|

Luhut Binsar Panjaitan Sangat Menghormati BJ Habibie, Ini Alasanya


OBORKEADILAN.COMSaya perhatikan wajah Pak B.J. Habibie di tempat tidur di RSPAD Gatot Soebroto ketika menengoknya untuk terakhir kali pada Rabu lalu. Ingatan saya melayang jauh ke belakang, pada tahun 1999 ketika seorang utusan dikirim ke saya yang sedang berada di Bandung, bertugas sebagai Komandan Komando Pendidikan dan Latihan (Kodiklat) TNI-AD.

Utusan tersebut menginformasikan bahwa Presiden B.J. Habibie akan menunjuk saya sebagai Duta Besar RI untuk Singapura. Saya terkejut dan menjawab, bahwa saya harus mendengar sendiri penunjukan itu dari Presiden pribadi.

Saya akhirnya dipanggil ke Jakarta untuk menghadap Presiden. Disaksikan oleh Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto Pak Habibie menyatakan bahwa ia ingin mempercayakan saya menjadi Dubes untuk Singapura. Saya jawab, “Terima kasih Pak atas kepercayaan itu. Tapi saya ingin kepastian, apakah ini penugasan atau penawaran?”

Pak Presiden terdiam. Mungkin beliau tidak faham maksud saya. Lalu saya teruskan lagi, “Bila ini penugasan, saya sebagai prajurit TNI akan menjalankan perintah tersebut dengan sebaik-baiknya; tetapi bila ditawarkan dengan segala hormat saya menolaknya. Bila diizinkan, saya lebih berbahagia tetap di TNI hingga pensiun….”

Pak Habibie langsung mengerti maksud saya dan kemudian menoleh ke Jenderal Wiranto, “Pak Wiranto ini penugasan ya pak…!” katanya mendesak. Kelihatan Pangab agak ragu-ragu, tapi akhirnya setuju bahwa menjadi Dubes adalah penugasan saya sebagai anggota TNI aktif. Saya memberi hormat ke Presiden dan menyatakan siap menjalankan penugasan itu.

Saya kagum bahwa seorang Presiden mau medengar pendapat seorang anggota TNI seperti saya!

Selesai saya dilantik menjadi Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Republik Singapura, saya dipanggil Pak Habibie dan diberi arahan bahwa saya harus bisa memperbaiki hubungan antara Indonesia dan Singapura yang sempat mendingin, setelah terjadi sebuah “peristiwa” dimana Pak Habibie pernah menyebut Singapura sebagai a little red dot. Noktah merah kecil. Kedua, menarik kembali investasi dari luar untuk kembali ke Indonesia.

Setelah menunggu beberapa bulan karena Dubes yang lama belum pulang, akhirnya saya berdinas di Singapura dengan tugas pertama untuk memperbaiki hubungan antara kedua Negara tersebut. Saya mulai membangun kepercayaan dari para pejabat Singapura dari tingkat Perdana Menteri (waktu itu) Goh Chok Tong hingga pejabat Kemlu Singapura. Kepada mereka saya janjikan melakukan semua hal yang bisa saya lakukan menyangkut kepentingan Singapura di Indonesia.

Suatu hari saya mendapat kabar dari pejabat Singapura bahwa terjadi kerusuhan di sebuah perusahaan Singapura di pulau Bintan. Tanpa membuang waktu saya meminta mereka menyediakan sebuah pesawat helikopter yang menerbangkan saya langsung ke Bintan. Saya bertemu dengan pimpinan buruh yang mogok, bertemu dengan aparat keamanan setempat dan menyelesaikan persoalan hingga tuntas. Sore hari saya langsung pulang kembali ke Singapura.

Para pejabat Singapura memberi penghargaan kepada saya karena delivered apa yang saya
janjikan sebelumnya. Mereka tidak tahu bahwa saking buru-burunya, saya pergi dan pulang
tanpa bawa paspor, padahal itu sudah ke luar negeri…!

