Penulis: Rizky syahputra
Kelompok KKN-DR : 37
Jurusan: Bimbingan Penyuluhan Islam
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara [UINSU]
MEDIA NASIONAL OBOR KEADILAN | Minggu (9/08-2020), Dalam menghadapi setiap pandemi, tak terkecuali Covid-19, akan ada sikap-sikap non-ilmiah yang beredar di masyarakat luas sebagai konstruksi berpikir untuk memahami pandemi tersebut.
Sebagai konstruksi non-ilmiah, sikap-sikap tersebut tentu saja tidak berkorelasi langsung terhadap eksistensi pandemi tersebut—dalam pengertian mencegah dan menghentikan penyebarannya. atau , konstruksi non-ilmiah tersebut atau bahkan semakin memperburuk dalam penyebaran pandemi yang dimaksud. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah kerendahhatian dari seluruh elemen masyarakat untuk menyerahkan penanganan pandemi Covid-19 kepada pihak-pihak yang memiliki otoritas terkait seperti WHO, Kemenkes dan pemerintah (via Satgas Pencegahan Covid-19). Selebihnya, lembaga-lembaga non-otoritatif harus “tahu diri” untuk tidak mengintervensi lembaga-lembaga otoritatif dan memperburuk situasi.
Ada sebuah ungkapan populer, jika Anda tidak dapat membantu menyelesaikan masalah maka jangan menjadi bagian dari masalah tersebut.oleh karena itu yang harus dipikirkan dan disadari bersama dan sekarang ini adalah resiko tingkat mortalitas akibat hadirnya faktor-faktor penghambat penanganan wabah ini. Salah satu faktor yang dapat memperlambat, bahkan memperburuk, penanganan persebaran Covid-19 adalah anakronisme perspektif yang beredar luas di masyarakat. Yang dimaksud anakronisme perspektif di sini adalah cara pandang yang kurang tepat dalam menyikapi dan merespons persebaran virus ini.
Dalam banyak kasus, anakronisme ini membuncah menjadi semacam “kengototan”—untuk tidak mengatakan kekonyolan—sosial yang pada gilirannya turut menghambat penanganan Covid-19 ini. dan Di antara sekian banyak anakronisme perspektif yang beredar di masyarakat, sekurangnya ada dua contoh yang paling mencolok. ialah yang Pertama, anakronisme sosial-budaya.
Sebagaimana dimaklumi, masyarakat kita sebagai oleh budaya komunitarian-komunalistik seperti, (suka berkumpul dan bergerombol) dalam hal ini untuk sosial yang saling berjejaring. Masyarakat kita dikenal memiliki ikatan sosiologis yang kuat melalui pola hidup gotong-royong untuk sebagainya dalam membantu untuk membentuk rasa kepedulian dan empati sosial kita kepada sesama. Yaitu seperti Ikatan sosiologis tersebut dan seringkali dimanifestasikan melalui sentuhan fisik seperti bersalaman, berpelukan, cium pipi, dan lain sebagainya dan lain- lain.
Setidaknya untuk sementara membuat komuntarian tersebut demi mencegah persebaran Covid-19 tentu saja bukan hanya persoalan mudah bagi masyarakat kita. Pasti ada sesuatu yang hilang ketika masyarakat kita dipaksa menanggalkan kebiasaan sosial tersebut karena ada kontradiksi kognitif dalam antara nalar kesehatan seperti menjaga jarak sosial (social distancing) tersebut.
Dalam Pengabaian terhadap norma-norma sosia sepertil di atas tentu saja dapat menimbulkan gangguan sosial-budaya karena norma-norma tersebut telanjur membentuk gugusan kebermaknaan eksistensial di kalangan masyarakat kita. Dari sinilah sebagian masyarakat kita cenderung mengacuhkan protokol medis pencegahan Covid-19 sebagaimana telah dikeluarkan oleh lembaga-lembaga otoritatif. Bagi sebagian mereka, protokol medis dimaknai sebagai upaya mereduksi dalam kebermaknaan sosial yang telah menancap kuat di masyarakat.
Anakronisme kedua adalah konstruksi pemahaman keagamaan masyarakat kita yang berlawanan dengan protokol pencegahan Covid-19. Melalui beragam media sosial, kita dan berbagai macam narasi keagamaan yang mengacuhkan, mereduksi, bahkan “melawan” protokol medis pencegahan Covid-19. Di antara narasi keagamaan yang cukup populer di masyarakat adalah dalam teologi kematian sebagai hak prerogatif Tuhan, pandemi Covid-19 sebagai adzab dan peringatan untuk kita Agara mendekat kan diri kepada Allah SWT. Dan Covid 19 ini, (hukuman) Tuhan atas dosa-dosa manusia.
Anakronisme pemahaman keagamaan yang kontraproduktif dengan protokol medis pencegahan Covid-19 menjadi batu sandungan serius di tengah kerja keras semua pihak—terutama tim medis sebagai garda depan paling beresiko—dalam menjinakkan dan menghentikan persebaran Covid-19. Padahal, masyarakat yang memiliki perspektif anakronistik tersebut pada ujungnya akan menjadi kelompok rentan terpapar terhadap virus ini jika mereka tetap melakukan pembangkangan. Ketika mereka menjadi mata rantai penularan, maka efek domino persebarannya jelas akan merepotkan tim satgas penanganan Covid-19 dan pemerintah.
