Melalui izin penguasaan tanah dan hutan adat seluas 167.912 Ha, PT. Toba Pupl Lestari (PT.TPL) melakukan eksploitasi alam kawasan danau toba dan menerapkan praktek kerja perbudakan dan berwatak eksploitatif atas 7.000 tenaga manusia yang disebut sebagai Buruh Harian Lepas (BHL). Istilah ini bukan sekedar penyebutan, lebih semacam pengkastaan (pembeda) status sosial dan stigma golongan buruh rendahan, yang seolah pantas mendapatkan beban kerja yang berat dengan cara kerja dan alat kerja yang tradisional, sehingga pantas pula diperlakukan tanpa jaminan kesejahteraan dengan menerima upah murah, tanpa perlindungan kerja dan fasilitas penunjang hidup yang rendah.
Tak heran, korelasi dari praktek sistim kerja yang buruk ini menjadi sumber (laba) keuntungan bagi TPL, sebagaimana TPL mencatatnya dalam Annual Report Tahun 2020 bahwa hasil penjualan bersih mencapai USD 126.023 juta atau sebesar Rp. 1,8 Trilliun (nilai tukar rupiah seharga Rp. 14.529 per dollar rerata ditahun 2020). Skema eksploitatif dari sistem kerja perbudakan yang dipraktekkan TPL di era masyarakat modern ini, diantaranya :
Mereka yang berstatus buruh harian lepas (BHL) menerima beban kerja melalui perusahaan sub kontraktor-sub kontrak yang berjumlah sekitar 46 – 49 unit badan usaha yang menjadi mitra PT. TPL dalam melakukan pekerjaan borongan di area produksi seluas 70.074 Ha. Luasan area produksi ini dikerjakan oleh 7.000 BHL, maka secara tidak langsung tiap-tiap BHL menerima tanggung jawab beban pekerjaan seluas 10 Ha. Projek penanaman dan perawatan ini digarap secara simultan seluas 14.000 per tahunnya atau sekitar 23.338.000 pohon. Sehingga dapat memproyeksi hasil panen kayu log sekitar 1.937.054 – 1.960.000 ton dalam setahun, dengan nilai panen berkisar 1,2 Trilliun bila disesuaikan dengan harga kayu Log eukaliptus sebesar Rp. 650.000 per ton yang telah dicatatkan oleh Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI).
Upah yang dibayarkan oleh TPL dalam setahun, tidak sebanding dengan total nilai hasil panen kayu log tersebut. Dibawah intervensi sistem kerja target, ke 7.000 orang BHL ini hanya menerima upah murah dan jauh dibawah ketentuan UMK bahkan lebih jauh dari nilai hasil kerjanya. Upah per hari dibayar melalui Sub Kontraktor sebesar Rp. 80.000 – Rp. 85.000 dan yang diterima tidak lebih dari Rp. 2.000.000 per bulan dengan 25 hari kerja atau sekitar Rp. 24.000.000 dalam setahun dan bila dikalikan dengan jumlah seluruh BHL maka total pembayaran upah dalam setahun berkisar Rp. 168 Milliar. Namun mereka sangat sulit mendapatkan upah segitu, disebabkan oleh hujan atau sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan. Situasi sulit tersebut, menyebabkan mereka hanya menerima upah rerata berkisar Rp. 1.800.000 per bulan.
Hal terperah dialami oleh BHL yang bekerja diprojek Pemanenan (penebangan), tiap ton hasil kayu log hasil tebang hanya dibayarkan sebesar Rp. 10.000 (data pada tahun 2017). Dalam sehari mereka dapat memanen sebanyak 25 ton, dengan upah sebesar Rp. 250.000. Namun jam kerja mereka berkisar 12 – 14 jam sehari, bahkan hingga jam 03.00.wib baru berhenti kerja dan esok paginya kembali lagi bekerja. Sebagian BHL pemanen ini, menghabiskan kehidupannya dibawah tenda. Tinggal dan tidur berminggu-minggu di bawah tenda plastik yang mereka buat dengan ala kadarnya, dengan cara nomaden seiring semakin jauhnya jangkauan area penebangan, dan diantara mereka ada yang membawa istri dan anak-anaknya sekaligus.
Rendahnya upah yang diterima, tidak sebanding dengan biaya pemenuhan kebutuhan hidup. Rata-rata anggota rumah tangga BHL sebanyak 4 orang dengan total pengeluaran kebutuhan hidup yang teramat rendah yang berkisar Rp. 2.768.500, tidak termasuk tanggungan biaya sekolah anak tingkat SMP dan SMA. Kenyataan ini membuat BHL tidak meletakkan arti penting pemenuhan kalori dan gizi, mereka senantiasa mengkonsumsi daun singkong yang dipungut dari pekarangan rumah dan dengan lauk yang teramat rutin seperti ikan asin, bahkan mie instan pun mereka jadikan lauk makan. Mereka telah memaksakan diri untuk berhemat, pun begitu mereka tetap mengalami defisit. Bahkan untuk kebutuhan beras pun, mereka adakalanya mengutang ke Sub Kontraktor.
