Situasi berubah ketika Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI sampai ke tangan Obor Panjaitan. Jurnalis yang dikenal idealis dan tak segan melaporkan dugaan penyimpangan uang negara kepada aparat penegak hukum ini kemudian melakukan observasi dan penelusuran investigatif.
Hasilnya mencengangkan. Temuan resmi BPK mengonfirmasi adanya Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) senilai Rp133 miliar yang tidak dianggarkan dalam APBD Kota Depok Tahun 2023—sebuah fakta yang muncul bertepatan dengan masa kampanye Pilkada, ketika isu transparansi dan akuntabilitas keuangan publik seharusnya berada di titik paling terang.
Temuan BPK tersebut menegaskan satu hal mendasar: uang negara senilai Rp133 miliar telah beredar dan digunakan di wilayah Kota Depok tanpa tercermin dalam dokumen anggaran daerah. Dalam tata kelola keuangan negara, APBD bukan sekadar dokumen administratif, melainkan instrumen hukum yang menjadi dasar perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan penggunaan uang publik. Ketika dana sebesar itu tidak dianggarkan, maka fungsi kontrol negara secara sistemik melemah.
BPK mencatat bahwa Dana BOS tersebut seharusnya disajikan sebagai Pendapatan Transfer Pemerintah Pusat sekaligus Belanja Hibah BOS dalam Laporan Realisasi Anggaran (LRA). Namun karena tidak dianggarkan, kedua pos itu disajikan lebih rendah dari kondisi sebenarnya (understated). Konsekuensinya, APBD Kota Depok Tahun 2023 tidak menggambarkan realitas keuangan yang sesungguhnya, khususnya pada sektor pendidikan swasta.
Secara nasional, Dana BOS memang bersumber dari APBN dan ditransfer langsung ke rekening sekolah. Mekanisme ini dirancang untuk mempercepat penyaluran dan menghindari birokrasi berlapis. Namun sistem tersebut tidak menghapus kewajiban pemerintah daerah untuk mencatat dan menganggarkannya dalam APBD. Pencatatan ini penting agar dana pendidikan berada dalam satu sistem pengawasan yang utuh—mulai dari DPRD, inspektorat daerah, hingga BPK.
Dalam konteks ini, temuan BPK tidak mempersoalkan legalitas Dana BOS, melainkan ketidakpatuhan Pemkot Depok dalam aspek perencanaan dan penganggaran. Ketika dana tidak masuk APBD, DPRD kehilangan ruang konstitusional untuk melakukan pengawasan anggaran, sementara publik kehilangan akses informasi terhadap peredaran uang negara yang nilainya sangat signifikan.
Lebih jauh, kondisi tersebut menciptakan risiko pengendalian pada tahap pertanggungjawaban. Tanpa jangkar APBD, pelaporan pertanggungjawaban (SPJ) Dana BOS di tingkat pelaksana hanya bertumpu pada kelengkapan administrasi internal dan juknis sektoral, tanpa uji kewajaran berbasis pagu dan target anggaran daerah. Dalam perspektif audit, situasi ini dikenal sebagai kelemahan Sistem Pengendalian Intern (SPI)—istilah yang juga digunakan BPK dalam laporan tersebut.
BPK sendiri menegaskan bahwa pemeriksaan keuangan tidak dirancang untuk menemukan seluruh pelanggaran hukum, melainkan untuk menilai kewajaran penyajian laporan keuangan. Oleh karena itu, masuknya temuan Dana BOS Rp133 miliar dalam LHP menunjukkan bahwa persoalan ini dinilai material dan berdampak signifikan terhadap kualitas laporan keuangan Pemkot Depok. Dengan kata lain, ini bukan temuan sepele yang bisa diselesaikan dengan klarifikasi singkat.
Dari sisi tata kelola, tanggung jawab atas tidak dianggarkannya dana tersebut tidak berada pada sekolah penerima. Sekolah swasta hanya menerima dan menggunakan dana sesuai ketentuan pusat. Kewenangan dan tanggung jawab pencatatan APBD berada pada pemerintah daerah, khususnya Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), Sekretaris Daerah selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah, serta kepala daerah sebagai penanggung jawab APBD.
Momentum politik saat temuan ini mengemuka menambah sensitivitas persoalan. Fakta bahwa temuan BPK tersebut muncul bertepatan dengan masa kampanye Pilkada menegaskan pentingnya transparansi anggaran sebagai isu publik, bukan sekadar laporan teknis antar-lembaga. Pendidikan adalah sektor strategis, dan setiap rupiah dana pendidikan harus dapat ditelusuri secara terbuka.
Media Nasional Obor Keadilan memandang temuan ini sebagai alarm tata kelola, bukan vonis pidana. Namun alarm yang diabaikan berpotensi berubah menjadi krisis hukum. Karena itu, klarifikasi terbuka dari pemerintah daerah menjadi kebutuhan mendesak agar publik memperoleh penjelasan yang utuh dan dapat diuji.
Sebagai tindak lanjut, Ketua Umum Ikatan Pers Anti Rasuah (IPAR), Obor Panjaitan, menyatakan bahwa berdasarkan temuan resmi BPK dan hasil observasi-investigasi yang telah dilakukan, kasus Dana BOS Rp133 miliar yang tidak dianggarkan dalam APBD Kota Depok Tahun 2023 akan dipersiapkan untuk dilaporkan ke Kejaksaan Agung Republik Indonesia, guna memastikan adanya penilaian hukum yang independen, objektif, dan berkeadilan atas pengelolaan uang negara tersebut.