Kepercayaan dan hubungan baik dengan para politisi di Singapura masih saya pelihara hingga hari ini dan amat memudahkan dalam pekerjaan saya sekarang.

Senior Minister Teo Chee Hean misalnya adalah teman baik dari era ketika saya jadi Dubes. Demikian pula PM sekarang Lee Hsien Loong dan isterinya.

Saya kemudian menyelenggarakan sebuah seminar yang dihadiri oleh para konglomerat Indonesia yang lari meninggalkan Tanah Air ketika terjadi huru-hara 1998. Tujuan seminar itu sesuai perintah Presiden adalah meyakinkan mereka untuk kembali ke Indonesia da berbisnis seperti biasa.

Agar punya daya tarik, maka saya bujuk (alm.) K.H. Abdurachman Wahid atau Gus Dur sebagai key note speaker. Seminar tersebut sukses karena hampir semua konglomerat besar Indonesia yang mengungsi seperti Sudono Salim, Tjiputra, Sjamsul Nur Salim dan lain-lain datang pada seminar itu. Tentu saja bukan Gus Dur kalau beliau tidak “memanfaatkan” acara untuk penyampaikan pandangan politik beliau…

Tidak lama saya bertugas di Singapura karena dinamika politik di dalam negeri sangat cepat. Melalui pesawat televisi nasional saya mengikuti sidang-sidang MPR, Pak Habibie tidak diterima pertanggungjawabannya dan Presiden RI keempat dipilih : Gus Dur. Tidak lama setelah Gus Dur jadi Presiden, saya dipanggil pulang untuk jadi Menteri Perdagangan dan Perindustrian.

Sebagai Duta Besar saya tidak ikut dalam proses politik di Tanah Air, tetapi dari pemberitaan-pemberitaan saya menarik kesimpulan bahwa Pak Habibie itu seorang kesatria. Begitu lembaga berwenang (MPR) tidak mempercayanya dengan kesatria ia mengundurkan diri. Ia tidak mau melakukan manuver politik atau menggalang massa agar tetap jadi Presiden seperti tingkah laku politisi pada umumnya.

Setelah jadi “mantan” beliau pun tidak pernah mencampuri urusan pemerintahan berikutnya dan dengan kesadaran penuh jadi “bapak bangsa” memberi nasehat kepada yang mau mendengarkan, dan berbagi pengalaman dengan siapapun yang mau dapat perspektif lain.

Saya tahu bahwa Pak Habibie sangat cocok dengan Pak Presiden Joko Widodo, meskipun di depan publik dalam dua kali Pilpres (2014 dan 2019) beliau tidak pernah terlibat secara
langsung. Dimana kecocokan mereka berdua ? Menurut saya kecocokannya ada pada beberapa hal:

Pertama, dalam pandangan mengenai demokrasi Indonesia yang harus ditegakkan.

Kedua, kedua tokoh itu adalah orang yang mau dan sabar mendengar pendapat orang lain. Tidak mudah bagi seorang pemimpin untuk mau dengan sabar mendengar pendapat orang lain.

Ketiga, keduanya sama-sama melihat bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi menentukan masa depan bangsa dan harus kita kuasai.

Saya sendiri berjanji kepadanya untuk tetap memberi perhatian pada salah satu “warisan” Pak Habibie yaitu BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi).

Ketika saya masuk pemerintahan Presiden Jokowi tahun 2015, banyak kali saya mendorong keterlibatan BPPT pada program-program dibawah pengendalian saya yang menyangkut teknologi. Hampir semua fasilitas peninggalan Pak Habibie di BPPT Serpong dan di Surabaya saya tinjau dan kemudian saya dorong untuk aktif memberi sumbangsih kepada Negara dan Bangsa.

Jadi, selamat jalan Pak Habibie. Sejauh yang saya bisa lakukan dan selama dalam kewenangan, BPPT tetap menjadi andalan saya menyangkut teknologi dan kegunaannya bagi masa depan Indonesia yang lebih baik..!

MEDIA NASIONAL OBOR KEADILAN 
Komentar

Berita Terkini