkam. Tidak memberikan penjelasan, tidak menyangkal, tidak meluruskan. Keheningan ini ditafsir publik sebagai tanda ketidakmampuan atau ketidakberanian, bahkan ada yang menduga pejabat internal sudah ikut menikmati hasil penjualan sehingga memilih diam.
Dari sudut pandang HAN, sikap bungkam otoritas pengelola aset ini justru mengindikasikan maladministrasi struktural—sebuah kondisi di mana pelanggaran dilakukan bukan hanya oleh pelaku di lapangan, tapi juga dibiarkan oleh lembaga yang seharusnya mengawasi.
Pola yang terbentuk kini makin jelas: hibah ilegal, pengalihan aset tanpa izin, aliran material keluar kota, pejabat diam, dan publik yang mulai bertanya siapa sesungguhnya yang bermain di balik puing-puing sekolah negeri di Depok.