Situasi ini, mengharuskan BHL mesti bekerja suami dan istri di perkebunan kayu tersebut, serta memperpanjang jam kerjanya dengan menggunakan hari libur menjadi buruh upahan dilahan pertanian masyarakat asli. Disamping itu, para BHL tidak menerima hak-hak lainnya selain upah murah. Mereka tidak mendapatkan Tunjungan Hari Raya (THR), bonus dari capaian target produksi atau insentif maupun tunjungan-tunjungan lainnya. Mereka juga tidak terlindungi sebagai peserta BPJS Kesehatan dan sebagian BHL cukup didaftarkan sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Mereka tidak pernah mendapatkan hak cuti tahunan, cuti mengkitankan/membaptiskan anak, cuti lebaran, cuti karena ada keluarga meninggal dunia, serta cuti-cuti sebagainya.
Bahkan BHL perempuan pun tidak mendapatkan cuti haid, cuti hamil dan melahirkan serta cuti keguguran. Hari libur nasional mereka diperintahkan tidak bekerja, tetapi upah tidak dibayar. Anak-anak BHL tidak mendapatkan fasilitas bantuan sekolah dari TPL, dan sebab itu rerata anak-anak BHL putus sekolah setelah tamat dibangku sekolah dasar. TPL juga tidak menyediakan sarana tempat penitipan anak dan bermain, sehingga anak-anak mesti ditinggalkan di rumah (dibarak) ketika ayah dan ibunya bekerja.
BHL dan keluarganya diberi tempat tinggal, namun tidak pantas disebut rumah dan layaknya disebut barak. kondisinya “sangat-sangat jauh dari kata sederhana”. Barak ini berdinding papan kusam, lantai semen, atap seng berkarat, tanpa kamar dan tempat tidur serta tanpa dapur dan kamar kakus (WC). Ukuran barak berkisar 4 x 5 meter dan berbatas sebelah dinding papan antar tetangga. Bila ingin memiliki kamar dan tempat tidur, dapur dan kamar kakus (WC), buruh harus menabung untuk membangunnya dan tak mungkin didapatkan secara gratis.
Kamar mandi berdinding seng karat, terbuka tanpa atap dan berada sekitar 15 meter dari barak. Persisnya disamping bawah badan jalan, yang selalu dilalui orang. Bila orang lewat menoleh kesamping, maka terlihatlah orang didalam kamar mandi tersebut. Air mandi dialiri melalui pipa yang terhubung ke seberang jalan, bukan bersumber dari air sungai atau mata air, tetapi kolam ukuran 20 x 20 meter yang dibuat oleh Sub Kontraktor menjadi genangan air. Meteran listrik dipasang 1 untuk 4 unit barak, dibayar buruh secara patungan sebesar Rp. 50.000/bulan per unit. Di barak, BHL tidak memiliki Televisi, musik, radio atau sepeda motor. Peralatan memasaknya pun biasa, jarang dari mereka yang memiliki rice cooker dan kompor gas. Kuali, piring dan cangkir sekedarnya dan ada yang menggunakan periuk serta kayu sebagai bahan bakar memasak.
Rendahnya upah yang diterima BHL, tak luput pula dari pemotongan serta denda, perampasan upah buruh ini terjadi dalam hal : (1).Pembayaran premi BPJS ketenagakerjaan bagi BHL yang menjadi peserta maupun tidak, (2). Bila ada pohon eukaliptus yang mati terpapar racun hama dipotong upah sebesar Rp. 50.000 per pohon, (3). Bila mangkir (tidak masuk) kerja selain upah tidak dibayar dan upah yang ada pun dipotong, (4). Pembelian perlengkapan kerja, Baju kaos lengan panjang, topi, sarung tangan dan sepatu bot. Untuk Helm dan kaca mata kerja yang menjadi kebutuhan BHL, tidak disediakan perusahaan. (5). Pengeluaran biaya listrik dan fasilitas rumah, seperti pembuatan kamar dan tempat tidur serta kamar kakus (WC).
