Oleh: La Ode Arukun | Ketua Umum Lembaga Advokasi dan Kemitraan Informasi Publik (LAKIP)
Dugaan adanya cawe-cawe dalam penanganan kasus hukum di Polres Wakatobi kembali mencuat ke permukaan, menyusul penetapan salah satu anggota DPRD Wakatobi sebagai tersangka kasus pembunuhan yang terjadi sekitar 11 tahun lalu, sebelum ia menjabat sebagai anggota legislatif.
Yang mengejutkan, figur ini sempat ditetapkan sebagai DPO (Daftar Pencarian Orang) dan kini kembali menjabat sebagai wakil rakyat. Ini menjadi tamparan keras terhadap integritas penegakan hukum di wilayah Wakatobi, dan memunculkan pertanyaan serius: Bagaimana bisa seseorang yang berstatus tersangka dan DPO mendapatkan SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian) dan lolos sebagai caleg?
Sebagai lembaga advokasi publik, kami menilai ini sebagai indikasi kebobrokan sistemik dalam institusi kepolisian di Wakatobi, terutama dalam menjalankan fungsi dasarnya: menegakkan hukum, memelihara Kamtibmas, serta melindungi dan mengayomi masyarakat.
Saya, La Ode Arukun, sebagai Ketua Umum LAKIP, menyayangkan keras sikap Polres Wakatobi yang terkesan abai dan tidak bersungguh-sungguh dalam mengawal kasus serius seperti ini. Penerbitan SKCK untuk calon legislatif yang berstatus DPO merupakan kejanggalan hukum yang tak bisa dianggap remeh. Ini bukan hanya soal prosedural, tapi juga soal tanggung jawab moral dan hukum terhadap masyarakat.
🔍 Korban Fitnah, Bukti Tak Kuat, Penyidikan Diulang?
Masalah tidak berhenti sampai di sana. Kami juga menerima laporan mengenai seorang warga yang menjadi korban fitnah, dituduh dalam kasus pidana yang tidak memiliki dasar bukti kuat, bahkan tidak ada keterangan saksi yang mendukung. Kasus ini sempat dihentikan melalui SP3 oleh Polda Sulawesi Tenggara, namun anehnya, korban kembali dipanggil pada tahun 2024–2025 oleh penyidik Polres Wakatobi.
Pertanyaannya: Ada apa dengan Polres Wakatobi?
Mengapa kasus yang telah dihentikan secara hukum kembali dihidupkan, padahal tidak ada bukti tambahan atau dasar baru yang jelas?
Lebih parah lagi, hingga kini pelapor atau pihak yang memfitnah tidak pernah dihadirkan untuk dikonfrontasi dengan korban, seolah-olah ada yang sengaja menutupi atau mempermainkan proses hukum. Akibatnya, korban mengalami kerugian materil dan immateril, kehormatan dan martabatnya tercabik, dan keluarganya — terutama anak-anaknya — mengalami trauma psikologis mendalam.
Institusi Kepolisian Harus Jadi Benteng Rakyat, Bukan Alat Kekuasaan
Kami menegaskan bahwa institusi kepolisian tidak boleh menjadi alat permainan kekuasaan atau elite politik. Masyarakat berhak mendapat perlindungan dan rasa keadilan yang sejati.
Kalau kepolisian saja tidak bisa menjamin itu, kemana lagi rakyat harus melapor?
📝 Catatan:
Naskah artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis sebagai bentuk ekspresi pendapat, sesuai dengan hak menyampaikan opini yang dijamin oleh Undang-Undang.
