Foto : Suasana sel tahanan.
MEDIA NASIONAL OBOR KEADILAN | JAKARTA | Langkah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), melalui Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjenpas) Sri Puguh Budi Utami mencopot Kepala Rumah Tahanan (Rutan) Kelas I Tangerang, Provinsi Banten dinilai tepat.
Tindakan itu sekaligus menjadi preseden baik ke depan dalam memperlihatkan ketegasan agar dugaan jual beli sel atau kamar tahanan tak kembali terulang.
Sebelumnya, melalui surat nomor PAS.KP.04.01-70 tertanggal 28 Maret 2019, Dirjenpas mencopot Karutan Kelas I Tangerang dan Kepala Kesatuan Pengamanan rutan yang lebih dikenal dengan Rutan Jambe.
Kebijakan itu dikeluarkan sebelum Ombudsman menerima pengaduan dari keluarga salah satu tahanan yang menyebutkan diminta Rp15 juta oleh sesama penghuni rutan.
Sebanyak Rp6 juta digunakan untuk mendapatkan kamar atau sel selepas masa pengenalan lingkungan, dan sisanya untuk mengurus yang lain.
Pengamat kebijakan publik Syafuan Rozi menyatakan kebijakan pencopotan itu adalah sanksi moral bagi pejabat yang melakukan pelanggaran etika.
“Untuk dugaan tindak pidana, serahkan kepada penegak hukum, sehingga hukuman bagi pejabat yang bersangkutan cukup berat. Ditambah kewajiban mengembalikan apa yang diterima,” ujar Syafuan, dalam keterangannya, Rabu (10/4/2019).
Menurut Syafuan, dugaan jual beli di Rutan Jambe ini adalah pukulan berat bagi Ditjenpas yang belum lama menghadapi kasus serupa di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Bandung, memvonis mantan Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Klas I A Sukamiskin Bandung, Wahid Husen, delapan tahun penjara pada Senin (7/4/2019).
Wahid Husen juga harus membayar pidana denda Rp400 juta subsider empat bulan, terkait suap pemberian fasilitas mewah di lapas yang dia pimpin.
Syafuan menilai, pada kasus eks Kalapas Sukamiskin itu, Ditjenpas sudah menerapkan langkah tepat, yakni tidak memberikan pendampingan hukum pada pegawainya yang bermasalah dengan hukum. Dia berharap, hal serupa diterapkan pada dua eks pejabat Rutan Jambe yang dicopot.
“Ada dua peristiwa sama dan hampir bersamaan waktunya, tentu ini pukulan berat bagi Ditjenpas, namun kebijakan yang ditempuh sudah tepat,” kata Syafuan.
Dia menganjurkan hukuman berat bagi pegawai lembaga itu yang melakukan tindak pidana harus dilakukan guna membuat efek jera. Seperti mengembalikan berkali lipat hasil kejahatannya.
“Untuk menutup peluang perbuatan yang serupa, Kementerian Hukum dan HAM terus membenahi sistem pengawasan pegawai Ditjenpas,” ujar dia.
Adapun salah satu cara untuk menutup peluang praktik jual beli di lapas maupun rutan menurutnya adalah dengan mutasi dan rotasi jabatan. Menurut dia, untuk jabatan kalapas atau karutan seharusnya tidak boleh sampai diemban lima tahun dalam satu periode.
Syafuan menilai perlu adanya perangkat pengawasan berlapis seperti penambahan kamera pengawas atau CCTV dan x-ray yang baik di LP dan Rutan.
Hal itu agar menunjukkan bahwa pengamanan Rutan semakin ketat sehingga petugas dan penghuni lapas atau rutan tidak berani melakukan tindak kejahatan.
Anggota Komisi III DPR Taufiqulhadi menilai pencopotan tersebut merupakan upaya untuk mencegah kembalinya kasus serupa dikemudian hari. Dia mengapresiasi langkah Dirjen PAS.
“Kami mengapresiasi. Itu langkah tegas yang diambil oleh Dirjen PAS. Tidak boleh ada jual beli kamar tahanan. Itu sangat tidak pantas dilakukan,” kata Taufiqulhadi.
Kendati demikian, dia juga setuju agar Dirjen PAS perlu lebih mengetatkan pengawasan kepada pegawai Lapas dan Rutan. Hal ini untuk mencegah adanya praktik serupa di dalam Lapas dan Rutan lainnya.(*)