Jika dibiarkan, dua contoh anakronisme perspektif di atas menjadi penghambat penanganan persebaran pandemi Covid-19 yang pergerakannya semakin liar, masif, dan eksponensial. Dan Wajar saja jika tingkat mortalitas akibat persebaran virus ini di Indonesia termasuk yang tertinggi di Asia Tenggara (8,46%) akibat kengototan sikap-sikap non-ilmiah tersebut. Sikap semacam ini telanjur menciptakan zona nyaman bagi mereka yang tidak terbiasa dengan pola hidup disiplin dan taat-asas (compliance), dua syarat utama untuk mempercepat penanganan Covid-19.
Sepanjang menyangkut cara berpikir dan gaya hidup individu yang tidak berdampak langsung terhadap kehidupan publik, anakronisme perspektif di atas barangkali tidak perlu dipermasalahkan. Namun jika sudah berlawanan dengan nalar kesehatan dan kebijakan publik, maka Negara memiliki otoritas untuk melakukan tindakan memaksa (coercive measures) dalam rangka menerapkan protokol medis pencegahan Covid-19 yang berbasis pada nalar kesehatan dan sikap-sikap ilmiah. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat tidak membebani negara dalam penanganan Covid-19.
Sekali lagi, jika tidak bisa menjadi solusi, maka kita jangan menjadi bagian dari persoalan itu sendiri. Sikap ilmiah yang dimaksud dalam memahami dan merespons pandemi Covid-19 mewujud dalam nalar induktif sebagai mekanisme memahami realitas sosial. Nalar induktif adalah mekanisme kognitif sebab-akibat berdasar pada realitas empiris kehidupan masyarakat.
Sementara itu, nalar deduktif adalah realitas normatif yang jika diturunkan dalam realitas empiris tidak selalu diakronistik atau sejalan dengan konteks ruang dan waktu tertentu. Dalam kondisi demikian, maka yang terjadi adalah anakronisme perspektif sebagaimana dijelaskan di atas.dan dalam Konsekuensinya, menderivasi teks suci untuk menjustifikasi realitas pandemi Covid-19 juga tidak bisa dilakukan secara serampangan. Alih-alih, pendasaran nalar keagamaan dalam memahami pandemi ini hanya akan memperburuk situasi karena berlawanan dengan nalar kesehatan.
Oleh karena itu, akan lebih bijak dan maslahat jika kita serahkan persoalan pandemi Covid-19 kepada ahlinya. Jangan ada kengototan-kengototan (baca: kekonyolan) yang tak perlu. Nyawa kita jauh lebih berharga ketimbang memenangkan perdebatan publik terkait penanganan Covid-19.
Dalam nalar induktif ini, yang berlaku adalah argumentasi aposteriori(evidence-based), dan bukan argumentasi apriori. Mengikuti Immanuel Kant (1878), nalar apriori adalah kognisi matematis-logis dari sebuah konstruksi konsep tertentu. Sementara itu, nalar aposteriori adalah argumentasi yang dibangun dari serangkaian fakta empiris yang telah diujikan secara ketat di laboratorium atau realitas empiris.
Konsekuensinya, menderivasi teks suci untuk menjustifikasi realitas pandemi Covid-19 juga tidak bisa dilakukan secara serampangan. Alih-alih, pendasaran nalar keagamaan dalam memahami pandemi ini hanya akan memperburuk situasi karena berlawanan dengan nalar kesehatan. Oleh karena itu, akan lebih bijak dan maslahat jika kita serahkan persoalan pandemi Covid-19 kepada ahlinya.
Sikap ilmiah yang dimaksud dalam memahami dan merespons pandemi Covid-19 mewujud dalam nalar induktif sebagai mekanisme memahami realitas sosial. Nalar induktif adalah mekanisme kognitif sebab-akibat berdasar pada realitas empiris kehidupan masyarakat.Dalam menghadapi setiap pandemi, tak terkecuali Covid-19, selalu ada sikap-sikap non-ilmiah yang beredar di masyarakat luas sebagai konstruksi berpikir untuk memahami pandemi tersebut. Sebagai konstruksi non-ilmiah, sikap-sikap tersebut tentu saja tidak berkorelasi langsung terhadap eksistensi pandemi tersebut—dalam pengertian mencegah dan menghentikan penyebarannya.
Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah kerendahhatian dari seluruh elemen masyarakat untuk menyerahkan penanganan pandemi Covid-19 kepada pihak-pihak yang memiliki otoritas terkait seperti WHO, Kemenkes dan pemerintah (via Satgas Pencegahan Covid-19).
Selebihnya, lembaga-lembaga non-otoritatif harus “tahu diri” untuk tidak mengintervensi lembaga-lembaga otoritatif dan memperburuk situasi. Ada sebuah ungkapan populer, jika Anda tidak dapat membantu menyelesaikan masalah maka jangan menjadi bagian dari masalah tersebut.Salah satu faktor yang dapat memperlambat, bahkan memperburuk, penanganan persebaran Covid-19 adalah anakronisme perspektif yang beredar luas di masyarakat.
Yang dimaksud anakronisme perspektif di sini adalah cara pandang yang kurang tepat dalam menyikapi dan merespons persebaran virus ini. Dalam banyak kasus, anakronisme ini membuncah menjadi semacam “kengototan”—untuk tidak mengatakan kekonyolan—sosial yang pada gilirannya turut menghambat penanganan Covid-19 ini.(*)
Identitas penulis:
Rizky syahputra
Kelompok KKN-DR : 37
Jurusan: Bimbingan Penyuluhan Islam
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara [UINSU]