Hal tersebut membuktikan bahwa PT. TPL tidak memberikan manfaat nyata dalam meningkatkan perekonomian buruh serta menguatkan nilai peredaran uang dimasyarakat sekitar area konsesi. Dibalik stigma penyebutan BHL ini, menjadi semacam legitimasi bagi TPL untuk memisahkan status sosial antar pekerja “mana yang pantas mendapatkan perlindungan hak dan mana yang tidak pantas dilindungi haknya”. Sehingga dengan sistem BHL ini, TPL terus mendulang laba yang super dan para BHL direndahkan harga dirinya dan kehilangan kepercayaan diri untuk berinteraksi sosial dimasyarakat sekitar pemukiman baraknya.
Sebagaimana dalam Annual Report tahun 2020, TPL mendapatkan penghargaan dan sertifikasi. Secara tegas kami mengatakan, bahwa TPL tidak layak mendapatkan penghargaan dan sertifikat, ketika masih eksis melestarikan sistem kerja eksploitatif sisa-sisa warisan kekuasaan tuan budak diperkebunan kayu eukaliptusnya. Presiden Republik IndonesiaI Bapak Ir. Joko Widodo untuk mencabut dan mengambil kembali berbagai macam penghargaan dan sertifikasi yang diberikan.
Berangkat dari niat yang tulus dan keinginan yang mulia, dengan tujuan memperjuangkan hak-hak 7.000 buruh yang bekerja diperkebunan kayu eukaliptus PT. TPL agar bebas dari stigma sebagai buruh harian lepas (BHl) dan mendapatkan hak-hak yang semestinya diberikan berdasarkan peran serta dan hasil kerjanya. Dengan demikian Pers Rilis ini kami buat dan disampaikan.
Senada sebagaimana yang disampaikan oleh Siti Rubadiah Ketua Suluh Perempuan bahwa Perbudakan di perkebunan bukanlah hal yang baru. Praktik ini sudah ada sejak masa kolonial belanda. Jika Indonesia di era kemerdekaan yang sudah berumur 76 tahun masih ada perusahaan yang melakukan praktek perbudakan, dalam hal ini Toba Pulp Lestari merupakan sesuatu yang ironis. Hal ini bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan yang diimpikan para founding father Indonesia.
“Setelah saya membaca hasil investigasi yang dilakukan oleh DPD GSBI Sumatera Utara, kemudian saya memahami bagaimana keberadaan PT. TPL secara nyata merugikan banyak orang khususnya buruh harian lepas. Bagi kami dari KSN, Protelarisasi yang dilakukan oleh PT. TPL adalah sesuatu yang tidak mengejutkan akan tetapi harus kita pahami bahwa tanpa perlawanan, praktik perbudakan ini akan semakin subur dan sebagai bagian dari oligarkhi, PT. TPL akan tetap menari-nari diatas penderitaan rakyat.” Demikian diungkapkan Hermawan Sutantyo Ketua Nasional Konfederasi Serikat Nasional
Hal yang sama disampaikan oleh Usman Hamid Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia “Apa yang disajikan dalam investigasi ini bagi saya pribadi, cukup mencengangkan. Begitu banyak pelanggaran HAM yang dialami oleh BHL dan keluarganya oleh PT.TPL. lebih lanjut, laporan ini sebaiknya dilanjutkan ke lembaga-lembaga Negara seperti KOMNAS HAM agar dapat dilanjutkan dengan penyelidikan resmi agar dapat segera ditindaklanjuti.”
“Saya ingin menyampaikan bahwa laporan ini juga diteruskan ke forum-forum Internasional. Saya menyarankan untuk menyampaikannya ke komite ekonomi sosial budaya, sebuah komite HAM di PBB.”
“Didalam banyak praktek bisnis yang melaksanakan perbudakan di berbagai Negara di dunia, bisnis dengan praktek perbudakan adalah bisnis yang sangat menguntungkan. Jadi yang harus dipertanyakan adalah moralitas dari keuntungan itu. Apakah praktik bisnis di masa ini adalah praktik bisnis yang beretika? Apakah praktik bisnis ini berkomitmen untuk menghormati dan melindungi HAM? Berkomitmen untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup?.”
“Ini bukan buruh harian lepas, ini adalah perbudakan. Sebagaimana sudah diatur dalam peraturan-peraturan ketenagakerjaan. Dari laporan investigasi dan apa yang disampaikan oleh kawan-kawan sebelumnya, saya melihat belum ada kehadiran pemerintah dalam mengawasi masalah-masalah ketenagakerjaan dalam praktik bisnis PT. TPL.”.
"Cara TPL merekrut dan menggunakan BHL dengan bungkus CV, Usaha Dagang, dll Ini sudah melanggar Undang Undang. Ini sudah mengarah pada perdagangan manusia" pungkas Gindo Nadapdap seorang advokat yang berkecimpung dalam perburuhan.
(DPD GSBI Sumut-Aliansi Gerak Tutup TPL)
Editor: Redaktur
Penanggung Jawab Berita: Obor Panjaitan